Lebaran sudah tiga hari. Peluk cium serta jabat tangan mengharu biru di wajah orang-orang kampung Suditrisno. Tapi tidak bagi emak. Sampai hari ketiga ini, Tantri belum pulang juga. Emak jadi resah dibuatnya. Berulangkali pikiran dan perasaannya diliputi oleh hal-hal yang tidak mengenakkan terhadap anak perempuan kesayangannya itu.

Bagaimana emak tidak kalut, semenjak pertama kali Tanti mengutarakan niatnya untuk ikut kang Badrani menjadi TKW di luar negeri, emak sebenarnya tidak setuju. Bukan karena takut anaknya akan ditipu kang Badrani, terus dijadikan wanita dagangan seperti omongan orang-orang yang sering mampir di telinga emak. Sama sekali emak tidak meragukan itu. Meskipun tidak ada hubungan darah, tapi antara keluarga emak dan kang Badrani sudah terbina kekerabatan yang sangat erat sejak belasan tahun silam. Emak sudah kenal siapa kang Badrani, begitu pula sebaliknya. Tidak ada alasan yang menjadikan emak curiga terhadap kang Badrani.
Tapi selain mengenal betul siapa kang Badrani, emak juga sangat hapal dengan anak perempuannya. Tantri bukanlah perempuan yang bisa jauh dari orang tua. Dulu, lima tahun yang lalu, saat bapak meninggal dunia, Tantri memutuskan untuk berhenti sekolah – yang waktu itu baru kelas 1 SMA – dan bertekad untuk membantu emak mencari uang demi kebutuhan sehari-hari. Tak lama setelah itu ia pun bekerja di rumah haji Ibnu., warga kampung sebelah, mengasuh anaknya yang masih bayi. Cuma tiga minggu Tantri bertahan, dengan alasan kangen tembang-tembang emak.
Kondisi keuanganlah yang memaksa Tantri bersikeras ikut kang Badrani. Semenjak kepergian bapak, yang hanya tukang batu itu, emak kewalahan menghidupi dirinya, Tantri dan si bungsu.
Waktu itu pagi masih belum sempurna. Dingin menggigit pori-pori, angin mendesau menggugurkan kuning daun yang masih lembab oleh embun. Di timur jauh, matahari yang masih setengah menyembul dihalang-halangi segugus awan abu-abu.
“Kowe yakin dengan keputusanmu ini, nduk?” Mata emak yang renta mengaca.
Tantri tak menjawab. Ia hanya meraih tangan emak, menciumnya. Sama halnya dengan emak, Tantri pun tak kuasa menahan air bening yang bersarang di matanya. Tantri menangis bukan karena ia harus berpisah dengan emak, tapi ia tak tahan melihat kemiskinan yang terlalu purba di wajah perempuan yang melahirkannya tersebut. Tantri ingin emak bisa naik haji.
“Nduk, tapi kau pasti pulang kan?”
Tantri mengangguk. Ia seakan-akan kehabisan kata-kata untuk berkata “ya” kepada emaknya. Tangannya menggamit pinggang kang Badrani yang sedari tadi cuma terpaku, ikut berasedih. Dalam hati kang Badrani berharap semoga Tantri bisa mencapai keinginannya. Kang Badrani benar-benar ikhlas, meskipun harus memisahkan anak beranak itu untuk sementara waktu.
“Mak, kami berangkat dulu.”
Satu-satu gerimis jatuh menusuk ubun-ubun kampung Suditrisno. Emak pun harus ikhlas melepas langkah anak wedoknya tersebut. Tentang kepulangan Tantri membawa uang yang banyak, emak tidak terlalu berharap, meskipun mesin jahit tua dan keris pusaka peninggalan suaminya harus dijual mengantar kepergian anaknya.
***
Tantri Widianingrum. Sudah lebih dari tiga bulan, perempuan Suditrisno itu menjadi TKW di Taiwan. Kontrak yang telah ditandatanganinya mengharuskan ia bekerja di rumah seorang saudagar dengan gaji sekitar 25 juta (jika dirupiahkan) selama setahun. Gaji yang cukup besar bagi seorang pekerja rumah tangga seperti Tantri.
Dalam pikiran Tantri, tidak sia-sia ia harus membayar 1,5 juta kepada agen PJTKI waktu masih di Indonesia. Selama delapan bulan Tantri, bersama perempuan-perempuan lainnya dididik untuk menjadi pekerja yang handal, disebuah balai pelatihan. Bukan! Bukan balai pelatihan. Perempuan-perempuan calon pekerja di sana lebih senang menyebut tempat itu sebagai tempat penampungan. Meskipun mereka diajarkan bahasa Mandarin, diajarkan berbagai macam masakan Cina, dilatih mengangkat barang-barang berat, untuk hal ini mereka diperlakukan sangat kasar oleh orang-orang agen, alasannya Tuan-Tuan di Taiwan tidak menyenangi barang-barangnya diseret oleh pembantu.
Berbagai macam pendidikan memang diberikan di sana. Tapi perlakuan orang agen yang sangat kasar, tempat tidur yang tak jauh berbeda dengan barak pengungsi, membuat perempuan-perempuan itu, termasuk Tantri, lebih menganggap tempat itu sebagai tempat penampungan ketimbang balai pelatihan.
Hari-hari pertama di Taiwan dilalui Tantri dengan penuh semangat. Perempuan likuran tahun tersebut tak kenal lelah, meski harus bangun jam 5 pagi, membereskan urusan dapur, membersihakan rumah dan taman, mencuci pakaian majikan, menyiapkan makanan, memandikan anjing, membuka tutup pintu, dan baru boleh berangkat tidur setelah jam dua malam.
“Demi emak,” batinnya suatu hari.
Tapi apa yang dialami Tantri tak seperti apa yang dibayangkannya. Sebagai manusia, apalagi perempuan, Tantri juga merasakan letih. Waktu istirahat yang sangat tidak wajar membuat keasehatan tantri memburuk. Semula hanya pilek dan pusing biasa. Tapi lama kelamaan Tantri merasa harus minta izin ke tuan untuk istirahat dan berobat ke dokter.
“Apa… istrirahat?” Telinga tuan panas, “Heh pembantu, kontrakmu bekerja di sini selama satu tahun. Setengahnya saja belum, sudah mau istirahat dan ke dokter. Emangnya kamu ini siapa. Terus biaya ke dokter itu kamu pikir murah?”
“Tapi Tuan…”
“Apa, kamu berani ngomong ‘tapi’ sama majikanmu?”
Telapak tangan tuan menghantam wajah Tantri. Perempuan itu terjerembab di lantai. Ia tak berani untuk menangis. Pusingnya semakin parah.
Dari dapur terdengar istri tuan berteriak. “Tantri, lantai sini kenapa tidak kamu bersihkan?” Tantri tergesa berlari menuju dapur.
“Haule (sudah) Nyonya.”
“Kamu berani membantah majikanmu ya? Kotor begini kamu bilang sudah dibersihkan?!”
Dapat dibayangkan, hari-hari berikutnya dialami Tantri dengan penuh tekanan. Mimpinya untuk membawa uang yang banyak buat biaya kehidupan sehari-hari dan ongkos emak naik haji pupus sudah. Yang tinggal dalam benak tantri adalah bagaimana caranya pulang ke rumah. Berkumpul lagi bersama emak dan si bungsu, mendengarkan emak nembang tiap malam, membantu emak menjual hasil sulaman, menikmati sore dengan jingga di cakrawala. Tantri cuma ingin pulang ke kampung Suditrisno.
Semakin hari wajah perempuan Suditrisno itu semakin pasi. Perlakuan sadis dari majikan tempatnya bekerja sudah jadi makanan sehari-hari. Tantri sudah kehilangan segalanya. Entah sudah berapa puluh kali ia menangis. Bahkan ia tak mampu lagi menterjemahkan makna airmata yang tumpah dari kelopaknya. Tantri menjerit sekeras-kerasnya, tapi hanya dalam batin. Ia tak sanggup melawan. Tapi ia ingin. Tapi… ah, untuk berucap ‘tapi’ pun ia tak memiliki hak.
“Apakah harus kuakhiri hidup ini?”
Gumam tantri saat orang-orang Taiwan sibuk bergelut dengan mimpinya malam itu benar-benar hening. Tak ada suara jangkrik, tak ada tembang emak, tak ada orang-orang ronda keliling kampung. Cuma Tantri, sendiri di dalam kamar. Isaknya tertahan. Wajahnya kelihatan jauh lebih tua dibanding usianya yang baru 21 tahun. Muram. Tangannya menggenggam selendang pemberian emak waktu masih di kampung. Siap dibelitkan di kayu yang melintang di langit-langit kamar.
“Tidak!” Tapi Tantri bukan seperti perempuan-perempuan Suditrisno lainnya. Setidaknya ia pernah di SMA meskipun tak membuatnya kelihatan pintar. Tantri tersenyum. Lengkung tipis di bibirnya menceritakan kepedihan yang teramat sangat. Kemudian bibir itu mendesiskan tembang yang sering dilantunkan emak saat Tantri kecil hendak berangkat tidur. Tantri terbahak sesaat, meronta, menangis, terbahak lagi, hanya dalam hati. Wajah muram itu menyiratkan keceriaan yang entah apa maknanya.
Perempuan Suditrisno itu berlari girang. Membuka pintu kamarnya, menuju ke arah dapur. Di raihnya pisau pemotong daging. Ya, ia ingat, di tangan nyonya, pisau itu pernah singgah di lehernya. Nyonya mengancam akan membunuhnya kalau sekali lagi ia minta izin istirahat dan ngomong ‘tapi’. Entah jam berapa, masih terlalu awal untuk menganggap hari sudah pagi dan malam seperti sudah lewat. Cahaya remang dari dalam akuarium menangkap wajah seorang perempuan yang perkasa. Melangkah perlahan dengan pisau pemotong daging di tangannya.
***
Lebaran sudah tiga hari. Bungsu terus merengek menarik-narik tangan emak. Ia ingin berkunjung ke rumah Sindu di kota. Ia ingin bermain, mengajari sepupunya itu bermain gobak sodor bersama teman-teman kecil lainnya di kota. Sebagai imbalan, bungsu juga harus diajari main play station dan diajak nonton film kartun.
Bungsu masih terlalu kecil untuk memahami hati emak yang kalut menunggu kedatangan anak perempuannya. Tapi rengekan bungsu akhirnya membuat nurani keibuannya tak kuasa untuk menolak.
“Ganti baju, kita berangkat ke rumah bude Sri sebentar lagi!”
Rumah besar yang biasanya sepi itu kelihatan ramai. Suasana lebaran menyelimuti. Melihat kedatangan bungsu, Sindu tak menghiraukan teriakan mamanya supaya bersalaman dengan buliknya dari desa. Ia langsung menghambur keluar, mengumpulkan teman-temannya, langsung menarik bungsu ke halaman samping untuk bermain gobak sodor.
Di dalam rumah, kedua kakak beradik itu berpelukan. Langsung menuju ruang keluarga.
“Saudara pemirsa, bertemu lagi dengan saya dilintasan berita. Di Taiwan, seorang TKW asal Indonesia yang telah membunuh sepasang suami istri di tempat ia bekerja, baru saja dipindahkan dari kantor polisi Taiwan ke rumah sakit jiwa. Tim dokter menyatakan tersangka positif terkena gangguan jiwa. TKW asal Indonesia tersebut diketahui bernama Tantri Widianingrum.”
Televisi berukuran 20 inch memperlihatkan wajah seorang perempuan asal kampung Suditrisno. Wajahnya kusam, tapi ia terus tertawa sambil sesekali melantunkan tembang yang sudah sangat dihafal oleh seorang tua yang tengah menontonnya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments