Angin malam menepis daun-daun kering diiringi rombongan ngengat yang bernyanyi bak orkestra. Jalan desa mulai lengang, sinarnya remang, yang ada cuma kerlip bintang.  Sesekali nampak anjing berkejaran berebut sisa makanan. Malampun telah larut, hanya bulan yang masih setia menunggu orang-orang melepas lelah.
Sedari tadi Nardi merebahkan tubuhnya yang penat di atas balai, tetapi belum juga ia bisa pejamkan mata. Lamunannya melayang, menambat rindu ingin segera punya anak. Namun sejenak lamunan itu tersangkut di pucuk randu. Bayangannya pun sobek dan jatuh.
“Jikalau aku dikaruniai anak, apa aku bisa membesarkan nanti? Sepetak sawah yang ku kerjakan itupun saja peninggalan dari orang tua istriku. Hasilnya pun juga tak seberapa, tapi cukup untuk makan sampai panen lagi tiba.”
Harapan itupun sudah terlanjur patah, lalu digantung kembali di dinding bambu. Nardi terlelap disamping istrinya.
 Keesokan hari selepas menyiangi rumput disawah, Nardi pergi ke rumah Sartono, kakak sepupu yang tinggal dekat Balai Desa.
Nardi ditemui dengan senang hati, wajarnya seorang famili yang jarang ketemu.
“Kang aku ingin kerja dikota seperti Kakang, bagaimana caranya?” Kata Nardi.
“Bisa saja Di, tapi apa yang bisa kamu kerjakan?”
“Apa saja Kang, kecuali masak seperti Kakang jualan mie ayam disana,” Jawab Nardi.
“Baik Di, kalau memang begitu ikut aku saja dulu. Besok pagi aku kembali ke kota”
 Maksud Nardi ke kota didukung oleh sang istri, termasuk ibunya yang tinggal satu pekarangan dengan rumahnya. Setelah berkemas dan menyiapkan bekal secukupnya, Nardi bergegas menyusul Sartono, lalu bersama-sama pergi ke kota. Untuk sementara, di kota Nardi menumpang ditempat pondokan Sartono.
Sudah sepekan Nardi di kota belum juga mendapatkan pekerjaan. Dan selama itu Nardi hanya bisa membantu Sartono berjualan. Sartono orangnya baik, tetapi Nardi malu berlama-lama menjadi beban orang lain. Akhirnya Nardi bicara kepada Sartono.
”Kang bagaimana kalau aku narik becak saja?”
 “Ya tidak apa-apa, yang penting sabar dan halal, Di. Di seberang tikungan jalan sana ada juragan becak, coba saja kesana,” Ucap Sartono.
Langkah Nardi seolah ringan, raut wajahnya pun bersinar. Harapan mendapat nafkah menggugah semangat, meski hanya mengayuh becak.
 Hari pertama menarik becak terkumpul dua puluh dua ribu rupiah. Sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan ini dan itu, sisanya disimpan. Nardi orangnya rajin dan tak mudah putus asa. Keseharian mengayuh dijalanani tanpa mengeluh. Kini hujan pun tak mampu lagi menggigilkan tubuhnya. Terik tak dihiraukan menerpanya. Saat simpanannya telah memadai, diluangkan waktu untuk kembali ke desa. Menambatkan rindu pada sang istri.
Tak terasa sudah lima bulan Nardi menarik becak dikota.
Kian hari kendaraan bermotor semakin memadati kota. Penarik becak pun bertambah jumlahnya. Persaingan mengais rejeki mengayuh becak tak terelakkan. Upah yang diperoleh sering kusut. Kadang seharian bangku becak tak tersentuh penumpang.
Nardi teringat istrinya, bayangan wajahnya timbul tenggelam. Lalu kaki kokoh itu bertekad untuk terus mengayuh dan mengayuh.
Kini Nardi tidak lagi hanya menunggu penumpang di tempat mangkal. Dikayuhnya becak itu keliling kota, bahkan keluar masuk komplek perumahan. Tapi nampaknya keberuntungan belum bersahabat dengannya.
Kaki-kaki itu mulai terasa lelah dan akhirnya berhenti berteduh di pohon pinggir jalan. Ia duduk dibangku becak, diminumnya seteguk air. Kemudian Nardi merenung dan termenung, pandangannya jatuh ke seberang jalan. Tak sadar ia lihat ulah seorang pemulung yang sedang mengais sampah di depan sebuah rumah.
“Orang itu juga cari nafkah,” Gumamnya.
Setelah rasa lelah mulai mereda, dikayuh kembali becak itu mengikuti kata hatinya sampai ujung langit memerah, adzan maghrib pun berkumandang.
 Usai sembahyang subuh Nardi mulai berbenah diri. Dibawanya dua lembar karung plastik bekas dan ditaruh di bangku becak. Dia berangkat lebih awal dari biasanya, tak peduli meskipun langit masih gelap.
Sesampai di mulut gang, Nardi berbelok arah ke komplek perumahan, lalu di dalam komplek perumahan Nardi berhenti disudut sebuah rumah. Didekatinya tempat sampah di sisi rumah itu, dilihat isinya, lalu dipilih dan sebagian dimasukkan ke dalam karung plastik.
Kemudian tempat sampah itu ditinggalkan dan beranjak menuju tempat sampah rumah berikutnya.
Hampir semua tempat sampah di komplek perumahan itu telah dijelajahi. Tak terasa dua karung plastiknya telah penuhi dengan barang-barang yang sudah tak bermanfaat bagi pemiliknya. Kertas, kardus, plastik atau potongan logam tak ayal mengisi karung Nardi.
Ia bernafas lega, tapi perutnya terasa lapar. Sejak pagi belum terisi sama sekali.
Becak berpenumpang dua karung plastik bekas itu dikayuhnya menuju warung makan langganan. Dilahapnya nasi sayur dan segelas kopi.
“Dua ribu lima ratus, Di” Begitu ujar Sang Pemilik warung.
Setelah membayar, segera dikayuh becaknya menuju tempat pengepul rongsokan.
 “Lumayan!” Ucap Nardi sambil menerima uang.
Pukul setengah satu siang Nardi sudah standby menunggu penumpang di tempat mangkal seperti biasa. Seperti sesuatu yang menjanjikan, setiap hari pekerjaan itu dilakukan Nardi tanpa ada yang memberi perintah. Sampai pada suatu hari, ketika Nardi memilah sampah di depan sebuah rumah cukup mewah, ia menemukan kalung agak kusam.
”Imitasi,” Katanya membathin. Kalung itu tadinya akan dimasukkan ke karung plastik, tetapi tidak jadi. Kemudian ia masukkan ke saku bajunya.
Seperti hari-hari sebelumnya, hasil memulung sampah dijual ke pengepul siang itu juga. Selanjutnya Nardi kembali ketempat mangkal. Hari itu cuaca amat terik, air minum yang biasanya disediakan habis tak tersisa setetespun. Nardi bergegas ke masjid untuk sholat ashar dan setelah mengambil air wudhu, ia merogoh kantong baju mengambil apa yang ada didalamnya.
“Ah, kalung tadi!” Gumamnya.
Kalung itu dicuci sampai bersih dan diamati.
“Apa mungkin ini emas? Ah, coba nanti kutanyakan ke pedagang emas di pinggir pasar itu” pikirnya.
Usai sholat ashar, Nardi ke pasar menemui pedagang emas. Diberikan kalung itu untuk diperiksa.
“Enam ratus lima puluh ribu mas, kalau mau” kata pedagang itu. Sejenak Nardi terperangah, lalu menjawab. “Baik pak, kutanyakan dulu. Nanti kalau yang punya mau, aku kembali kesini lagi” kata Nardi berbohong.
Kalung diterima kembali dan Nardi kembali lagi mangkal menanti penumpang. Hingga menjelang maghrib tak satupun orang yang berlalu-lalang minta diantar becak Nardi. Penumpang sepi. Tak lama kemudian ia kembali ke kampung kumuh, tempat pondokannya.
Setengah sembilan malam, Nardi beranjak tidur di selembar tikar pandan yang tergelar dilantai semen. Jauh dari kehangatan sebuah kasur yang empuk. Matanya tak kunjung terpejam, pikirannyapun melambung jauh, enam ratus lima puluh ribu rupiah, tidak sedikit nilai itu. Namun hati kecilnya berkata lain.  Kalung itu bukan milikku, dan hanya orang gila saja yang mau membuang kalung semacam itu. Aku harus mengembalikan ke pemiliknya. Pasti pemilik kalung itu yang mempunyai rumah mewah itu.
Namun pikiran itu dihapusnya sendiri. Pemilik rumah mewah itu orang kaya, kehilangan sebuah kalung seharga enam ratus lima puluh ribu pasti tidak ada artinya.
Di sisi yang lain hatinya tetap bersikeras mengatakan, “Tidak, aku harus mengembalikan. Itu bukan hakku”. Dialog itu tak kunjung reda berkecamuk dibenak Nardi, sampai akhirnya Nardi tertidur kelelahan.
Keesokan hari usai menjual hasil jerih payah memulung, Nardi pergi kerumah tempat ia menemukan kalung. Di pintu gerbang depan rumah itu terpampang nama pemilik rumah “Hanung Raharjo”.
Becak diparkir dekat rumah itu lalu ia pencet bel di sisi pagar. Tak seberapa lama keluar seorang wanita setengah baya. Nampaknya seperti pembantu rumah tangga.
“Mau cari siapa, Pak? Tanya wanita itu.
“Ibu Hanung ada?
“Bapak, siapa?” Lanjutnya.
“Nardi, Mbak”
“Sebentar, ya!” Kata wanita itu lalu masuk lagi kedalam rumah.
Kemudian muncul wanita seusia empat puluhan berparas cantik mempersilahkan masuk. Nardi ditemui diserambi teras rumah. Ternyata itu Bu Hanung, pemilik rumah.
“Bapak ini, siapa?” Tanya Bu Hanung sopan.
“Saya Nardi, pemulung sampah dikomplek ini, Bu. Maksud saya akan mengembalikan kalung yang dua hari lalu saya temukan ditempat sampah ibu. Ini kalungnya, Bu,”
Bu Hanung memeriksa kalung itu, lalu
“Iya, Pak ini kalung anak saya Putri, kemarin Saya cari kemana-mana tidak ketemu”
“Silahkan ibu ambil kembali,” Ulang Nardi.
“Sebentar, Pak, ya!”. Kemudian Bu Hanung masuk ke dalam rumah.
Tak seberapa lama ia muncul kembali.
“Pak, Saya ucapkan terima kasih, ya, dan ini untuk jerih payah Bapak”. Bu Hanung menyodorkan uang kepada Nardi.
Tapi Nardi tak segera menerima lalu dijawabnya dengan sopan.
“Maaf, Bu, maksud Saya kemari hanya untuk mengembalikan kalung itu saja dan tidak ada maksud lainnya bu”
“Tidak apa-apa, kok, Pak, terimalah!” Jawabnya.
“Sungguh, Bu, Saya ikhlas. Ibu sudah banyak memberi saya. Barang yang tak berguna ditempat sampah Ibu itu sudah cukup memberi rejeki saya. Setiap subuh saya kesini untuk mengambil, Bu”
Bu Hanung tak mampu memaksa lagi, dia hanya menanyakan dimana Nardi bertempat tinggal dan Nardi memberitahukan apa adanya. Lalu pulang dengan perasaan lega.
Habis maghrib Nardi ngobrol dengan teman-teman sepondokan. Rencananya besok pagi ia akan pulang kedesa. Tiba-tiba dari arah luar seorang teman lainnya berteriak.
“Di, ada yang cari!!”.
 Nardi keluar dan ternyata pembantu Bu Hanung yang datang mencarinya.
“Ada apa, Mbak?” tanya Nardi.
“Ini pak, saya disuruh ibu mengantar titipan untuk istri bapak”.
Wanita itu menyerahkan dua karton dos agak besar entah apa isinya, lalu mohon pamit.
“Makasih, Mbak, dan jangan lupa ya sampaikan terima kasih saya pada Bu Hanung” Lanjut Nardi.
Nardi pulang ke desa naik bus. Sampai dirumah ia disambut Narti, istrinya.
“Bawa apa saja, Kang, kok banyak sekali?” Tanya istrinya.
 “Syukurlah, Dik, ini ada rejeki” kemudian Nardi bercerita dari awal sampai selesai.
 Istrinya terharu. Matanya berkaca-kaca, lalu dipeluk suaminya.
“Kang……….”
Tak ada kata lain yang mampu keluar dari mulut Narti. Hanya perasaan bangga yang ada di hatinya Nardi memang suami yang jujur dan penuh perhatian.
Sejenak mereka tenggelam dalam perasaan masing-masing. Lalu perlahan Narti bicara, “Kang bulan ini aku terlambat sepuluh hari, Kang”
Seolah tak percaya pada pendengarannya sendiri, Nardi memastikan lagi
“Iya, Dik?”
 Narti mengangguk.
Seperti mendapat durian jatuh, Nardi terharu. Iapun tak mampu menahan air mata bahagia. Semakin erat ia peluk istrinya dan kemudian terucap dari mulutnya
 “Ya Tuhan, Alhamdulillah!”
 Nardi melepas pelukan lalu pergi mengambil air wudhu.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments