Bosan, bosan, bosan. Itulah yang dirasakan Andre sejak mulai diopname di rumah sakit ini dua hari yang lalu. Demam tinggi yang dideritanya membuat orang tua Andre terpaksa mengantar anak laki-lakinya ke tempat yang paling dibencinya. Dokter bilang Andre terserang tifus, akan lebih baik jika ia dirawat lebih intensif di rumah sakit. Andre menolak mentah-mentah anjuran itu dan memohon pada orang tuanya agar dibiarkan untuk beristirahat di rumah saja. Tapi mengingat semua orang di rumah, Ayah, Bunda, dan kakak perempuan Andre punya kesibukan masing-masing di luar rumah, maka Bunda pun memutuskan untuk menitipkan Andre di rumah sakit supaya ada suster yang bisa mengurusnya.
Andre ditempatkan di kamar kelas satu, yang satu kamar ditempati oleh dua orang. Teman sekamar Andre adalah seorang gadis kecil, mungkin usianya dua atau tiga tahun di bawah Andre. Andre tidak tahu siapa nama gadis itu, Andre juga tidak peduli dia sakit apa sampai bisa berada di rumah sakit ini, tapi yang pasti gadis kecil itu selalu tersenyum jika kebetulan mereka berdua bertemu pandang. Gadis itu selalu tersenyum padanya meski Andre tak pernah membalas senyum itu. Andre tidak terbiasa bertatakrama dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Selama berada satu kamar dengan gadis itu, Andre tak pernah mengajaknya bicara, ia hanya menghabiskan waktunya yang membosankan di tempat ini dengan membaca buku atau bermain permainan rubik kesukaannya.
“Dre, Bunda pulang dulu, ya, ganti baju, nanti Bunda ke sini lagi,” pamit Bunda seraya membereskan meja kecil di sebelah tempat tidur Andre yang agak berantakan, juga memasukkan pakaian-pakaian kotor Andre ke dalam tas. Andre hanya mengangguk tanpa suara, diikuti satu kecupan singkat Bunda di kening putera bungsunya sebelum akhirnya keluar kamar.
Andre kembali mengalihkan perhatiannya pada rubik kesayangannya. Diraihnya rubik itu dari atas meja, diacak, dan ia pun mulai memainkannya.
“Hei!” panggil satu suara, membuat Andre menoleh. “Namamu Andre, ya?”
“Iya,” Ternyata gadis kecil itu yang memanggil. Ia duduk tegak di atas ranjangnya, bagian tubuh bawahnya tertutup selimut, selang infus menempel di tangan kirinya. Posisi duduknya yang membelakangi jendela yang ditembus oleh cahaya matahari sore membuat wajah itu agak gelap tertutup bayangan, tapi Andre masih bisa melihat senyum manis tersungging di sana.
“Aku Liana, kelas 6 SD. Kamu kelas berapa?” Gadis kecil itu mengajak Andre berkenalan. Senyum ramah itu tak pernah lenyap dari bibirnya.
“2 SMP” jawab Andre, sekenanya.
“Oh... Kalau gitu aku panggil Kak Andre ya?”
Andre hanya mengangkat kedua alisnya sebagai tanda persetujuan. Keduanya diam sesaat, hingga Liana bicara lagi, “Sakit tifus, ya, Kak?”
“Iya,” Rupanya anak ini benar-benar ingin mengajaknya bicara, Andre jadi tidak tega kalau terus bersikap dingin dan merasa perlu untuk balik bertanya. “Kamu sakit apa?”
“Nggak tahu,” Liana nyengir.
“Kok nggak tahu?”
“Oma bilang. Kalau mau cepat sembuh aku harus banyak istirahat dan minum obat. Tapi aku nggak dikasih tahu sakit apa”
“Oma? Papamu mana?”
“Nggak ada,” jawab Liana, enteng.
Andre terdiam sejenak, “Mamamu?”
Liana memiringkan kepalanya, kemudian menjawab sambil mengangkat bahu, “Nggak ada juga”
Andre menggaruk kepala tak mengerti. Kalau dipikir-pikir sejak Andre diopname, Liana memang sudah menempati ranjangnya. Tapi rasanya Andre tak pernah melihat orang tua gadis kecil ini datang menjenguk. Kalau ada yang datang menjenguknya, itu hanyalah seorang wanita tua gemuk dengan rambut penuh uban. Mungkin wanita itu yang disebut Oma oleh Liana. Lalu, ke mana orang tua anak ini? Andre jadi penasaran.
“Memangnya Papa-Mama mu ke mana?”
“Kata Oma, Papa kerja di luar kota. Kalau Mama...” Liana tampak ragu, tapi akhirnya diteruskan juga kalimatnya. “Mama udah meninggal setahun yang lalu.”
Ada rasa bersalah menyelinap ke dalam hati Andre karena telah melemparkan pertanyaan itu. Gadis itu jadi kelihatan sedikit muram, maka Andre mencoba mengalihkan topik pembicaraan. “Sudah berapa lama di sini?”
“Hmmmm, berapa lama ya?” Mata Liana menerawang ke langit-langit, seolah jawabannya ada di sana. “Mungkin satu minggu sebelum Kak Andre masuk,” lanjutnya, tak yakin.
“Bosan, ya?”
“Iya sih... Tapi mau gimana lagi, tiap hari harus terapi, jadi nggak boleh pulang sama Pak Dokter” Senyum itu kembali lagi. Mendengar kata terapi, Andre jadi berpikir, mungkin Liana sakit parah. Namun ia bisa selalu tersenyum, seakan tak ada beban dalam hatinya. Entah kenapa, Andre merasa di balik senyumnya yang manis itu Liana adalah gadis kecil yang kesepian. Andre jadi merasa kasihan dan ingin sekali menghiburnya.
“Bisa main rubik?” tanya Andre seraya mengacungkan rubiknya ke arah Liana. “Mau nggak kuajarkan?”
Liana tersenyum semakin lebar, mengangguk-angguk penuh semangat. Andre jadi tidak bisa menahan senyum juga. Andre turun dari ranjangnya, menyeret tiang beroda yang menggantung botol infusnya ke dekat ranjang Liana. Setelah itu, Andre naik ke atas ranjang Liana, duduk berhadapan dengan gadis kecil yang manis itu dan mulai mengajarinya bermain rubik. Sejak saat itu mereka berdua mulai akrab dan menjadi teman baik.

***
“Nah, ini hadiah untuk Andre karena Andre sudah sembuh!” kata Ayah, riang, seraya menyerahkan sebuah kotak besar kepada puteranya. Andre langsung menyambutnya dan membongkar kotak itu dengan penasaran.
“Woooow, robot remote control Gundam Seet!?” ujar Andre terkagum-kagum.
“Ayah beli itu buat Andre waktu kemarin dinas ke Jepang. Gimana? Andre suka?”
“Suka banget! Makasih, ya, Yah!” sahut Andre sumringah.
“Sama-sama, Nak!” Ayah tersenyum lebar seraya mengelus kepala Andre dengan lembut. Bunda dan Kak Lisa, kakak Andre juga ikut tersenyum melihat kejadian itu. Begitu pun Liana yang memperhatikan kehangatan keluarga itu dari atas ranjangnya, juga ikut merasakan suasana hati Andre yang senang bukan kepalang.
“Wah, kalau sakit bisa dapat hadiah, aku juga mau sakit,” Kak Lisa cengar-cengir menggoda Andre.
“Kakak kira enak jadi orang sakit!? Ini aja aku udah bosan banget di sini!”
“Bosan? Masa sih?” bisik Kak Lisa di telinga adiknya,  melirik nakal pada gadis kecil di ranjang sebelah yang sedang memperhatikan keramaian keluarga mereka.”‘Kan ada Liana...”
Wajah Andre mendadak merah, tak bisa menjawab sepatah kata pun. Kak Lisa jadi terkekeh geli melihatnya.
“Andre... Andre... Akhirnya pulang juga kamu. Bosan aku di rumah, nggak ada teman berantem, hehehe...” Kak Lisa mengacak-acak rambut Andre, masih terkekeh.
“Ya sudah, Ayah mau urus administrasi dulu,”  kata Ayah, menyela keributan kecil yang dibuat kedua anaknya. Segera Ayah keluar kamar.
“Kalau gitu Bunda sekalian taruh barang di mobil,” Sambung Bunda, ikut melangkah meninggalkan ranjang Andre. Tapi sebelum keluar dari kamar, Bunda menoleh ke arah Liana, “Liana, tante sekeluarga pulang duluan, ya. Liana cepat sembuh, ya!”
Liana tersenyum dan mengangguk, “Iya tante, makasih”
Kak Lisa mengikuti Bunda keluar kamar.
“Nanti aku nyusul,” kata Andre ketika melihat kakaknya yang terhenti di ambang pintu, menatap dirinya yang belum juga beranjak dari ranjang.
Kak Lisa tersenyum jahil dan menggoda adiknya lagi, “Cieeeeee!”
Pintu kamar tertutup, tepat sebelum sebuah bantal melayang menghantamnya.
“Hahahaha...”
“Apa ketawa?” tanya Andre agak jengkel. Ia bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke ranjang Liana.
“Kakakmu lucu, ya?” Liana masih terkikik.
“Lucu apanya? Dia itu nyebelin!” Andre mengangkat tubuhnya, duduk di tepi ranjang Liana.
Keduanya terdiam beberapa detik. Lalu Liana angkat bicara. “Keluarga Kak Andre ramai, ya? Enggak seperti keluargaku”
Andre menoleh, menatap lurus wajah di hadapannya. Senyum yang selalu Andre lihat masih ada di sana, menghiasi wajah mungil berkulit terang itu, akan tetapi ada kesedihan terpancar dari kedua bola matanya. “Oma ke mana? Aku nggak lihat Oma 3 hari terakhir ini,”
 “Oma pergi,” Liana menatap jauh keluar jendela, “Cari Papa”
Ingin sekali Andre mengatakan sesuatu untuk menghibur gadis kecil ini, tapi tak sepatah kata pun bisa keluar dari bibirnya.
“Waktu itu aku bilang sama Oma, aku ingin sekali ketemu Papa,” sambung Liana, “Papa sudah 6 bulan nggak pulang, HP-nya juga nggak bisa dihubungi. Jadi Oma pergi cari Papa,”
“Sabar, ya.” Hibur Andre, “Sebentar lagi pasti Oma datang bersama Papa”
Liana hanya mengangguk dan tersenyum, kali ini ada setitik air mata di kedua ujung matanya. Andre tak bisa menahan diri untuk meraih dan menggenggam tangan mungil Liana. Mengusap punggung tangan gadis kecil itu dengan ibu jarinya, berharap hal itu bisa sedikit mengobati hatinya yang kesepian.
“Aku pulang dulu, ya” pamit Andre akhirnya. “Besok sore, pulang sekolah aku jenguk, deh”
“Iya,”
Andre beranjak dari ranjang Liana. Sebelum berjalan keluar, ia melirik sekilas pada meja kecil di samping ranjang Liana. “Itu obatnya nggak diminum?”
Liana melirik pada tiga butir kapsul di atas wadah kecil, berdampingan dengan segelas air putih di atas meja. “Iya, habis ini aku minum.”
Andre keluar kamar, Mereka saling melambaikan tangan sebelum akhirnya Andre menutup pintu dan benar-benar meninggalkan Liana sendirian. Kini perhatian Liana tertuju pada tiga butir kapsul di atas meja. Diambilnya sebutir kapsul, diputar hingga kedua sisinya terlepas, kemudian ditebarkannya serbuk-serbuk obat di dalamnya ke lantai melalui celah di antara ranjang dan dinding. Hal yang sama pun dilakukan pada dua butir kapsul yang lain.
Selesai sudah. Sekarang Liana membaringkan tubuh di atas ranjang, menarik selimut sampai ke bawah dagu. Kepala Liana sakit sekali, pandangannya mulai buram. Liana ingin tidur, tidur yang panjang seperti Mama.
“Mama... Liana kangen Mama”

***
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, tapi masih terlihat dua sosok gelisah di lorong depan ruang ICU. Seorang lelaki berusia 30 tahunan bertubuh agak gempal dengan jenggot tipis menghiasi dagunya mondar-mondir tampak frustasi.
“Liana... Sadarlah, Nak... Papa sudah pulang...” ujar lelaki itu, menyibak poninya yang menutupi dahi.
Sementara itu, seorang wanita tua bertubuh gemuk dengan rambut penuh uban hanya bisa terdiam, duduk lemas di kursi. Wajahnya pucat, matanya sembab.
”Kalau Liana kenapa-kenapa, ini salahmu,”
Lelaki itu menoleh cepat, “Kenapa aku? Aku cari uang untuk Liana, aku sudah bilang aku titip Liana pada Ibu!”
“Aldi, sudah enam bulan kau tak pernah pulang” jawab si ibu tua,  ”Buat apa kerja terus? Liana butuh kau, bukan uangmu!”
Aldi berdecak, “Bu, toko warisan almarhum Bapak yang selama ini jadi sumber penghasilan keluarga kita sudah bangkrut, aku harus kembalikan kejayaan keluarga kita! Kalau semua itu sudah kembali, aku akan bisa memberikan apa saja untuk Liana, untuk Ibu juga!”
“Alasan kamu!” wanita itu menegakkan posisi duduknya, mengangkat wajah menatap putera semata wayangnya dengan sorot mata penuh kemarahaan. “Sejak kematian istrimu, kau selalu menyibukkan diri dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Kau melupakan Liana yang sangat membutuhkanmu. Kau pikir hanya kau yang merasa kehilangan istrimu? Liana jauh lebih terpukul daripada kau!”
Aldi tersentak mendengar kata-kata ibundanya yang begitu menusuk tepat ke dadanya, membuat dia amat menyesali segala tindakannya. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya yang mulai lemas ke dinding, menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, tak tahu lagi harus berbuat apa.
“Pak Aldi! Ibu Ranti!” panggil seorang dokter laki-laki yang baru saja melewati ambang pintu ruang ICU, masih mengenakan seragam hijaunya. Spontan kedua orang yang dipanggil terlonjak, langsung melangkah mendekati sang dokter.
Gimana, dok?” tanya keduanya serempak, dengan nada panik yang sama.
Sang dokter menggeleng, “Kami sudah mencoba lakukan yang kami bisa. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain”
Kedua orang itu terbelalak. Aldi memeluk erat pundak ibundanya, tampaknya lutut wanita tua itu mulai lemas, air mata membanjiri wajahnya. Belum selesai sampai di situ, masih ada hal lain yang membuat mereka lebih terpukul lagi.
“Kami menemukan ini di saku piyama Liana,” ujar si dokter sambil menyerahkan secarik kertas yang terlipat rapi. Disodorkannya kertas itu pada bu Ranti, “Sepertinya ini untuk ibu”
Bu Ranti meraih kertas itu dengan tak sabar, dibukanya lipatan kertas dengan terburu-buru. Bu Ranti dan Aldi tahu betul, itu tulisan tangan Liana. Membaca isi surat itu benar-benar membuat dada terasa sesak, tangannya gemetar, lututnya semakin lemas.
“Maaf atas keteledoran perawat-perawat kami dalam mengurus cucu Anda,” si dokter tertunduk dalam-dalam.
Sedetik kemudian, tubuh Bu Ranti terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.

***
Sore yang cerah. Seorang anak laki-laki berseragam putih biru, dengan tas ransel hitam di punggungnya melangkah keluar lift. Andre sudah sampai di lantai 3, sekarang sedang menuju kamar 362, tempat dirinya dan Liana pernah dirawat bersama. Kemarin Andre janji untuk menjenguk Liana hari ini, semoga saja Liana senang dengan kehadirannya. Begitulah yang ada dalam pikirannya saat itu.
Dibukanya pintu kamar  362, dan melongok ke dalamnya. Ranjang Andre sudah ditempati orang lain, seorang wanita muda. Perlahan Andre masuk ke dalam kamar, tak ingin langkah-langkahnya membangunkan wanita yang sedang tertidur pulas itu. Ranjang itu dan ranjang Liana terpisah oleh gorden pembatas, Andre melongok ke samping gorden, berharap senyum manis itu menyambutnya di sana. Tapi...
“Cari siapa, Nak?” tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di atas ranjang sambil membaca sebuah majalah. Senyum itu ramah, tubuh bagian bawahnya juga tertutupi selimut, tangan kirinya juga diinfus, seperti Liana. Tapi tentu saja bukan orang ini yang dicarinya.
“Liana,”
 “Nggak ada yang namanya Liana di ruangan ini”
“Tapi kemarin dia di ruangan ini kok” jawab Andre tak mau kalah.
Si Ibu memiringkan kepala, “Mungkin sudah pulang?”
Andre tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk pelan pada si ibu dan berjalan keluar kamar. Sambil menelusuri lorong rumah sakit, menuju lift Andre berpikir dalam hati, “Liana sudah pulang? Baguslah kalau dia sudah sembuh juga. Tapi aku lupa tanya nomor HP-nya... Yah, jadi nggak bisa ketemu lagi, deh”
Andre masuk ke dalam lift, dan pintu lift pun tertutup.


Untuk Oma,

Oma, sebenarnya Liana sakit apa? Kenapa harus terus-terusan terapi? Liana ‘kan udah beberapa kali pindah rumah sakit, udah minum macam-macam obat, tapi kenapa Liana nggak sembuh-sembuh juga?
Oma, kepala Liana sakit, sakiiiiiit sekali. Tapi obat-obat itu nggak bisa menghilangkan sakit kepala Liana. Liana capek minum obat terus, Liana tahu obat-obat itu nggak akan bisa menyembuhkan Liana, makanya Liana nggak pernah minum obat lagi. Obat-obat itu suka Liana buang ke lantai dekat dinding, atau malah keluar jendela. Tapi suster-suster itu nggak pernah tahu.
Oma, Liana kangeeeeenn banget sama Mama. Liana pengen banget ketemu Mama. Habis Papa nggak pernah pulang, nggak pernah ingat sama Liana, jadi Liana mau ketemu Mama aja.
Makasih ya Oma udah jaga dan ngurus Liana selama ini. Kalau Oma ketemu Papa, salam sayang dari Liana untuk Papa. Pokoknya, Liana sayaaaaaaaang banget sama Oma dan Papa.

Liana

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments