Daliman mulai bingung dan sedikit kecewa. Upacara khitanan anaknya tidak berlangsung seperti apa yang diharapkan. Tamu undangan cuma sedikit yang hadir dan amplop yang terkumpul, ternyata tidak bisa menutupi biaya yang telah dikeluarkannya demi suksesnya hajatan tersebut.
Betapa Daliman tidak bingung, sebelum hajat khitanan, ia pernah berjanji pada Tarjimin, anaknya, akan membelikannya mobil-mobilan yang bisa berjalan sendiri dengan tinggal memencet remot kontrol. Seperti yang dimiliki Bondan, anak pak Haji Sutikno. Mungkin barang yang jarang dimiliki oleh anak seumuran Tarji tersebut, jika bisa diturutinya akan merupakan kebanggaan tersendiri baginya sebagai orang tua.
Tapi apa mau dikata. Apa yang sudah direncanakan ternyata meleset seratus delapan puluh derajat. Daliman bukan malah mendapatkan laba dari hajatan tersebut tetapi malah kerugian yang menimpa. Para tamu undangan banyak yang kurang ajar.
Padahal perhitungan Daliman sudah boleh dikatakan matang. Ia keluarkan biaya sesedikit mungkin untuk hajat khitanan anaknya ini. Ia tidak repot-repot mengundang para pemuda desa untuk mengerjakan tarup di depan rumahnya. Karena akan menghabiskan banyak batang bambu dan akan menyesaki halaman rumahnya yang kecil. Lagi pula konsekuensinya, seandainya memasang tarup, undangan yang hadir harus lebih banyak. Melainkan ia cukup membuka sekat pembatas rumahnya yang terbuat dari triplek, sehingga ruang tamu dan ruang tengah bisa jadi satu dan dapat dijadikan tempat upacara khitanan.
Daliman tidak memerlukan acara yang macam-macam, cukup memanggil tukang khitan kampung dengan bayaran beras tiga kilo dan tembako lengkap dengan cengkeh serta kertas rokoknya, ditambahi sedikit menyan sebagai penyedap. Kemudian tidak usah menanggap wayang, ketoprak atau campursari, dangdutan, kasidahan atau apalah namanya. Asal ada kasetnya, distel dengan suara apa adanya, semua sudah beres. Tidak memerlukan banyak biaya untuk semua itu.
Biaya yang tidak bisa dipungkiri banyaknya ialah biaya untuk suguhan para tamu undangan. Makan, minum, rokok, panganan ringan dan sebagainya. Demi penghematan Daliman tidak mengundang banyak orang. Cukup kerabat dekat, para tetangga di sekitar rumah dan beberapa orang dari kampung sebelah. Itu pun mereka yang pada waktu sebelumnya pernah megundang Daliman pada hajatan seperti ini.
Daliman punya catatan beberapa banyak uang, beras dan minyak kelapa yang telah ia keluarkan ketika ia menghadiri hajatan orang yang pernah mengundangnya. Jadi, dengan perhitungan yang cermat, berdasarkan jumlah rupiah yang ada dalam catatannya tersebut, dengan hajatan khitanan anaknya kali ini, ia yakin pasti memperoleh uang yang sama atau bahkan bisa lebih banyak.
Di sinilah kekecewaan yang bercampur amarah dari Daliman muncul. Ternyata para undangan banyak yang kurang ajar. Yang dulu ia kasih uang lima ribu rupiah sekarang hanya memberi seribu lima ratus sampai dua ribu rupiah. Yang dulu ia kasih beras satu kilo sekarang cuma membawakan setengah kilo. Bahkan ada yang lebih kurang ajar lagi. Datang tanpa membawa apa-apa, ikut makan dan minum serta bercanda bersama para tetangga yang lain, lalu pulangnya mengantongi rokok yang tersedia dalam gelas beberapa batang.
“Apa itu namanya tidak kurang ajar !” Daliman misuh-misuh. Kerugian yang menimpanya kira-kira sebesar seratus lima puluh ribu rupiah. Tertundalah niatnya membelikan mobil kontrol buat anaknya. Sedang si Tarji, semakin hari terus merengek-rengek sebab jahitan di manuknya belum juga kering dan mobil kontrolnya tak juga datang. Hal yang lain, para tetangga yang diutangi Daliman satu demi satu sudah mulai menangih
“Sudahlah kang, kita tunggu kiriman dari Harsono saja. Sebentar lagi kan awal bulan. Besok aku kirim surat ke kota, ora mungkin anak kita mbarep itu tidak mau membantu.” Kata istri Daliman coba menenangkan suaminya yang sedari tadi belum juga berhenti muring-muring.
“Apa… mengharapkan anak kita mbarep?” Daliman malah kelihatan semakin murka, “Heh, kamu tau. Di kota anak kita itu ngapain?”
“Kerja.”
“Guoblok…! Si Harso, anak kesayanganmu itu enam bulan pertama memang rutin mengirimkan kita duit. Itu karena ia masih bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di kota. Tapi ketika di pabrik tempat ia bekerja ada masalah yang berkaitan dengan upah para buruh yang tidak mencukupi. Ia menggalang kawan-kawannya untuk berdemonstrasi menuntut upah yang layak. Akibatnya ia dan beberapa orang yang dianggap otak dari peristiwa itu dipecat dengan tidak hormat.” Istri Daliman terperangah seolah-olah tak percaya. Daliman sendiri terus nyerocos.
“Kalaupun dia beberapa kali ada mengirimkkan uangnya, itu karena dia menang judi dan lagi tidak bernafsu main perempuan serta mabuk-mabukan.”
“Dari mana kakang tau semua itu?”
“Kamu masih ingat tiga bulan yang lalu, ketika aku mengunjungi Harsono di kota, ia menceritakan semuanya. Bahkan aku sempat diajaknya bermain judi bersama konco-konconya, ndilalah menang lalu aku pun bisa membawakanmu oleh-oleh dari kota.”
“Kenapa kakang tidak meceritakannya kepadaku dari dulu ?” Istri Daliman mulai menangis.
“Apa aku tega melihatmu menangis terus-menerus melihat keadaan anak kita seperti itu ?!” Melihat istrinya menangis Daliman malah semakin marah.
“Ya sudah, kalau begitu nanti biar aku yang menghibur Tarjimin.” Istri Daliman sesegukan.
“Apa…, menghibur ? Heh, Tarji itu anak kecil. Kau hibur seperti apa pun dia akan tetap merengek-rengek minta dibelikan mobil kontrol.”
Belum lama Daliman berkata demikian, dari dalam kamar terdengar suara Tarji memanggil-manggil sambil menangis. “Pak… Mbok… perih…” Mungkin Jahitan di manuk Tarji tidak begitu sempurna. Kedua suami istri itu pun tak melanjutkan lagi pertengkarannya, selain hanya bisa terdiam dan tetap bingung.
Beberapa hari Daliman tidak bisa berpikir jernih. Yang bisa ia lakukan hanya marah-marah. Sedang istri dan anaknya terus menangis. Tetapi kemudian Daliman punya rencana. Suatu malam, ketika semua orang sedang sibuk dengan mimpinya masing-masing, Daliman keluar rumah sendirian. Gerimis rintik-rintik, angin bertiup sedikit kencang. Para petugas ronda kampung malas untuk keliling. Mereka lebih senang mengerubuti tubuhnya dengan sarung lalu mendengkur ditemani dengung nyamuk yang mengelilingi telinga.
Daliman mengendap-endap, membuka pagar bambu rumah pak Narto, nyaris tanpa suara. Berbekal linggis pendek ia pun berhasil mencongkel jendela rumah tersebut.
Paginya warga kampung dihebohkan dengan berita hilangnya televisi empat belas inch milik pak Narto. Semua saling bertanya-tanya. Daliman tidak kelihatan.
“Kang Daliman ke mana Mbak ?” Tanya Surip kepada istri Daliman.
“Selepas adzan subuh dia berangkat ke kota, katanya mau membelikan mobil kontrol buat si Tarji.”
***
Sorenya Daliman pulang. Wajahnya biru lebam sepertinya habis dipukuli. Istrinya panik, Tarjimin masih menangis. Luka di manuknya semakin parah.
“Kenapa denganmu Kang ?”
“Tadi pulang dari pasar, habis beli mobil buat Tarji aku dicegat rombongan gali. Mereka memaksaku untuk menyerahkan semua uang dan barang yang kubawa, aku mencoba melawan, dan….” Daliman tak sanggup lagi berkata-kata. Ia roboh. Pingsan. Istrinya berteriak keras. Ikut-ikutan pingsan. Tarjimin masih menangis.

Sentul Rejo, April 2002

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments