Archive for November 2011

LIANA

Bosan, bosan, bosan. Itulah yang dirasakan Andre sejak mulai diopname di rumah sakit ini dua hari yang lalu. Demam tinggi yang dideritanya membuat orang tua Andre terpaksa mengantar anak laki-lakinya ke tempat yang paling dibencinya. Dokter bilang Andre terserang tifus, akan lebih baik jika ia dirawat lebih intensif di rumah sakit. Andre menolak mentah-mentah anjuran itu dan memohon pada orang tuanya agar dibiarkan untuk beristirahat di rumah saja. Tapi mengingat semua orang di rumah, Ayah, Bunda, dan kakak perempuan Andre punya kesibukan masing-masing di luar rumah, maka Bunda pun memutuskan untuk menitipkan Andre di rumah sakit supaya ada suster yang bisa mengurusnya.
Andre ditempatkan di kamar kelas satu, yang satu kamar ditempati oleh dua orang. Teman sekamar Andre adalah seorang gadis kecil, mungkin usianya dua atau tiga tahun di bawah Andre. Andre tidak tahu siapa nama gadis itu, Andre juga tidak peduli dia sakit apa sampai bisa berada di rumah sakit ini, tapi yang pasti gadis kecil itu selalu tersenyum jika kebetulan mereka berdua bertemu pandang. Gadis itu selalu tersenyum padanya meski Andre tak pernah membalas senyum itu. Andre tidak terbiasa bertatakrama dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Selama berada satu kamar dengan gadis itu, Andre tak pernah mengajaknya bicara, ia hanya menghabiskan waktunya yang membosankan di tempat ini dengan membaca buku atau bermain permainan rubik kesukaannya.
“Dre, Bunda pulang dulu, ya, ganti baju, nanti Bunda ke sini lagi,” pamit Bunda seraya membereskan meja kecil di sebelah tempat tidur Andre yang agak berantakan, juga memasukkan pakaian-pakaian kotor Andre ke dalam tas. Andre hanya mengangguk tanpa suara, diikuti satu kecupan singkat Bunda di kening putera bungsunya sebelum akhirnya keluar kamar.
Andre kembali mengalihkan perhatiannya pada rubik kesayangannya. Diraihnya rubik itu dari atas meja, diacak, dan ia pun mulai memainkannya.
“Hei!” panggil satu suara, membuat Andre menoleh. “Namamu Andre, ya?”
“Iya,” Ternyata gadis kecil itu yang memanggil. Ia duduk tegak di atas ranjangnya, bagian tubuh bawahnya tertutup selimut, selang infus menempel di tangan kirinya. Posisi duduknya yang membelakangi jendela yang ditembus oleh cahaya matahari sore membuat wajah itu agak gelap tertutup bayangan, tapi Andre masih bisa melihat senyum manis tersungging di sana.
“Aku Liana, kelas 6 SD. Kamu kelas berapa?” Gadis kecil itu mengajak Andre berkenalan. Senyum ramah itu tak pernah lenyap dari bibirnya.
“2 SMP” jawab Andre, sekenanya.
“Oh... Kalau gitu aku panggil Kak Andre ya?”
Andre hanya mengangkat kedua alisnya sebagai tanda persetujuan. Keduanya diam sesaat, hingga Liana bicara lagi, “Sakit tifus, ya, Kak?”
“Iya,” Rupanya anak ini benar-benar ingin mengajaknya bicara, Andre jadi tidak tega kalau terus bersikap dingin dan merasa perlu untuk balik bertanya. “Kamu sakit apa?”
“Nggak tahu,” Liana nyengir.
“Kok nggak tahu?”
“Oma bilang. Kalau mau cepat sembuh aku harus banyak istirahat dan minum obat. Tapi aku nggak dikasih tahu sakit apa”
“Oma? Papamu mana?”
“Nggak ada,” jawab Liana, enteng.
Andre terdiam sejenak, “Mamamu?”
Liana memiringkan kepalanya, kemudian menjawab sambil mengangkat bahu, “Nggak ada juga”
Andre menggaruk kepala tak mengerti. Kalau dipikir-pikir sejak Andre diopname, Liana memang sudah menempati ranjangnya. Tapi rasanya Andre tak pernah melihat orang tua gadis kecil ini datang menjenguk. Kalau ada yang datang menjenguknya, itu hanyalah seorang wanita tua gemuk dengan rambut penuh uban. Mungkin wanita itu yang disebut Oma oleh Liana. Lalu, ke mana orang tua anak ini? Andre jadi penasaran.
“Memangnya Papa-Mama mu ke mana?”
“Kata Oma, Papa kerja di luar kota. Kalau Mama...” Liana tampak ragu, tapi akhirnya diteruskan juga kalimatnya. “Mama udah meninggal setahun yang lalu.”
Ada rasa bersalah menyelinap ke dalam hati Andre karena telah melemparkan pertanyaan itu. Gadis itu jadi kelihatan sedikit muram, maka Andre mencoba mengalihkan topik pembicaraan. “Sudah berapa lama di sini?”
“Hmmmm, berapa lama ya?” Mata Liana menerawang ke langit-langit, seolah jawabannya ada di sana. “Mungkin satu minggu sebelum Kak Andre masuk,” lanjutnya, tak yakin.
“Bosan, ya?”
“Iya sih... Tapi mau gimana lagi, tiap hari harus terapi, jadi nggak boleh pulang sama Pak Dokter” Senyum itu kembali lagi. Mendengar kata terapi, Andre jadi berpikir, mungkin Liana sakit parah. Namun ia bisa selalu tersenyum, seakan tak ada beban dalam hatinya. Entah kenapa, Andre merasa di balik senyumnya yang manis itu Liana adalah gadis kecil yang kesepian. Andre jadi merasa kasihan dan ingin sekali menghiburnya.
“Bisa main rubik?” tanya Andre seraya mengacungkan rubiknya ke arah Liana. “Mau nggak kuajarkan?”
Liana tersenyum semakin lebar, mengangguk-angguk penuh semangat. Andre jadi tidak bisa menahan senyum juga. Andre turun dari ranjangnya, menyeret tiang beroda yang menggantung botol infusnya ke dekat ranjang Liana. Setelah itu, Andre naik ke atas ranjang Liana, duduk berhadapan dengan gadis kecil yang manis itu dan mulai mengajarinya bermain rubik. Sejak saat itu mereka berdua mulai akrab dan menjadi teman baik.

***
“Nah, ini hadiah untuk Andre karena Andre sudah sembuh!” kata Ayah, riang, seraya menyerahkan sebuah kotak besar kepada puteranya. Andre langsung menyambutnya dan membongkar kotak itu dengan penasaran.
“Woooow, robot remote control Gundam Seet!?” ujar Andre terkagum-kagum.
“Ayah beli itu buat Andre waktu kemarin dinas ke Jepang. Gimana? Andre suka?”
“Suka banget! Makasih, ya, Yah!” sahut Andre sumringah.
“Sama-sama, Nak!” Ayah tersenyum lebar seraya mengelus kepala Andre dengan lembut. Bunda dan Kak Lisa, kakak Andre juga ikut tersenyum melihat kejadian itu. Begitu pun Liana yang memperhatikan kehangatan keluarga itu dari atas ranjangnya, juga ikut merasakan suasana hati Andre yang senang bukan kepalang.
“Wah, kalau sakit bisa dapat hadiah, aku juga mau sakit,” Kak Lisa cengar-cengir menggoda Andre.
“Kakak kira enak jadi orang sakit!? Ini aja aku udah bosan banget di sini!”
“Bosan? Masa sih?” bisik Kak Lisa di telinga adiknya,  melirik nakal pada gadis kecil di ranjang sebelah yang sedang memperhatikan keramaian keluarga mereka.”‘Kan ada Liana...”
Wajah Andre mendadak merah, tak bisa menjawab sepatah kata pun. Kak Lisa jadi terkekeh geli melihatnya.
“Andre... Andre... Akhirnya pulang juga kamu. Bosan aku di rumah, nggak ada teman berantem, hehehe...” Kak Lisa mengacak-acak rambut Andre, masih terkekeh.
“Ya sudah, Ayah mau urus administrasi dulu,”  kata Ayah, menyela keributan kecil yang dibuat kedua anaknya. Segera Ayah keluar kamar.
“Kalau gitu Bunda sekalian taruh barang di mobil,” Sambung Bunda, ikut melangkah meninggalkan ranjang Andre. Tapi sebelum keluar dari kamar, Bunda menoleh ke arah Liana, “Liana, tante sekeluarga pulang duluan, ya. Liana cepat sembuh, ya!”
Liana tersenyum dan mengangguk, “Iya tante, makasih”
Kak Lisa mengikuti Bunda keluar kamar.
“Nanti aku nyusul,” kata Andre ketika melihat kakaknya yang terhenti di ambang pintu, menatap dirinya yang belum juga beranjak dari ranjang.
Kak Lisa tersenyum jahil dan menggoda adiknya lagi, “Cieeeeee!”
Pintu kamar tertutup, tepat sebelum sebuah bantal melayang menghantamnya.
“Hahahaha...”
“Apa ketawa?” tanya Andre agak jengkel. Ia bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke ranjang Liana.
“Kakakmu lucu, ya?” Liana masih terkikik.
“Lucu apanya? Dia itu nyebelin!” Andre mengangkat tubuhnya, duduk di tepi ranjang Liana.
Keduanya terdiam beberapa detik. Lalu Liana angkat bicara. “Keluarga Kak Andre ramai, ya? Enggak seperti keluargaku”
Andre menoleh, menatap lurus wajah di hadapannya. Senyum yang selalu Andre lihat masih ada di sana, menghiasi wajah mungil berkulit terang itu, akan tetapi ada kesedihan terpancar dari kedua bola matanya. “Oma ke mana? Aku nggak lihat Oma 3 hari terakhir ini,”
 “Oma pergi,” Liana menatap jauh keluar jendela, “Cari Papa”
Ingin sekali Andre mengatakan sesuatu untuk menghibur gadis kecil ini, tapi tak sepatah kata pun bisa keluar dari bibirnya.
“Waktu itu aku bilang sama Oma, aku ingin sekali ketemu Papa,” sambung Liana, “Papa sudah 6 bulan nggak pulang, HP-nya juga nggak bisa dihubungi. Jadi Oma pergi cari Papa,”
“Sabar, ya.” Hibur Andre, “Sebentar lagi pasti Oma datang bersama Papa”
Liana hanya mengangguk dan tersenyum, kali ini ada setitik air mata di kedua ujung matanya. Andre tak bisa menahan diri untuk meraih dan menggenggam tangan mungil Liana. Mengusap punggung tangan gadis kecil itu dengan ibu jarinya, berharap hal itu bisa sedikit mengobati hatinya yang kesepian.
“Aku pulang dulu, ya” pamit Andre akhirnya. “Besok sore, pulang sekolah aku jenguk, deh”
“Iya,”
Andre beranjak dari ranjang Liana. Sebelum berjalan keluar, ia melirik sekilas pada meja kecil di samping ranjang Liana. “Itu obatnya nggak diminum?”
Liana melirik pada tiga butir kapsul di atas wadah kecil, berdampingan dengan segelas air putih di atas meja. “Iya, habis ini aku minum.”
Andre keluar kamar, Mereka saling melambaikan tangan sebelum akhirnya Andre menutup pintu dan benar-benar meninggalkan Liana sendirian. Kini perhatian Liana tertuju pada tiga butir kapsul di atas meja. Diambilnya sebutir kapsul, diputar hingga kedua sisinya terlepas, kemudian ditebarkannya serbuk-serbuk obat di dalamnya ke lantai melalui celah di antara ranjang dan dinding. Hal yang sama pun dilakukan pada dua butir kapsul yang lain.
Selesai sudah. Sekarang Liana membaringkan tubuh di atas ranjang, menarik selimut sampai ke bawah dagu. Kepala Liana sakit sekali, pandangannya mulai buram. Liana ingin tidur, tidur yang panjang seperti Mama.
“Mama... Liana kangen Mama”

***
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, tapi masih terlihat dua sosok gelisah di lorong depan ruang ICU. Seorang lelaki berusia 30 tahunan bertubuh agak gempal dengan jenggot tipis menghiasi dagunya mondar-mondir tampak frustasi.
“Liana... Sadarlah, Nak... Papa sudah pulang...” ujar lelaki itu, menyibak poninya yang menutupi dahi.
Sementara itu, seorang wanita tua bertubuh gemuk dengan rambut penuh uban hanya bisa terdiam, duduk lemas di kursi. Wajahnya pucat, matanya sembab.
”Kalau Liana kenapa-kenapa, ini salahmu,”
Lelaki itu menoleh cepat, “Kenapa aku? Aku cari uang untuk Liana, aku sudah bilang aku titip Liana pada Ibu!”
“Aldi, sudah enam bulan kau tak pernah pulang” jawab si ibu tua,  ”Buat apa kerja terus? Liana butuh kau, bukan uangmu!”
Aldi berdecak, “Bu, toko warisan almarhum Bapak yang selama ini jadi sumber penghasilan keluarga kita sudah bangkrut, aku harus kembalikan kejayaan keluarga kita! Kalau semua itu sudah kembali, aku akan bisa memberikan apa saja untuk Liana, untuk Ibu juga!”
“Alasan kamu!” wanita itu menegakkan posisi duduknya, mengangkat wajah menatap putera semata wayangnya dengan sorot mata penuh kemarahaan. “Sejak kematian istrimu, kau selalu menyibukkan diri dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Kau melupakan Liana yang sangat membutuhkanmu. Kau pikir hanya kau yang merasa kehilangan istrimu? Liana jauh lebih terpukul daripada kau!”
Aldi tersentak mendengar kata-kata ibundanya yang begitu menusuk tepat ke dadanya, membuat dia amat menyesali segala tindakannya. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya yang mulai lemas ke dinding, menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, tak tahu lagi harus berbuat apa.
“Pak Aldi! Ibu Ranti!” panggil seorang dokter laki-laki yang baru saja melewati ambang pintu ruang ICU, masih mengenakan seragam hijaunya. Spontan kedua orang yang dipanggil terlonjak, langsung melangkah mendekati sang dokter.
Gimana, dok?” tanya keduanya serempak, dengan nada panik yang sama.
Sang dokter menggeleng, “Kami sudah mencoba lakukan yang kami bisa. Tapi rupanya Tuhan berkehendak lain”
Kedua orang itu terbelalak. Aldi memeluk erat pundak ibundanya, tampaknya lutut wanita tua itu mulai lemas, air mata membanjiri wajahnya. Belum selesai sampai di situ, masih ada hal lain yang membuat mereka lebih terpukul lagi.
“Kami menemukan ini di saku piyama Liana,” ujar si dokter sambil menyerahkan secarik kertas yang terlipat rapi. Disodorkannya kertas itu pada bu Ranti, “Sepertinya ini untuk ibu”
Bu Ranti meraih kertas itu dengan tak sabar, dibukanya lipatan kertas dengan terburu-buru. Bu Ranti dan Aldi tahu betul, itu tulisan tangan Liana. Membaca isi surat itu benar-benar membuat dada terasa sesak, tangannya gemetar, lututnya semakin lemas.
“Maaf atas keteledoran perawat-perawat kami dalam mengurus cucu Anda,” si dokter tertunduk dalam-dalam.
Sedetik kemudian, tubuh Bu Ranti terjatuh ke lantai, tak sadarkan diri.

***
Sore yang cerah. Seorang anak laki-laki berseragam putih biru, dengan tas ransel hitam di punggungnya melangkah keluar lift. Andre sudah sampai di lantai 3, sekarang sedang menuju kamar 362, tempat dirinya dan Liana pernah dirawat bersama. Kemarin Andre janji untuk menjenguk Liana hari ini, semoga saja Liana senang dengan kehadirannya. Begitulah yang ada dalam pikirannya saat itu.
Dibukanya pintu kamar  362, dan melongok ke dalamnya. Ranjang Andre sudah ditempati orang lain, seorang wanita muda. Perlahan Andre masuk ke dalam kamar, tak ingin langkah-langkahnya membangunkan wanita yang sedang tertidur pulas itu. Ranjang itu dan ranjang Liana terpisah oleh gorden pembatas, Andre melongok ke samping gorden, berharap senyum manis itu menyambutnya di sana. Tapi...
“Cari siapa, Nak?” tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di atas ranjang sambil membaca sebuah majalah. Senyum itu ramah, tubuh bagian bawahnya juga tertutupi selimut, tangan kirinya juga diinfus, seperti Liana. Tapi tentu saja bukan orang ini yang dicarinya.
“Liana,”
 “Nggak ada yang namanya Liana di ruangan ini”
“Tapi kemarin dia di ruangan ini kok” jawab Andre tak mau kalah.
Si Ibu memiringkan kepala, “Mungkin sudah pulang?”
Andre tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk pelan pada si ibu dan berjalan keluar kamar. Sambil menelusuri lorong rumah sakit, menuju lift Andre berpikir dalam hati, “Liana sudah pulang? Baguslah kalau dia sudah sembuh juga. Tapi aku lupa tanya nomor HP-nya... Yah, jadi nggak bisa ketemu lagi, deh”
Andre masuk ke dalam lift, dan pintu lift pun tertutup.


Untuk Oma,

Oma, sebenarnya Liana sakit apa? Kenapa harus terus-terusan terapi? Liana ‘kan udah beberapa kali pindah rumah sakit, udah minum macam-macam obat, tapi kenapa Liana nggak sembuh-sembuh juga?
Oma, kepala Liana sakit, sakiiiiiit sekali. Tapi obat-obat itu nggak bisa menghilangkan sakit kepala Liana. Liana capek minum obat terus, Liana tahu obat-obat itu nggak akan bisa menyembuhkan Liana, makanya Liana nggak pernah minum obat lagi. Obat-obat itu suka Liana buang ke lantai dekat dinding, atau malah keluar jendela. Tapi suster-suster itu nggak pernah tahu.
Oma, Liana kangeeeeenn banget sama Mama. Liana pengen banget ketemu Mama. Habis Papa nggak pernah pulang, nggak pernah ingat sama Liana, jadi Liana mau ketemu Mama aja.
Makasih ya Oma udah jaga dan ngurus Liana selama ini. Kalau Oma ketemu Papa, salam sayang dari Liana untuk Papa. Pokoknya, Liana sayaaaaaaaang banget sama Oma dan Papa.

Liana
Tag :

SAKSI CINTA KERETA PALMERAH

Karya yang agung, begitu megah dengan barisan gerbongnya yang kokoh nan perkasa. Dan lihatlah ketika roda besi itu melintasi rel-rel yang terbuat dari baja hitam yang panjangnya ribuan kilometer itu bunyi yang menggetarkan syaraf motorik begitu terasa. Terdengar mengancam, menghibur, dan mengadu. Mengancam siapa saja yang berani menantangnya dengan berdiri mematung ditengah lintasanya, rel baja. Menghibur siapa saja yang telah asyik mendengarkan lantunan lagu dari sang pengamen yang telah kebal terhadap sejuta kemungkinan nasib baik yang sering menyapanya. Dan mengadu, mengadukan nasib ribuan anak jalanan yang mengandalkan tempat benda maha karya zaman Belanda itu berlabu, untuk mencari barang sesuap nasi. Apakah mereka perduli? Perduli pada orang-orang yang naik diatas gerbongnya? Perduli kepada orang-orang yang tidur di bawah gerbongnya? Perduli pada anak-anak jalanan yang harus mempertaruhkan napasnya, saat melantunkan lagu Ayah di pelataran stasiun tempat pemberhentianya. Apakah mereka perduli? Orang-orang atasan itu! “Hanya Allah yang tahu, dan saksi kekejaman ibu kota di stasiun kereta juga stasiun pembaringan hidup kami. Generasi yang tak pernah diperdulikan kalian, duhai pemimpin bangsa!”

Antrian tiket begitu panjang di loket kereta tujuan stasiun Serpong Tanggerang. Kereta itulah, yang setiap hari setia mengantarnya menuju setasiun Bintaro dan dia akan melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya di Larangan Selatan Cileduk. Kereta akan tiba kira-kira satu jam lagi, sementara antrian bagaikan semut merubung gula bekas roti.

Seorang Bapak berkacamata minus persegi menyapa: “Baru pulang kerja dik?” Dia menoleh, Bapak berwajah ramah itu tersenyum. “Iya Pak. Antrinya lumayan juga.” Lirihnya membalas senyum Bapak itu.
“Kerja dimana?” Tanya Bapak itu kembali.
“Di toko kaset pasar Palmerah Pak!” Jawabnya halus.
“Bapak darimana?” Tanyanya akrab.
“Ini lo, tadi saya habis menjenguk saudara di Kampung Bandar. Sekarang mau pulang ke Lebak Bulus. Adik hendak pulang kemana?”
“Saya ke Larangan Pak.”
Bapak itu mengamati pemuda yang telah diajaknya bicara. “Nampaknya dia seorang pekerja keras, dan santun ahlaknya. Dan wajahnyapun teduh.” Pikirnya dalam hati, menilai anak muda itu.
“Kamu masih sekolah nak?”
“Alhamdulillah Pak, masih.”
“Kuliah?” Sambung Bapak berkacamata.
“Iya Pak.” Jawabnya tersenyum bangga.
“Kuliah dimana?” “Di UI Pak.”

Antrian perlahan surut. Banyak orang dalam antrian yang sudah mendapatkan tiket. Selang beberapa saat keereta jurusan Serpong datang dari arah Utara.
“Adik mau ke bintaro? Itu keretanya sudah datang!” Mereka saling berpamitan, dan bertukar kartu nama.
“Terimakasih lo, mau menemani saya mengobrol. Rasanya kalau mengantri begini kalau nggak ada yang di ajak ngobrol sepi.” Komentar Bapak itu.
“Sama-sama Pak! Saya pamit Pak!”
“Ya, hati-hati lo nak!” Klakson membahana, memberitahu kepada setiap penumpang agar segera masuk kedalam gerbong raksasa. Barisan laki-laki, perempuan perlahan menuju gerbong-gerbong kereta hitam yang berhenti di jalur dua. Itulah, kereta menuju Serpong. Ia mengikuti barisan itu, rasanya bahagia bila sore mengiringi hati yang baru saja pulang kerja.








Satu persatu penumpang naik ke atas gerbong. Para pengamen mulai menggenjreng gitarnya, atau sekadar menggoyangkan kecrek tutup botol untuk menyanyikan lagu sumber pendapatan makan bagi mereka. Para pengemis yang berpakaian serba kumal namun megah bagi mereka, sedang memasang muka pilu meminta sedekah kepada setiap penumpang kereta. Seorang gadis berjilbab merah muda ikut antrian menuju gerbong tepat disampingnya.

Akhirnya tinggal beberapa orang yang mengantri, dan dia berhasil naik keatas gerbong namun naas, tempat duduk yang tersedia telah penuh. Dia mencari  tempat yang aman untuk berdiri. Disudut gerbong ada tempat yang cukup aman, menghadap jendela yang terbuka pasti nyaman kalau kena angin. Kereta mulai bergerak perlahan saat terdengar suara teriakan. “Tolong copet!” Dia menoleh, dan si gadis yang tadi mengantri disampingnyalah yang berteriak.

Gadis itu kembali kepelataran stasiun, kereta mulai cepat bergerak. Merasa tergugah melihat gadis itu mengejar copet sendirian, dirinya melompat dari pintu gerbong yang masih terbuka. Rupanya si gadis kembali berteriak sehingga memancing orang-orang disekitar stasiun untuk mengejar pencopet itu. Tumpah ruah separuh penghuni stasiun mengejar si pencopet yang tunggang langgang lari kearah pasar. Akhirnya pencopet itu berhasil dibekuk di pasar bagian Timur dekat sebuah pasar swalayan.

“Ampun !!! Ampun !!! Tolong Bang jangan pukulin saya!” Lirih seorang bocah remaja yang tangan kananya menggenggam sebuah dompet berwarna hijau.
“Gebugin aje ngapain dikasih ampun! Bocah kayak gini, mampusin!” Ujar seorang Preman stasiun berwajah sangar.
Anak itu masih mengaduh. Satu persatu bogem mentah menghujani tubuh kurus itu. Ia yang baru tiba di lokasi segera menghampiri orang-orang yang kehilangan akal itu. “Berhenti!” Ujarnya menggelegar. Namun orang-orang yang telah kehilangan akal itu masih terus melayangkan pukulan ke tubuh remaja laki-laki yang keadaanya sudah babak belur.
“Hei kalian berhenti! Kalau tidak, saya laporkan polisi perbuatan kalian!” Ujarnya sekali lagi. Penyiksaan itu terhenti. Pandangan-pandangan tak setuju tajam menghujam matanya.
“Ngapain Abang ikut campur, biar copet ini mampus!” Preman stasiun protes.
Ia maju satu langkah mendekati preman itu.
“Bang nggak ada cara lain apa untuk menyadarkan copet ini!? Apa harus dipukuli macam begini!? Nggak kasihan apa Abang?” Preman itu menatapnya galak.
“Asal abang tahu aja ye! Nih copet udah sering ngelakuin criminal di stasiun Palmerah, kalau dibiarin bisa ngerugiin banyak orang!” Preman itu mencoba membela tindakan yang dilakukanya bersama separuh penghuni stasiun.
“Saya faham Bang. Tapi perbuatan kalian bisa membuatnya semakin gencar melakukan criminal!”
“Maka daripada itu dia harus di bikin mampus!” Ujar preman itu sambil mengarahkan pukulanya kearah bocah laki-laki yang mukanya sudah berlumuran darah.
“Tahan! Kalau abang tetap nekat mau mukul anak ini Polsek dekat dari sini. Abang mau saya laporin Polisi!?” Preman dan orang-orangnya akhirnya mengalah.

Si gadis berjilbab merah muda baru saja tiba di tempat kejadian. Dia tiba bersama beberapa Polisi.
“Itu pencopetnya Pak!” Ujar si gadis penuh amarah. Polisi hendak memborgol remaja yang masih merintih kesakitan itu.
“Tahan Pak. Biar anak ini menjadi urusan saya! Mbak itu dompetnya silahkan ambil!” Katanya seraya menunjuk dompet yang tergeletak tak jauh dari tangan tubuh penuh luka pukulan itu. Gadis berjilbab merah muda terkesiap heran, sementara 3 Polisi yang mengawalnya mengurungkan niat mereka untuk memborgol si remaja.
“Pak sebaiknya anak ini di bawa ke rumah sakit. Coba Bapak lihat, apa tidak kasihan kalau di borgol lalu di bawa ke kantor Polisi?” Salah seorang Polisi menghampiri anak yang semakin keras suara rintihanya.


“Benar, kalau begitu segera kita bawa anak ini ke rumah sakit. Luka-lukanya terlalu parah.” Kata polisi itu. Akhirnya bersama 3 orang Polisi ia dan gadis itu menuju rumah sakit dengan ambulans.
“Siapa namamu dik?” Tanyanya ketika berada di dalam ambulans.
“Yansyah Bang!” Jawab anak itu menahan sakit. Gadis berjilbab merah muda memperhatikan percakapan itu.
“Apa yang membuat kamu melakukan hal ini?” Tanyanya lagi.
“Buat biaya makan sama bayar sekolah Bang. Udah 4 bulan saya nunggak spp. Dan … Ibu saya lagi sakit Bang!” Kata anak itu sambil meneteskan air mata.
“Saya terpaksa melakukan ini Bang. Saya ingin Ibu saya sembuh, obatnya sudah habis saya mau diberhentiin dari sekolah. Saya masih ingin belajar Bang, saya masih ingin bersama Ibu!” Akhirnya tangisnya pecah. Mata gadis berjilbab merah berkaca-kaca. “Benar kamu masih ingin sekolah?”
Yansyah mengangguk. “Benar kamu masih ingin bersama Ibu?” Kembali Yansyah mengangguk.
“Baik sepulang dari rumah sakit nanti kita ke rumahmu!” Yansyah terperangah. “Abang mau ke rumah saya? Jangan Bang! Rumah saya nggak pantas buat Abang!” Kata Yansyah mengiba.
“Sudah, jangan kamu pikirkan hal itu.” Ia melirik gadis berjilbab merah yang duduk disebelahnya. Gadis itu masih berkaca-kaca.
“Mbak terharu?” Tanyanya.
“Saya tidak menyangka, alangkah keras perjuangan anak ini demi pendidikan.” Lirihnya. “Begitulah Mbak. Oh ya, apakah isi dompet Mbak ada yang kurang?”
“Alhamdulillah, sedikitpun tidak. Isinya lengkap.” Kata gadis itu menjelaskan. Ambulans tiba di rumah sakit, Yansyah diangkat dengan mengunakan tandu diiringi 3 Polisi. Seorang perawat langsung menangani Yansyah. Polisi yang membawa rombongan Yansyah menemui pihak administrasi.

“Tangani dengan baik pasyen kamar 03 semua biaya saya yang bertanggung jawab.” Setelah menangani administrasi Polisi itu menemui Gadis berjilbab merah muda. “Tugas kami sudah selesai, biaya rumah sakit anak itu telah saya selesaikan. Saya pamit, lain kali hati-hati agar kejadian tadi tidak terulang.”
“Terimakasih Pak. Saya akan lebih berhati-hati lain kali.” Polisi itu kembali bertugas bersama 2 anak buahnya.

“Oh ya, nama mas siapa?” Tanya gadis itu kepadanya seraya mengulurkan tangan.
“Qais Mbak.” Jawabnya menyambut tangan si gadis.
“Aku Nurul. Terimakasih lo, kamu telah menolong saya. Saya piker copet itu berhasil lolos dari kejaran orang-orang di stasiun, dan dompet saya berhasil dibawa kabur.” “Sama-sama Mbak. Lagi pula, dompet Mbak tentu selamat walaupun anak itu berhasil tertangkap orang-orang stasiun. Yang kasihan adalah anak itu, kalau sampai tak terselamatkan dari amukan orang-orang itu.”

Tak lama kemudian seorang perawat menghampiri Qais dan Nurul.
“Mas dan Mbak yang mengantarkan adik tadi?”
“Iya Suster, bagaimana keadaanya?” Tanya Qais.
“Alhamdulillah, dia baik. Sekarang juga sudah diperbolehkan untuk pulang.” Perawat itu menjelaskan.

Qais bangkit dari duduknya, “Boleh saya menemuinya?” Pintanya.
“Silahkan!” Mereka bertiga masuk ke ruangan dimana Yansyah di rawat. Remaja itu sedang menikmati sepotong roti yang ditaburi keju halus. Ketika Qais dan Nurul disertai perawat masuk sejenak ia menghentikan makannya.
”Bagaimana keadaanmu Syah?” Tanya Qais, seraya duduk disamping Yansyah. ”Alhamdulillah Bang. Oh ya, saya belum kenalan nama Abang sama Mbak siapa?” Tanyanya sambil menatap kedua orang yang telah menolongnya.





”Nama Abang Qais.”
”Nama Mbak Nurul.” Ujar Nurul seraya menyalami Yansyah.
”Terimakasih Mbak Nurul dan Bang Qais mau menolong saya. Oh ya Bang, kira-kira kapan saya boleh pulang? Kasihan Ibu lama menunggu saya.”
”Sekarang juga kamu boleh pulang. Kalau kamu merasa sudah baik.” Qais menjelaskan. ”Bagaimana dengan biaya rumah sakit ini Bang. Saya rasa, pasti mahal. Saya nggak punya uang Bang, untuk membayar semua pengobatan saya.” Ujar Yansyah merasa tak enak.
”Kamu tidak usah memikirkan hal itu, semua beres. Yang terpenting kamu sehat, dan kamu bisa ber sekolah besok.” Kata Qais menghibur. Yansyah diantar pulang oleh Qais dan Nurul. Tak hentinya anak itu mengucap syukur kepada Allah, karena dia masih diselamatkan dari amukan orang-orang yang tak pernah mengerti keadaan yang mengharuskan dia mencopet.

”Kamu sekarang kelas berapa Syah?” Tanya Nurul.
”Kelas IX Mbak Nur.”
”Sebentar lagi ujian dong?”
”Iya Mbak, do’anya Mbak.”
”Apa cita-citamu nanti kalau sudah besar Syah?” Tanya Qais.
”Saya mau jadi Pilot Bang.”
”Belajarlah terus, semoga cita-citamu tercapai.”
”Amin, itu rumah saya Bang! Mbak!” Mereka tiba disebuah rumah berukuran 10x6 meter. Rumah itu terletak disebuah perkampungan kumuh di pinggir sebuah kali yang Amat tragis keadaan airnya. Yansyah mengajak mereka masuk kedalam rumah, ketika membuka pintu alangkah terkejutnya Qais dan Nurul melihat keadaan rumah bagian dalam. Benda seperti lemari kayu yang sudah tidak memiliki pintu lagi diletakan di pojok rumah sébela kanan, berdampingan dengan sebuah kompor minyak berkarat  yang sedang mengepulkan asap. Sebuah ranjang kayu didesakan dengan sebuah meja triplek disudut lain ruangan. Seorang gadis kecil sedang mengaduk sayur yang baru saja matang. Melihat Yansyah pulang gadis itu langsung melompat menyambutya.

“Abang, gimana berhasil nyopetnya?” Tanya gadis itu penuh harap.
“Gagal Lam, malah Abang di pukulin warga.” Yansyah menghela napas. Gadis itu nampak cedí, “Gimana sama Ibu Bang? Dari tadi batuknya nggak berhenti. Terus sesak napasnya terus-terusan kambuh.” Gadis itu menjelaskan.
”Sekarang Ibu sudah istirahat?” Gadis itu mengangguk.
”Sudah makan?”
”Saya saja baru masak, ini tadi pinjem sayuran dari Nyak Madeh.” Kata gadis itu sambil melirik sayur yang telah matang diatas kompor.
”Ya sudah, ini Abang bawa teman. Layani dulu dengan baik mereka yang nolongin Abang dari amukan warga tadi.” Gadis itu dan Yansyah mempersilahkan Qais dan Nurul masuk ke dalam rumah.

”Dia adikmu Syah?” Tanya Qais.
”Iya Bang, namanya Nilam.”
”Sekolah?”
”Alhamdulillah Bang, sekarang naik kelas VI.” Dalam hati Qais ada rasa perih. Sebuah suara memanggil Yansyah, suara itu berasal dari ranjang kayu yang baru saja diamati baik-baik oleh Qais.

”Yansyah, sama siapa kamu?”
”Yansyah bawa teman Bu.” Yansyah menghampiri wanita itu.
”Uks! Uks!” ”Ibu belum makan?”
”Belum, kamu sudah?”
”Sudah Bu. Lam suapin Ibu dulu, biar Abang yang bikin minum buat Bang Qais dan Mbak Nurul.” Yansyah bangkit begitu juga adiknya yang sedang mempersiapkan 2 gelas minuman.




”Maaf Bang, Mbak! Hanya ini adanya.” Kata Yansyah seraya menaruh 2 gelas air putih diatas lantai rumah yang terbuat dari semen.
”Kalian bertiga, tinggal di rumah ini?” Tanya Qais.
”Iya Bang.” Jawab Yansyah datar.
 ”Ayahmu?” Tanya Nurul.
”Ayah saya sudah 3 tahun yang lalu meninggal. Beliau tertabrak kereta waktu pulang ngamen di stasiun Palmerah.” Yansyah menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. ”Berdo’alah, semoga Ayahmu menjadi kekasih Allah.” Ujar Qais lirih.
”Lalu, siapa yang membiayai sekolahmu dan adikmu?”
”Sejak Ayah meninggal, sayalah yang menggantikan beliau mencari nafkah keluarga. Kadang saya ngamen, kadang jaga kios punya Koh Budi di pasar, ya ... Kalau keadaan terdesak saya melakukan hal yang baru saja saya lakukan, mencopet.” Yansyah menjelaskan panjang lebar.

”Walau bagaimanapun juga saya harus jalanin semua ini Bang, Mbak. Demi cita-cita, dan pesan Ayah saya sebelum meninggal.”
”Memangnya apa pesan Ayahmu?” Tanya Nurul.
“Kata Ayah, saya tidak boleh bernasib seperti beliau. Saya harus menjadi orang sukses. Begitu yakinnya beliau menyemangati saya untuk sukses, meski keadaan kami seperti ini.” Qais dan Nurul berkaca-kaca.
“Oh ya Bang Mbak, keasyikan cerita nih. Di minum dulu!”.

Usai Shalat Mahgrib Qais pamit pulang pada keluarga Yansyah. “Ini Syah, uang buat kamu makan selama sebulan dan bayar spp. Kalau kurang kamu datang ke rumah Abang! Ini alamatnya.” Kata Qais sambil menyerahkan kartu namanya pada Yansyah.
”Aduh, Bang. Terimakasih! Apa saya nggak ngerepotin Abang?” Lirih remaja itu.
”Insyah Allah, semoga bermanfaat! Yang penting belajar kamu jangan terhambat wujudkan cita-citamu juga pesan Ayahmu.”
”Terimakasih Bang!” Yansyah mengantarkan mereka menuju stasiun. Ketika mereka naik kereta Yansyah berdo’a dalam hati.
”Ya Allah, begitu baiknya mereka. Mereka perduli dengan orang sepertiku, semoga Engkau menjadikan mereka orang-orang yang Shaleh juga kekasihmu di Surga sana. Dan, semoga mereka menjadi sepasang kekasih. Kan seru juga, kayaknya cocok orang sebaik mereka menjadi kekasih di dunia juga di Akhirat.”

Palmerah lengang. Terkikis oleh zaman yang semakin ganas. Terkikis oleh Ibunya yang semakin tua dan berang akan keadaan yang menimpanya. Air susunya tercemar oleh limbah-limbah yang beracun. Kulit tanganya yang lembut, kini kasar tercabik oleh anak-anaknya yang tak mengenal kasih sayang bila harus berhadapan dengan kehidupan yang keras. Maka, diatas malam yang sepi nan senyap Palmerah berujar.

”Duhai insan manusia! Tidak kasihankah engkau kepada Ibuku Jakarta yang sudah renta. Masihkah kalian tega terus-menerus melukai hatinya dengan kata-kata limbah kalian yang kejam. Masihkah kalian tega, membalas air susunya dengan air tuba kapitalisme kalian. Aku mohon, jaga dan peliharalah Ibuku yang renta nan tua ini!”

Hari berganti hari, rotasi bumi bergerak sesuai porosnya. Tidak sedikitpun keluar dari horison yang telah digariskan Tuhan. Bila keluar dari garis itu, maka semesta ini akan berganti menjadi remah-remah. Qais sedang termenung di kamar kosnya. Selama ini, dia hanya berpikir kehidupanyalah yang paling mencekik di dunia ini. Dia, yang sejak kecil sudah di tinggal kedua orang tuanya karena terkena wabah cacar yang menimpa kampungnya. Dia, yang sejak kecil sudah harus menghadapi berbagai macam pekerjaan kuli yang keras demi mempertahankan hidup. Dia, yang sejak kecil, tak pernah merasakan kelembutan seorang Ibu. Saat usianya menginjak 3 tahun, wabah cacar menyerang kampungnya. Hampir separuh penduduk kampung menjadi korban. Termasuk kedua orang tua dan seorang adiknya Khairul. Menjadi korban jiwa wabah itu. Sejak itu ia tinggal bersama seorang Mantri rumah sakit di desanya. Dan ketika berusia 15 tahun dengan berbekal Ijazah SMP ia merantau ke Jakarta untuk bekerja sekaligus bersekolah.



Alangkah sulitnya mencari pekerjaan dengan berbekal Ijazah SMP hingga ia harus rela menjadi kuli bangunan untuk bertahan hidup. Nasibnya berubah ketika ia duduk di kelas 2 SMA. Seorang pemilik pusat perbelanjaan menerimanya untuk bekerja di toko kaset yang berada di pusat perbelanjaan miliknya. Hingga kini dirinya masih mengabdikan dirinya di toko kaset itu. Gajinya cukup untuk membiayai kuliah dan hidupnya. Dan alhamdulillah sebentar lagi dirinya akan diangkat menjadi Dokter.

Akhirnya cita-cita yang diangankanya hampir tercapai juga:
”Ayah! Ibu! Khairul! Tak akan ku biarkan orang lain bernasib sama seperti kalian!” Janji yang di ucapkanya saat menghadapi ketiga jasat orang yang disayanginya.
“Yansyah.” Ia menghela napas. “Adikku, kamu mirip sekali dengan Khairul. Bermata sipit, berhidung mancung, berkulit hitam manis, lekuk pipimu, juga sama seperti Khairul ada disebelah kanan. Hanya satu yang tidak menyamaimu dengan Khairul, kamu tidak memiliki tahi lalat di dahi sebelah kiri. Tak apalah, toh kamu telah meredam rinduku pada adikku. Aku berjanji Syah, tak akan ku biarkan kamu bernasib sama seperti Khairul! Menghadap Allah sebelum mewujudkan cita-citanya, juga sama seprtimu Syah. Khairul dulu ingin sekali menjadi Pilot.” Awan-awan menggantung dikelilingi oleh tujuh bidadari nan cantik simbol warna yang megah. Awan-awan itu, pelangi bidadari itu, mengamininkan do’a Qais, mereka dan makhluk seluruh jagat raya mengaminkan do’a hamba-hamba Allah yang tidak mengenal kata menyerah demi mewujudkan cita-cita mereka.

Alam berdzikir, memuji kebesaran’nya yang tak pernah bisa tertandingi oleh apapun. Alam bertasbih, memuji keindahan ciptaan’nya yang begitu mempesona, gunung gemunung yang tinggi, dengan pepohonan yang hijau dengan bunga-bunga yang mekar. Angin yang berhembus perlahan menyejukan kerongkongan dan paru-paru yang hitam. Kicau burung, gemericik air sungai, juga lantunan ayat-ayat Allah yang terdengar dari sebuah masjid hati diatas bukit jiwa yang hijau nan teduh. Bunga-bunga kebahagiaan sedang mekar di jiwanya, lantunan dzikir alam menggema dari lisanya. Terdengar ucapan syukur penuh hikmat mengalir dari sungai-sungai kalbunya. Seorang pria berkacamata minus menyematkan lencana mengkilap lambang tugas di dadanya.

”Semoga engkau menjadi seorang Dokter yang dapat menyelamatkan banyak orang. Jalankan tugas dengan penuh tanggung jawab, penuh dedikasi, dan ingat. Lakukanlah semua karena Allah, dan atas dasar kemanusiaan.” Pesan Rektor UI itu yang amat dikaguminya. ”Terimakasih Pak, mohon restunya!”

15 tahun kemudian.
”Besar harapan saya, kepada kalian untuk menjadi pilot-pilot yang bekerja dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab penuh. Di tangan kalian, nyawa juga keselamatan banyak orang di amanahkan oleh Tuhan. Kalian telah menempuh pendidikan juga latihan yang keras. Semoga itu semua dapat kalian jadikan bekal juga pedoman selama bertugas di lapangan nanti.” Itulah sekilas pidato yang disampaikan oleh kepala pelatihan pusat penerbangan yang disampaikan kepada 15 orang yang telah dilatih dan siap untuk mengendalikan pesawat.

Seorang pemuda dewasa bertubuh tegap dengan lekuk pipi disebelah kanan berada diantara mereka. Hari ini adalah awal penugasan para pilot muda ini. Sebelum menjalankan tugas mereka mendapatkan pengarahan juga sedikit pemeriksaan kesehatan. Seorang Dokter telah di tugaskan untuk meneleti kondisi kesehatan mereka. Yansyah masuk ke dalam ruang pemeriksaan dan alangkah terkejutnya dia ketika menatap wajah sang Dokter.

”Bang Qais!?”
”Yansyah!” Mereka saling berangkulan.
”Gimana kabar Abang?”
”Alhamdulillah aku baik. Terkabul rupanya cita-citamu!?” Yansyah mengulum senyum. ”Terimakasih Bang. Alhamdulillah, akhirnya saya dapat mewujudkan pesan Ayah dan cita-cita saya.”



”Bagaimana kabar Ibu dan adikmu?”
”Ibu menghadap Allah setahun setelah kunjungan Abang ke rumah saya. Adik saya kini sedang menempuh strata 2 Psikologi di Harvard university.”

”Saya turut berduka atas kepergian Ibumu. Do’akanlah beliau selalu, do’a anak yang berbakti akan diterima oleh’nya.”
”Terimakasih Bang. Sekarang paling tidak saya dapat mewujudkan pesan kedua orang tua saya, menjadi orang yang berguna bagi sesama.” Mereka berdua tersenyum.
”Ayo mari, aduh ... Keasyikan ngobrol jadi lupa kalau pasyen saya harus diperiksa kondisinya.”

Usai pemeriksaan yang singkat itu Qais dan Yansyah menuju rumah Qais di kawasan Pondok Indah. Rumah yang cukup megah, dilatar belakangi oleh kebun mawar juga sebuah kolam ikan yang ditepi kolamnya berhiaskan pernak-pernik yang terbuat dari keramik. Penampilan dalam rumah, jangan ditanya. Hampir semua permukaan dinding dihiasi dengan lukisan-lukisan alam.

”Inilah gubuk saya Syah!” Ujar Qais penuh kebanggaan.
”Duhai Abangku alangkah bagusnya gubukmu ini. Kiranya sudikah Abang menampung dinda disini?” Rajuk Yansyah bernada canda.
”Tentu saja. Hehehe!” ”Mari silahkan masuk adikku!” Yansyah duduk disebuah sofa buatan Itali. Seorang wanita datang menyambut mereka. Dan alangkah terkejutnya Yansyah ketika memandang wanita anggun itu, “Mbak Nurul!?” Mereka berjabat tangan. “Apakabar adikku?”
“Aku baik Mbak! Terkabul do’aku rupanya!?” Qais dan Nurul terheran.
”Maksudmu?” Tanya mereka bersamaan.
”Begini Bang, Mbak. Waktu mengantarkan Bang Qais dan Mbak Nurul ke stasiun, saya berdo’a pada Allah begini: ”Ya Allah, begitu baiknya mereka. Mereka perduli dengan orang sepertiku, semoga Engkau menjadikan mereka orang-orang yang Shaleh juga kekasihmu di Surga sana. Dan, semoga mereka menjadi sepasang kekasih. Kan seru juga, kayaknya cocok orang sebaik mereka menjadi kekasih di dunia juga di Akhirat.” Mereka berdua begitu terharu juga bahagia. Tawa mereka menambah riang suasana sore itu.

”Wah, kalau begitu gantian. Semoga pilot kita ini mendapatkan jodohnya yang baik!” ”Amin !!!” Ujar mereka bertiga bersamaan. Langit cerah, rotasi Bumi tak berubah sedikitpun. Bintang bersinar, planet-planet tetap beredar sesuai porosnya.         Begitu pula nasib berputar sesuai dengan usaha orang-orang yang mengitarinya.
Tag :

"CERITAKU."

Pagi yang indah ya, kendati pun langit agak mendung seperti kemarin. Mungkin hujan yang mengguyur kota Subang dua hari yang lalu itu masih ingin meninggalkan jejak berupa warna kelabu di awan. Seperti biasa aku memulai kegiatanku dengan mandi pagi yang hampir selalu kulakukan langsung setelah bangun pagi. Hehehe, mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, jadi aku selalu merasa nggak enak kalau nggak mandi cepat-cepat setelah bangun tidur. Seperti biasa otakku yang segar setelah diistirahatkan semalaman mulai berkicau. Mungkin karena sudah kebiasaan pulalah jadi aku nggak sampai hati untuk menyuruhnya diam. Sehingga bisa ditebak bahwa di antara guyuran air di kamar mandi aku memutar kembali rekaman-rekaman peristiwa yang tersimpan di kepalaku.

Salah satunya adalah ajakan yang kuterima kemarin dari salah satu temanku untuk menulis semacam otobiografi. Ajakan yang tertuang dalam sebuah pesan singkat alias SMS itu membangkitkan sebuah ide. Kenapa tidak? Rasanya aku bisa menuliskannya menjadi sesuatu yang menarik, setidaknya bagi diriku pribadi. Mungkin akan ada yang menganggap pikiranku ini terlalu narsis ya, hehehe. Tapi bukankah orang harus selalu memulai langkah yang besar dari garis start? Kalau nggak dimulai bisa-bisa kisah hidup seorang Chrysanova ini lambat laun akan musnah terkikis zaman.

Mungkin aku mulai dari yang kecil-kecil dulu saja dan nggak dari awal. Habis kalau mau diurutkan berdasarkan kronologisnya rasanya susah banget. Iya nggak? Hal yang ingin sekali kuceritakan dan mungkin ingin pula diketahui oleh temanku itu adalah kisah asal-usul why I become blind.

Mungkin aku mesti mulai dari tahun terakhirku di SMP. Waktu itu aku lagi menempuh persiapan ujian. Ujian akhir ini ibarat tiang gantungan, hehehe, karena dialah penentu seluruh hidupku ke depan. Apakah aku bisa melanjutkan pendidikanku? Begitulah, hari demi hari kulewati dengan serangkaian try out. Tidak ada waktu untuk berpangku tangan. Apalagi bagiku yang sejak kecil memang sudah dibiasakan dengan semangat juang 45 untuk menuntut ilmu. Malam-malam harinya selalu diwarnai oleh segunung buku. Hehehe, barangkali nggak sampai segunung. Aku minta maaf karena kadang aku terlalu lebay. Tapi ini kan Cuma penggambaran sekilas aza agar bisa dibayangkan seperti apa aku waktu itu yang tentunya sangat berbeda dengan sekarang (tapi semangat 45-nya Insya Allah tetap ada dong! Itu wajib bagi seluruh anak bangsa Indonesia, hehehe). Sorry, kalau sudah nulis seperti ini aku sering melantur. Baik, kita kembali lagi ke jalur utama.

Kira-kira pada waktu bergulat dengan try out itulah tragedi mulai menghadang. Soal-soal yang tertulis di kertas putih itu acapkali menghilang secara mendadak dari pandangan, namun akan segera muncul kembali beberapa saat kemudian. Demikianlah, kukira tumor yang bersarang di otakku sudah mulai mempermainkan mataku ketika itu. Kejadian seperti itu terus saja berulang hingga akhirnya aku lulus. Namun sayang seribu sayang nilaiku tidak terlalu memuaskan saat itu. Aku sendiri kaget melihat kenyataan itu. How can it be? Padahal aku ini sempat merebut juara umum saat duduk di kelas dua.

Aku masuk SMA. Hal itu sangat kusyukuri karena sekolah menengah atasku itu adalah sebuah SMA favorit di kotaku. Betapapun aku kecewa karena nilai ujianku tidak terlalu sesuai harapan, tapi toh masih cukup untuk mengantarku masuk SMA favorit. Harus kuakui, masa itu adalah masa yang berat. Agak sulit bagiku menerima pelajaran-pelajaran baru, apalagi mata pelajaran yang memang sudah terhitung musuh besar bagi mayoritas siswa seperti matematika. Kalau sekarang ini aku menengok ke masa itu aku punya kecurigaan besar bahwa benda asing di dalam kepalaku itu turut andil mengacaukan proses belajarku. Namun di luar itu semua tidak bisa dipungkiri bahwa saat itu adalah salah satu kenangan terindah dalam hidupku. Aku berkesempatan untuk mengenal dunia yang lebih luas daripada yang kukenal di SMP. Teman-teman sekelasku baik-baik. Aku tidak sempat mengenal semua teman yang duduk di kelas lain, tapi aku cukup puas karena dunia SMA memberikan hal baru bagi otak mudaku kala itu.

Namun seperti yang mungkin sudah diketahui banyak orang yang sudah mengenalku bahwa aku tidak lama berada di SMA. Dari bulan pertama aku di sana kondisiku sudah menunjukkan penurunan. Kendati demikian hal itu tidak terlalu kelihatan mencolok sehingga aku tetap saja menjalani semua aktivitas seperti biasa. Olahraga tetap nekat kuikuti kendatipun guru olahragaku sudah melarangku ikut kegiatan yang terbilang berat. Ini tentu karena beliau tahu riwayat kesehatanku yang mencatat bahwa ada tumor yang menumpang hidup di batang otakku. Seperti benalu di batang pohon. Yeah, mungkin itulah perumpamaan yang paling tepat mengingat bahwa kehadiran benda itu sempat mengganggu kerja pusat pengendali kegiatan tubuh itu.

Bahkan pernah ketika penyakit itu kambuh pada saat usiaku beru menginjak sembilan tahun, aku yang sudah dalam keadaan tidak berdaya sehingga hanya berbaring di tempat tidur itu tidak bisa bernapas. Aku yang sudah merasakan pusing di kepalaku sejak lama terpaksa minta izin sakit dari sekolah dasar tempatku belajar. Saat itu aku baru duduk di kelas empat SD. Waktu itu aku tidak mengerti benar apa yang terjadi pada tubuhku. Kepalaku sangat sakit sehingga aku hanya bisa berbaring di tempat tidur. Berdiri pun aku harus dipegangi agar tidak jatuh. Rasanya tubuhku lemas dan kepalaku sakit sekali. Berhari-hari kulewatkan waktuku dengan berbaring di tempat tidur. Maaf, karena kejadian tersebut sudah lama berlalu maka aku sudah lupa lagi detailnya.

Pendek kata, tibalah malam itu. Aku yang masih tergolek di ranjang sedang disuapi oleh ibuku. Saat itu aku nyaris tidak bisa merasakan makanan yang masuk ke mulutku dan apakah aku menelannya atau tidak. Tiba-tiba aku tersedak. Aku hanya tahu apa yang terjadi setelah itu dari cerita yang disampaikan keluargaku. Ketika tersadar aku mendapati diriku sudah berada di tempat lain. Suasananya sangat asing dan aroma yang menguar di udara juga aneh, tidak seperti di kamarku sendiri. Saat itu ada seseorang yang berdiri di samping tempat tidurku. Aku bertanya di mana ini dan ia menjawab bahwa ini di rumah sakit.

Belakangan baru aku tahu apa yang terjadi di malam saat aku dibawa ke sini. Makanan yang kumakan waktu itu tersesat jalan sehingga ia masuk ke tenggorokan bukannya ke jalan yang semestinya yaitu lewat kerongkongan lalu ke lambung. Praktis, makanan yang sudah tersesat itu masuk ke paru-paru dan menghalangi oksigen untuk masuk. That’s why I didn’t know what happened around me. Aku kehilangan kesadaranku selama beberapa waktu yang tidak kuketahui dengan pasti berapa lama.

Kini bila aku teringat lagi tentang itu aku sering tertawa sendiri. Aku yang masih berumur sembilan tahun tidak merasa takut, bosan atau benci. Namanya juga anak kecil ya? Sehingga selama dua bulan aku berada di sana aku nyaris terbiasa sehingga mulai menikmati suasana. Sering juga sih aku deg-degan kalau perawat datang membawa jarum suntik atau jarum infus baru. Jangka waktu perawatanku yang lumayan panjang membuat infus itu harus sering diganti dan dipindah tempatnya. Oh iya, yang lebih seru lagi kepalaku tentu saja digunduli. Lalu setelah operasi aku menjalani masa pemulihan dengan membaca. Rupanya hobi yang sudah mendarah daging itu tidak mau menunggu sampai aku pulang ke rumah.  Aku yang merasa sudah membaik pada waktu itu langsung minta dibelikan buku-buku kepada orangtuaku. Tentu saja Cuma buku bacaan ringan seperti buku cerita karangan HC. Andersen dan komik-komik Dora Emon. Juga novel-novel Lima Sekawan atau Trio Detektif. Buku-buku itu sangat efektif membunuh kebosananku. Dan yang lebih asyik lagi tentu makanan. Hehehe, I didn’t know why, selama masa pemulihan itu makanan apapun yang masuk ke mulutku rasanya enak. Hehehe, wajarlah. Kalau sudah sehat pasti semua terasa enak.

Aku tidak pernah menduga bahwa apa yang pernah kualami pada usia sembilan tahun itu akan terulang lagi. Pada usia lima belas tahun, yaitu beberapa bulan setelah masuk SMA kondisiku terus menurun. Pada mulanya aku tidak berpikir bahwa penurunan itu bersumber dari tumorku yang
 Masih betah menghuni kepalaku. Dokter memang tidak mengangkat keseluruhannya dengan mempertimbangkan letaknya di batang otak yang merupakan daerah rawan. Waktu itu letaknya sudah sedemikian melekat sehingga dikhawatirkan jika diangkat seluruhnya akan mengganggu jaringan di sekelilingnya. Wujud dari penurunan kesehatanku itu antara lain terlihat dengan terganggunya keseimbangan tubuhku. Aku mulai sering jatuh dan jalanku pun terhuyung-huyung sehingga teman-teman sekelasku yang baik hati selalu menjagaku ke mana pun aku pergi di kompleks sekolah. Mereka juga tidak segan menuntunku bila dalam pelajaran olahraga kami harus pergi keluar gerbang sekolah.

Bukti lainnya lagi dari kebaikan dan besarnya perhatian dari teman-teman sekelasku pada waktu itu adalah saat kejadian yang agak memalukan terjadi. Saat itu aku pergi ke sekolah dengan membawa banyak buku sesuai jumlah pelajaran hari itu. Maka aku pergi ke sekolah dengan menggendong tas besar yang lumayan berat, namun perjalanan yang kutempuh dengan angkutan umum membuat beratnya tidak terasa. Barulah setelah turun dari angkutan aku merasa beban di punggungku itu berat sekali. Maka terpaksalah aku terseok-seok dari pintu gerbang sekolah sampai ke kelasku yang terletak di seberang lapangan upacara. Sehingga pada saat melewati ambang pintu kelas keseimbanganku benar-benar hilang. Tanpa bisa ditahan lagi aku jatuh tertelungkup. Untung belum ada guru yang datang sehingga mukaku dapat terselamatkan, hehehe. Spontan seisi kelas menghampiriku. Mereka membantuku berjalan ke bangku sedangkan yang lainnya membawakan tasku ke meja. That’s very nice of them. Mereka baik sekali sehingga tidak bisa kulupakan hingga sekarang walaupun jalannya nasib yang berbeda membuat kami semakin jauh dan akhirnya tidak kuketahui lagi kabar mereka.
Tag :

Hujan yang Membawa Ilmu Pengetahuan

oleh: Wijaya



Di suatu daerah, yang terletak di jakarta, terdapat dua orang pemuda bernama Joni dan Bagas. Joni adalah anak yang lugu dan selalu menuruti perintah temannya. Sedangkan Bagas adalah anak yang pemberani, jika bicara tak terkontrol dan suka memerintah. Mereka berencana untuk belibur.

”Jon, liburan semester ini enaknya kita kemana?” Bagas bertanya pada Joni.

 ” Ya aku sih terserah kamu.”  Joni menjawab sekenanya.
 ”Dasar, kalau ditanya selalu menjawab terserah. Ya sudah, kita ke gunung sajah! Terserah, kamu mau ikut atau tidak.” Mendengar jawaban Joni yang tak bersemangat Bagas langsung menentukan rencana liburan mereka.
”Baiklah, aku mau. Dari pada aku tidak kemana-mana.”  Joni menyetujui usul Bagas.
Karena orang tua kamukan uangnya banyak, kamu yang membawa segala perbekalannya yah!”  Bagas memerintah Joni.
Yasudah, tak apa-apa.”

Akhirnya, mereka setuju untuk berkemahan di suatu gunung tersebut. Gunung tersebut cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Untuk menuju ke kaki gunung itu mereka harus menempuh perjalanan sekitar 3 sampai 4 jam dengan menaiki kendaraan, dan sekitar kurang lebih 1 hari untuk menaiki gunung tersebut. Joni dan Bagas pun menyiapkan segalanya untuk semua itu. Bagas, menyiapkan perlangkapan perkemahan, sedangkan Joni menyiapkan perbekalan untuk di sana, seperti m
akanan dan obat-obatan.

Pada hari yang telah ditentukan bersama, mereka pun berangkat ke
tempat itu. Setelah sampai di kaki puncak gunung, hari telah sore, mustahil bagi mereka untuk melanjutkan pendakian mereka ke puncak gunung itu. Selain itu, langit tampak sangat mendung dan gelegar halilintar terdengar ketelinga mereka. Hujan pun turun sesaat kemudian disertai hembusan angin yang cukup kencang menerpa tubuh mereka. Tampak wajah Joni yang ketakutan atas fenomena alam ini.

”Gas, gimana nih Gas? Aku takut sekali. Malahan tidak ada orang selain kita.”  Joni ketakutan memanggil Bagas.

”Diam…!!! Kamu kok penakut sih? Emangnya kalau tak ada orang selain kita kenapa? takut mati karena tersambar petir? Kamu punya iman tidak? Hidup mati kita itu ditangan tuhan! Tahu tidak kamu?”  Bagas membentak Joni agar Joni berhenti mengeluh takut. Joni pun menangis atas perlakuan Bagas terhadapnya. Bagas tersenyum kecil melihat wajah Joni yang pucat itu.                                             ”Duh kacian, kamu menangis? Sinih, aku elap air matamu! Duh, orang ganteng begini sampai aku buat nangis. Maafin aku deh sayang, aku Cuma mengetes mental kamu doang, masa sih baru dibentak gitu doang udah nangis.”  Dengan nada bercanda Bagas mengelap air mata Joni dengan handuk kecil miliknya.


Hujan semakin deras, pakaian mereka pun telah basah kuyup dibuatnya. Bagas mengambil langkah-langkah positif atas semua ini. Dia ambil empat helai kantong pelastik besar dari ranselnya, dua pelastik sebagai penutup kepala mereka, dan dua lagi untuk ransel mereka.

Kemudian tiba-tiba, seorang laki-laki yang mengendarai sebuah
oplet tua dan berjalan menuju mereka.
ketika lelaku itu tepat di depan mereka, ia bertanya,
”Kalian sedang apa hujan-hujanan di sini?”
”Kami adalah pendatang Pak, tujuan kami di sini hendak melakukan pendakian terhadap gunung ini. Tetapi, takdir bekehendak lain. Hujan turun terus-menerus hingga membuat menangis teman saya.”  Jawab Bagas.
Tampak muka Joni agak memerah karena telah dipermalukan oleh Bagas.
Kemudian, lelaki itu berkata lagi, “
Waduh, kok ganteng-ganteng gini menangis sih? Hehehehe… Mari, ikut ke rumah Bapak saja! Sambil menunggu hujan redah.”
“Apa-apaan sih kamu, Gas! Kamu kok tega sih mempermalukan aku! Kan tadi kamu yang membentak aku, sehingga aku menjadi menangis.”  Joni bersungut-sungut kesal pada Bagas.


Bagas tersenyum saja mendengar perkataan dari Joni. Bagas berkata, ”Hehehehehe… Iseng saja. Habis aku ingin melihat kamu marah-marah Di depanku hehehe…”
Joni kemudian membentak bagas,
”Bagas…! Bukan gitu caranya…!”
Bagas kembali menggoda Joni,
”Habis caranya gimana dong sayang? Hehehe…!”
Hampir saja tangan Joni melayang ke mulut Bagas, namun berhasil ditangkis oleh Bagas.
lelaki itu bingung melihat perilaku Bagas dan Joni, “Kok kalian berdua malah bertengkar sih? Mau ikut Bapak tidak? Kalau tidak yasudah! Bapak masih banyak urusan.” Spontan Bapak itu melajukan mobilnya, Bagas berteriak memanggillelaki itu untuk berhenti untuk berhenti, kemudian menaiki oplet tersebut.


Sesampainya mereka di rumah lelaki tersebut, mereka dipersilahkan masuk dan diberikan handuk untuk mengeringkan badan.
Silahkan duduk nak! Kalian mau minum apa? Kopi, teh, atau susu? Apa mungkin mau es teler? Tapi maaf nak, kalau es teler Bapak nggak punya! Hehehehe…”
“Kalau fanta atau teh botol ada tidak pak? Hehehehe… Bercanda Pak! Kalau saya teh es manis hangat tidak pakai gula saja Pak. Tidak tahu nih Pak teman saya, kamu mau minum apa Jon?”  Bagas balas bercanda menanggapi lelaki itu.

Sudah Pak, saya air putih hangat saja.” Joni menjawab sungkan.
“Ya sudah sebentar! Bapak akan perintahkan anak Bapak untuk membuatkannya.”  Lelaki itu memanggil anaknya membuatkan minum untuk mereka.
”Oh yah, kita belum kenalan nih. Nama bapak ,Purwanto Wijaya, Saya sering dipanggil Bapak Wijaya atau PakPur, oleh masyarakat sekitar. Profesi saya adalah penyiar di sebuah setasiun Radio dan profesi sampingan saya adalah narik oplet. Hobi saya adalah melukis. Kalau anda berdua siapa?”  Pak Pur menganalkan diri pada Bagas dan Joni
Kalau nama saya Bagas Pak, saya kelas 3 Disebuah SMA negri di jakarta, saya pecinta alam.” Bagsa mengenalkan dirinya.
”Saya joni Pak, sekolah saya sama dengan dia, hobi saya adalah membaca dan menulis beberapa karya tulis. Yah, walau pun karya-karya saya belum pernah diterbitkan. Tetapi saya terus-menerus membuat karya-karya tersebut.” Joni juga memperkenalkan dirinya.

”Iya Pak, hampir semua perasaan dia dituangkan ke karya-karyanya itu. Dia marah pun bisa dia bikin menjadi sebuah puisi. Hehehe…” Bagas kembali menggoda Joni, Joni hanya tersenyum mendengar kata-kata dari bagas.
“Hobi-hobi kalian bagus kok, tinggal di kembangkan saja!” kata Pak Pur menanggapi perkenalan mereka


Tak lama kemudian,  anak Pak Pur datang menghidangkan tiga gelas minuman untuk  mereka. ”Pak, nih minumannya, mas, silahkan diminum!” anak Pak Pur mepersilahkan agar minuman yang telah ia hidangkan di minum.
“Iya, terimakasih yah!” Bagas melirik anak Pak Pur yang cantik. Dia berbisik kepada Joni, ”Ssst, Jon, cantik yah!”
”Iya gas! Kamu suka dengannya? Si Mira gimana?”
”I
tu dapat diatur Jon! Hehehe… Ah becanda doang kok Jon, lagiankan si Mira itu telah sepenuhnya memberikan cintanya untukku, masa aku tega sih menduakan cintanya. Hehehe…”
“kalian membicarakan siapa?” Pak Pur heran melihat Joni dan Bagas yang saling berbisik.

“Tidak kok Pak, kami… Cuma membicarakan anak Bapak, Dia cantik yah Pak…!” Bagas menjawab malu-malu.
Beliau hanya tersenyum dan berkata, ”oh… Anak saya, ah biasa sajah kok…! Kalau mau tahu nama Anak saya adalah Shinta Rahma Wijaya. Dia sering dipanggil Rahma atau Shinta. Dia hobi  membuat suatu kerajinan tangan terutama yang menggunakan manik-manik, dia juga aktif di dalam ekstrakulikuler. Dia juga ikutan osis dan KIR serta menjadi Pemimpin Umum majalah di sekolahnya. “
Oh… Gitu yah Pak.” Koor Bagas dan Joni.

Masih banyak yang lain yang mereka obrolkan. Pak Pur memperlihatkan kerajinan tangan yang ia dan anaknya buat pada mereka. Mereka sangat kagum terhadap hasil-hasil karya tersebut. Joni dan Bagas juga melihat proses pembuatan sebua kerajinan tangan yang berbentuk tas dari manik-manik yang di buat oleh anak Pak Pur.

Akhirnya, hujan tak kunjung reda juga, PakPurwanto pun menawarkan untuk menginap di rumahnya.
Mereka pun menerima tawaran itu.
Keesokan harinya, Joni dan Bagas mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Mereka memutuskan untuk kembali ke jakarta. Dan mereka cukup puas karena mereka telah berkunjung ke rumah Pak Pur yang seorang pengrajin. Setidaknya mereka mendapatkan ilmu pengetahuan yang sangat berharga dari liburan kali ini.
Tag :

SANG PANGERAN

Matanya nyalang menatap sekelilingnya. Memperhatikan tiga gadis bearseragam SMU yang baru saja masuk dan mengambil tempat duduk tepat di seberang mejanya. Dicermatinya satu-persatu wajah mereka. Seorang gadis berambut lurus sebahu yang tak henti-hentinya mengunyah coklat. Si keriting penjang bertubuh gempal yang tawanya menggelegar. Dan seorang gadis manis berkacamata berkulit putih yang agak kalem. Namun rupanya tak didapatinya apa yang dia cari. Dilirik sekilas arloji yang selalu setia menempel di pergelangan tangannya.
 “Oh, Rupanya aku yang datang terlalu cepat!” .
Dia tersenyum. Suatu senyum licik yang bercampur dengan aroma kebusukan. Dibayangkannya peristiwa apa yang mungkin akan terjadi. Tepatnya, apa yang nanti akan dia lakukan dengan incarannya
“Yah, Mungkin awalnya biasa saja. Mengajaknya makan, nonton, membelikan dia sedikit hadiah yang tak seberapa. Lalu setelah itu aku akan ajak dia ke rumah. Dan disana, baru aku akan menjalankan misi utama,”.
Senyumnya semakin lebar. Otaknya terus berputar, bagaimana nanti detail pelaksanaan misi utama. Bagaimana caranya sehingga dia mau diajak kerumah. Membawanya ke dalam kamar, dan……….
“Hehehe!”
“Tak sulit bagiku. Percuma aku mendapat julukan Sang Pangeran.”
Ya, Sang Pangeran. Itulah julukan yang dia dapat dari teman-temannya sejak SMA dulu. Julukan itu tentu bukan diberikan secara begitu saja. Ketampanan, bentuk tubuh yang atletis, uang yang banyak, serta kemampuannya dalam menggaet wanita, itulah yang membuatnya menyandang gelar “kehormatan” tersebut. Tak ada seorang wanita yang menolak ajakannya. Mulai dari sekedar makan-makan, nonton, sampai ke tempat tidur. Hampir semua wanita dikelas telah menyerahkan diri mereka padanya.
Begitu pula saat dia memasuki dunia perkuliahan. Waktunya habis hanya untuk urusan nafsu yang menuntut untuk dipuaskan. Tak terhitung banyaknya wanita yang telah menjadi korbannya. Dan mereka pun tak pernah menuntut tanggung jawab darinya. Entah mengapa. Mungkin itu disebabkan karena kelihainnya dalam merangkai kata-kata manis yang manghanyutkan persaan, atau karena kemahirannya dalam memilih dan menggunakan alat kontrasepsi yang berkualitas tinggi sehingga dia dapat tetap berhubungan tanpa kekhawatiran.
Reputasinya tak tergoyahkan sampai pada suatu hari datang kepadanya seorang wanita dengan menangis, dan mengatakan kalau dia hamil akibat perbuatan pemuda itu. Ini tentu membahayakan. Disuruhnya wanita itu menggugurkan kandungannya, tetapi dia menolak. Sang pangeran mencoba mengelak dengan berdalih kalau itu bukan karena perbuatannya, bisa jadi wanita itu sebelumnya telah menyerahkan kehormatannya kepada pria lain. Namun Si Gadis bersumpah kalau dia tak pernah melakukannya dengan orang lain. Wanita itu terus mendesak, dan mengancam akan melaporkannya kepada polisi. Akhirnya karena takut, pemuda itu terpaksa menikahi sang gadis.
Acara pernikahan pun berlangsung. Meriah dan dihadiri oleh banyak undangan. Kepada si gadis, Sang Pangeran memberikannya seuntai kalung permata yang bertuliskan nama gadis itu. Tak seorangpun tahu kalau gadis itu sebenarnya telah hamil terlebih dahulu saat dinikahi.
Kehidupan rumah tangga mereka tak berlangsung lama. Setelah kelahiran sang anak, istrinya pun dia tinggalkan. Dengan alasan ingin mencari pekerjaan yang lebih layak, dia pamit kepada istrinya. Tapi dia tak pernah pulang, hingga sampai tujuh belas tahun.
Tak ada kabar, tak ada berita. Tak ada yang mengetahui dimana tempat persembunyiannya. Sang pangeran seperti lenyap ditelan bumi.
Padahal sebenarnya, dia lari keluar negri dan melakukan operasi plastik. Dia merubah wajah dan seluruh identitasnya. Untuk kemudian kembali melanjutkan petualangannya.  Dan kini, sang pangeran telah kembali dan tengah mengincar satu korban lagi.


* * *
Jarum jam terus berputar. Suasana di restoran semakin ramai. Rupanya sudah waktunya makan siang. Sang pengeran masih duduk di kursinya menghadapi softdrink dingin. Sementara di meja yang berhadapan dengannya. Tiga gadis SMU itu masih juga belum beranjak dari tempatnya. Mereka tampak terlibat dalam suatu percakapan yang seru. Diselingi tawa dan gurauan mengejek. Sesekali pula mereka mmelongokkan kepala mereka ke arah Sang Pangeran sambil tersenyum. Sang pangeran pun membalas senyum itu.
“Mereka juga akan masuk daftar tungguku.” Serunya dalam hati sambil mengulum sebuah senyum.
Tiba-tiba secara tak terduga, Kelompok gadis itu bangkit dari kursinya dan menghampiri meja Sang Pangeran.
“Halo, Oom, sendirian aja?” Seru Si Keriting bernada genit.
“Yah, gitulah, seperti yang kamu semua lihat,“
 “Boleh kita temenin?” Seorang yang paling manis bertanya dengan nada tak kalah genitnya.
“Boleh!” Jawabnya sambil mengangguk.
 “Tapi kita buat perjanjian dulu, ya, Oom?” Seru Si Keriting lagi sambil mengambil kursi tepat di depannya.
 “Perjanjian apa?”
“Kita mau nemenin Oom makan. Kita juga bersedia Oom ajak ke mana aja. Kita bersedia jadi temen ngobrol Oom. Tapi Cuma sebatas temen ngobrol aja, lho Om,”
 Pria dihadapan mereka terperangah. Mana ada di zaman seperti ini cewek seperti mereka yang bersedia cuma jadii teman bicara saja.
“Betul om. Tapi kalo Om mau yang lebih dari itu, Kita punya seorang lagi yang bisa kita tawarin ke Oom,”

“Oh,Ya?”
“Bener, Oom. Orangnya cantik banget. Dia jadi primadona di sekolah. Bukan karena cantiknya saja, tetapi karena juga pintar memuaskan pria.”
“Oh Ya?”
“Bener Oom, ditanggung enggak ngecewain, deh. Oom tertarik?” Seru gadis berambut keriting itu sekali lagi. Memang, selama ini dialah yang paling banyak berbicara. Pria itu tidak menjawab, melainkan mengangguk tanda setuju.
Gadis yang dari tadi bicara itu meraih tissue dari tempatnya. Dengan pulpen, ditulisnyalah angka 20 juta diatas tisu itu. Pria itu mengangguk lagi. Dikeluarkannya selembar kertas dari dompetnya. Dituliskannya angka yang telah disepakati di kolom nilai nominal cek itu.
“Baik. Kalau gitu Oom tunggu di sini! Sebentar lagi dia dating,”.
Sang pangeran hanya tersenyum.
“Oh, ya Oom. Nanti kalo dia datang panggil dia Si Timut ya,”.
“Kenapa begitu?”
“Soalnya dia itu imut banget om. Nama sebenarnya, sih, Tina. Timut itu singkatan dari Tina Imut,”.
Sang pangeran seperti tersengat lebah. Dia seperti pernah akrab dengan nama itu. Tapi dia tak sempat memikirkan hal itu lebih lanjut, sebab, pintu resto terbuka dan salah satu dari tiga gadis itu berteriak.
“Itu dia!”.
Seorang gadis sebaya mereka muncul. Memang benar, dia sangat cantik. Rambutnya panjang terurai. Bibirnya tipis dengan hidung mancung. Kedua matanya bening dan tajam. Tapi dia kembali terperanjat. Semua itu mengingatkannya pada seseorang. Dan tahulah dia siapa orang itu. Kalung yang dikenakannya membuat segalanya menjadi jelas.
Itu kalung yang pernah dia berikan pada istri yang pernah ditinggalkannya tujuh belas tahun lalu. Suara teriakan menggema di dalam hati kecilnya.
“Haruskah aku membeli kehormatan anak gadisku sendiri?!!!”
Tag :

SEBUAH KEMENANGAN

            Angin malam menepis daun-daun kering diiringi rombongan ngengat yang bernyanyi bak orkestra. Jalan desa mulai lengang, sinarnya remang, yang ada cuma kerlip bintang.  Sesekali nampak anjing berkejaran berebut sisa makanan. Malampun telah larut, hanya bulan yang masih setia menunggu orang-orang melepas lelah.
Sedari tadi Nardi merebahkan tubuhnya yang penat di atas balai, tetapi belum juga ia bisa pejamkan mata. Lamunannya melayang, menambat rindu ingin segera punya anak. Namun sejenak lamunan itu tersangkut di pucuk randu. Bayangannya pun sobek dan jatuh.
“Jikalau aku dikaruniai anak, apa aku bisa membesarkan nanti? Sepetak sawah yang ku kerjakan itupun saja peninggalan dari orang tua istriku. Hasilnya pun juga tak seberapa, tapi cukup untuk makan sampai panen lagi tiba.”
Harapan itupun sudah terlanjur patah, lalu digantung kembali di dinding bambu. Nardi terlelap disamping istrinya.
 Keesokan hari selepas menyiangi rumput disawah, Nardi pergi ke rumah Sartono, kakak sepupu yang tinggal dekat Balai Desa.
Nardi ditemui dengan senang hati, wajarnya seorang famili yang jarang ketemu.
“Kang aku ingin kerja dikota seperti Kakang, bagaimana caranya?” Kata Nardi.
“Bisa saja Di, tapi apa yang bisa kamu kerjakan?”
“Apa saja Kang, kecuali masak seperti Kakang jualan mie ayam disana,” Jawab Nardi.
“Baik Di, kalau memang begitu ikut aku saja dulu. Besok pagi aku kembali ke kota”
 Maksud Nardi ke kota didukung oleh sang istri, termasuk ibunya yang tinggal satu pekarangan dengan rumahnya. Setelah berkemas dan menyiapkan bekal secukupnya, Nardi bergegas menyusul Sartono, lalu bersama-sama pergi ke kota. Untuk sementara, di kota Nardi menumpang ditempat pondokan Sartono.
Sudah sepekan Nardi di kota belum juga mendapatkan pekerjaan. Dan selama itu Nardi hanya bisa membantu Sartono berjualan. Sartono orangnya baik, tetapi Nardi malu berlama-lama menjadi beban orang lain. Akhirnya Nardi bicara kepada Sartono.
”Kang bagaimana kalau aku narik becak saja?”
 “Ya tidak apa-apa, yang penting sabar dan halal, Di. Di seberang tikungan jalan sana ada juragan becak, coba saja kesana,” Ucap Sartono.
Langkah Nardi seolah ringan, raut wajahnya pun bersinar. Harapan mendapat nafkah menggugah semangat, meski hanya mengayuh becak.
 Hari pertama menarik becak terkumpul dua puluh dua ribu rupiah. Sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan ini dan itu, sisanya disimpan. Nardi orangnya rajin dan tak mudah putus asa. Keseharian mengayuh dijalanani tanpa mengeluh. Kini hujan pun tak mampu lagi menggigilkan tubuhnya. Terik tak dihiraukan menerpanya. Saat simpanannya telah memadai, diluangkan waktu untuk kembali ke desa. Menambatkan rindu pada sang istri.
Tak terasa sudah lima bulan Nardi menarik becak dikota.
Kian hari kendaraan bermotor semakin memadati kota. Penarik becak pun bertambah jumlahnya. Persaingan mengais rejeki mengayuh becak tak terelakkan. Upah yang diperoleh sering kusut. Kadang seharian bangku becak tak tersentuh penumpang.
Nardi teringat istrinya, bayangan wajahnya timbul tenggelam. Lalu kaki kokoh itu bertekad untuk terus mengayuh dan mengayuh.
Kini Nardi tidak lagi hanya menunggu penumpang di tempat mangkal. Dikayuhnya becak itu keliling kota, bahkan keluar masuk komplek perumahan. Tapi nampaknya keberuntungan belum bersahabat dengannya.
Kaki-kaki itu mulai terasa lelah dan akhirnya berhenti berteduh di pohon pinggir jalan. Ia duduk dibangku becak, diminumnya seteguk air. Kemudian Nardi merenung dan termenung, pandangannya jatuh ke seberang jalan. Tak sadar ia lihat ulah seorang pemulung yang sedang mengais sampah di depan sebuah rumah.
“Orang itu juga cari nafkah,” Gumamnya.
Setelah rasa lelah mulai mereda, dikayuh kembali becak itu mengikuti kata hatinya sampai ujung langit memerah, adzan maghrib pun berkumandang.
 Usai sembahyang subuh Nardi mulai berbenah diri. Dibawanya dua lembar karung plastik bekas dan ditaruh di bangku becak. Dia berangkat lebih awal dari biasanya, tak peduli meskipun langit masih gelap.
Sesampai di mulut gang, Nardi berbelok arah ke komplek perumahan, lalu di dalam komplek perumahan Nardi berhenti disudut sebuah rumah. Didekatinya tempat sampah di sisi rumah itu, dilihat isinya, lalu dipilih dan sebagian dimasukkan ke dalam karung plastik.
Kemudian tempat sampah itu ditinggalkan dan beranjak menuju tempat sampah rumah berikutnya.
Hampir semua tempat sampah di komplek perumahan itu telah dijelajahi. Tak terasa dua karung plastiknya telah penuhi dengan barang-barang yang sudah tak bermanfaat bagi pemiliknya. Kertas, kardus, plastik atau potongan logam tak ayal mengisi karung Nardi.
Ia bernafas lega, tapi perutnya terasa lapar. Sejak pagi belum terisi sama sekali.
Becak berpenumpang dua karung plastik bekas itu dikayuhnya menuju warung makan langganan. Dilahapnya nasi sayur dan segelas kopi.
“Dua ribu lima ratus, Di” Begitu ujar Sang Pemilik warung.
Setelah membayar, segera dikayuh becaknya menuju tempat pengepul rongsokan.
 “Lumayan!” Ucap Nardi sambil menerima uang.
Pukul setengah satu siang Nardi sudah standby menunggu penumpang di tempat mangkal seperti biasa. Seperti sesuatu yang menjanjikan, setiap hari pekerjaan itu dilakukan Nardi tanpa ada yang memberi perintah. Sampai pada suatu hari, ketika Nardi memilah sampah di depan sebuah rumah cukup mewah, ia menemukan kalung agak kusam.
”Imitasi,” Katanya membathin. Kalung itu tadinya akan dimasukkan ke karung plastik, tetapi tidak jadi. Kemudian ia masukkan ke saku bajunya.
Seperti hari-hari sebelumnya, hasil memulung sampah dijual ke pengepul siang itu juga. Selanjutnya Nardi kembali ketempat mangkal. Hari itu cuaca amat terik, air minum yang biasanya disediakan habis tak tersisa setetespun. Nardi bergegas ke masjid untuk sholat ashar dan setelah mengambil air wudhu, ia merogoh kantong baju mengambil apa yang ada didalamnya.
“Ah, kalung tadi!” Gumamnya.
Kalung itu dicuci sampai bersih dan diamati.
“Apa mungkin ini emas? Ah, coba nanti kutanyakan ke pedagang emas di pinggir pasar itu” pikirnya.
Usai sholat ashar, Nardi ke pasar menemui pedagang emas. Diberikan kalung itu untuk diperiksa.
“Enam ratus lima puluh ribu mas, kalau mau” kata pedagang itu. Sejenak Nardi terperangah, lalu menjawab. “Baik pak, kutanyakan dulu. Nanti kalau yang punya mau, aku kembali kesini lagi” kata Nardi berbohong.
Kalung diterima kembali dan Nardi kembali lagi mangkal menanti penumpang. Hingga menjelang maghrib tak satupun orang yang berlalu-lalang minta diantar becak Nardi. Penumpang sepi. Tak lama kemudian ia kembali ke kampung kumuh, tempat pondokannya.
Setengah sembilan malam, Nardi beranjak tidur di selembar tikar pandan yang tergelar dilantai semen. Jauh dari kehangatan sebuah kasur yang empuk. Matanya tak kunjung terpejam, pikirannyapun melambung jauh, enam ratus lima puluh ribu rupiah, tidak sedikit nilai itu. Namun hati kecilnya berkata lain.  Kalung itu bukan milikku, dan hanya orang gila saja yang mau membuang kalung semacam itu. Aku harus mengembalikan ke pemiliknya. Pasti pemilik kalung itu yang mempunyai rumah mewah itu.
Namun pikiran itu dihapusnya sendiri. Pemilik rumah mewah itu orang kaya, kehilangan sebuah kalung seharga enam ratus lima puluh ribu pasti tidak ada artinya.
Di sisi yang lain hatinya tetap bersikeras mengatakan, “Tidak, aku harus mengembalikan. Itu bukan hakku”. Dialog itu tak kunjung reda berkecamuk dibenak Nardi, sampai akhirnya Nardi tertidur kelelahan.
Keesokan hari usai menjual hasil jerih payah memulung, Nardi pergi kerumah tempat ia menemukan kalung. Di pintu gerbang depan rumah itu terpampang nama pemilik rumah “Hanung Raharjo”.
Becak diparkir dekat rumah itu lalu ia pencet bel di sisi pagar. Tak seberapa lama keluar seorang wanita setengah baya. Nampaknya seperti pembantu rumah tangga.
“Mau cari siapa, Pak? Tanya wanita itu.
“Ibu Hanung ada?
“Bapak, siapa?” Lanjutnya.
“Nardi, Mbak”
“Sebentar, ya!” Kata wanita itu lalu masuk lagi kedalam rumah.
Kemudian muncul wanita seusia empat puluhan berparas cantik mempersilahkan masuk. Nardi ditemui diserambi teras rumah. Ternyata itu Bu Hanung, pemilik rumah.
“Bapak ini, siapa?” Tanya Bu Hanung sopan.
“Saya Nardi, pemulung sampah dikomplek ini, Bu. Maksud saya akan mengembalikan kalung yang dua hari lalu saya temukan ditempat sampah ibu. Ini kalungnya, Bu,”
Bu Hanung memeriksa kalung itu, lalu
“Iya, Pak ini kalung anak saya Putri, kemarin Saya cari kemana-mana tidak ketemu”
“Silahkan ibu ambil kembali,” Ulang Nardi.
“Sebentar, Pak, ya!”. Kemudian Bu Hanung masuk ke dalam rumah.
Tak seberapa lama ia muncul kembali.
“Pak, Saya ucapkan terima kasih, ya, dan ini untuk jerih payah Bapak”. Bu Hanung menyodorkan uang kepada Nardi.
Tapi Nardi tak segera menerima lalu dijawabnya dengan sopan.
“Maaf, Bu, maksud Saya kemari hanya untuk mengembalikan kalung itu saja dan tidak ada maksud lainnya bu”
“Tidak apa-apa, kok, Pak, terimalah!” Jawabnya.
“Sungguh, Bu, Saya ikhlas. Ibu sudah banyak memberi saya. Barang yang tak berguna ditempat sampah Ibu itu sudah cukup memberi rejeki saya. Setiap subuh saya kesini untuk mengambil, Bu”
Bu Hanung tak mampu memaksa lagi, dia hanya menanyakan dimana Nardi bertempat tinggal dan Nardi memberitahukan apa adanya. Lalu pulang dengan perasaan lega.
Habis maghrib Nardi ngobrol dengan teman-teman sepondokan. Rencananya besok pagi ia akan pulang kedesa. Tiba-tiba dari arah luar seorang teman lainnya berteriak.
“Di, ada yang cari!!”.
 Nardi keluar dan ternyata pembantu Bu Hanung yang datang mencarinya.
“Ada apa, Mbak?” tanya Nardi.
“Ini pak, saya disuruh ibu mengantar titipan untuk istri bapak”.
Wanita itu menyerahkan dua karton dos agak besar entah apa isinya, lalu mohon pamit.
“Makasih, Mbak, dan jangan lupa ya sampaikan terima kasih saya pada Bu Hanung” Lanjut Nardi.
Nardi pulang ke desa naik bus. Sampai dirumah ia disambut Narti, istrinya.
“Bawa apa saja, Kang, kok banyak sekali?” Tanya istrinya.
 “Syukurlah, Dik, ini ada rejeki” kemudian Nardi bercerita dari awal sampai selesai.
 Istrinya terharu. Matanya berkaca-kaca, lalu dipeluk suaminya.
“Kang……….”
Tak ada kata lain yang mampu keluar dari mulut Narti. Hanya perasaan bangga yang ada di hatinya Nardi memang suami yang jujur dan penuh perhatian.
Sejenak mereka tenggelam dalam perasaan masing-masing. Lalu perlahan Narti bicara, “Kang bulan ini aku terlambat sepuluh hari, Kang”
Seolah tak percaya pada pendengarannya sendiri, Nardi memastikan lagi
“Iya, Dik?”
 Narti mengangguk.
Seperti mendapat durian jatuh, Nardi terharu. Iapun tak mampu menahan air mata bahagia. Semakin erat ia peluk istrinya dan kemudian terucap dari mulutnya
 “Ya Tuhan, Alhamdulillah!”
 Nardi melepas pelukan lalu pergi mengambil air wudhu.
Tag :

KARMA

Aku kemasi kosmetik-kosmetik ku ke tas tanganku. Sekali lagi aku melihat ke kaca, ”Sudah cantik!” gumamku dalam hati. Aku adalah seorang waria. Tuntutan hidup menjadikan aku seperti ini, sebenarnya tidak itu saja, aku juga mengalami trauma terhadap wanita.

Saat itu aku bekerja di rumah seorang konglomerat. Saat itu aku masih berumur 14 tahun. Peristiwa yang membuatku trauma adalah saat aku sedang memangkas bonsai di taman belakang rumah, tiba-tiba nyonya besar memanggilku. Bergegas aku menujunya. Di sana nyonya sedang duduk santai. Dia menggapai-gapaikan tangannya kearahku dan saat tanganku menyentuh tangannya dia menuntunku duduk disebelahnya.

”Kamu lagi ngapain?” tanyanya dengan manis.

”Saya sedang memangkas bonsai nyonya,” Jawabku dengan gugup, karena tangan nyonya sudah sampai di pahaku. Dengan lembut nyonya meremas pahaku dan makin lama makin ke dalam.

”Mungkin nyonya kesepian setelah ditinggalkan Tuan 4 bulan berlayar. Tapi mengapa dilampiaskan kepadaku?” Saat itu aku merasa ketakutan dan nyonya terus saja menggorogotiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, dia terus mempermainkanku.

Lamunanku terbuyar saat aku dengar suara ketukan pintu. ”Pasti Rani” Pikirku dalam hati.

 Rani adalah teman kumpulku. Kami sering mangkal bareng, belanja, dan banyak, deh. Sebenarnya namanya Rony, tapi karena sekarang jadi waria, namanya diganti Rani. Riwayat hidupnya hampir sama denganku, bedanya yang memperkosa dia bibinya sendiri.

”Lama amat, sih, Nek!” ketus Rani saat pintu ku buka.

Aku membimbing Rani ke dalam rumah. Seperti biasa dia bercerita panjang lebar.

”Tahu enggak, sih, Nek, akikah tadi ketemu berondong, sumpah imut banget gitu, lho!” Dia berbicara keras sekali sampai rambutnya yang ikal rusak sisirannya.

You, sih nggak mau cepet buka pintu, kalau cepet, kan, You bisa ketemu dengan, tuh, berondong!” Sekali lagi dia berkata.

 Aku hanya tersenyum sambil berkata, ”Akikah enggak nepsong lagi sam brondong. Akikah, kan sudah punya bronis!”.

”Apa, tuh, bronis?” Dia bertanya dengan penasaran sampai wajahnya maju ke depan.

 ”Berondong manis!”. Kami pun tertawa terbahak-bahak.

”Udah, nih, Nek, kita berangkat dulu, yuk! Nanti Oom Kumis keburu pergi lagi”. Dia berbicara sambil menjinjing tas tangannya.

Kami sampai di Club Malam tempat biasa kami mangkal. Seperti biasa, Oom kumis telah booking tempat di sudut ruangan.
”Hallo, Oom!” Kami berhambur sambil mencium Oom Kumis.
Sebenarnya nama Oom itu Oom Lukman, tapi karena kumisnya tebal dan bikin geli kami menjulukinya om kumis, deh.

”You kemana, sih, Nek, kok jarang tele-tele akikah?” Oom Kumis berbicara sambil membelai rambut ku.

Memang aku sudah satu minggu tidak mangkal, mungkin om kumis kangen denganku.

”Sekarang kita mau ngapain?” tanya Oom Kumis kepada kami.

”Ya, seperti biasa om, kita main engkek-engkekkan!” Rani bicara sambil meloncat-loncat.

”Apa tuh engkek-engkekkan?” tanya ku.

”Disko! Tapi di…” Tambahnya lagi.

 Jujur malam ini aku capek sekali. Dari pada melayani Oom kumis yang nafsunya gede, lebih baik aku pulang.

Akhirnya dengan sedikit rayuan, aku bisa meninggalkan Oom Kumis dan Rani. Nampak di wajah rani, dia tidak mengerti denganku. Ah, biarkan saja, malam ini memang aku capek sekali.

 Ku rebahkan tubuhku di atas ranjang yang mewah. Kupandangi langit-langit. Aku melamunkan diriku.

”Sepertinya aku telah jauh tersesat” gumamku dalam hati.

Sebenarnya aku ingin sekali menjadi laki-laki normal, tapi aku tak bisa lepas dari kehidupanku sekarang. Lamunanku buyar saat ku dengar dering telepon di ruang tamu.

”Pasti Oom Kumis” tebakku dalam hati.

”Hallo!” Aku bicara dengan lemas.

 ”Alhamdulillah, akhirnya kamu angkat juga, Le!”

Hah, bapak dan ibu?!! Dari mana mereka tahu nomor telepon ku??!!

”Ono opo pak?” Tanyaku kepada bapak. Tampak suara ibu dibelakang bapak berusaha ingin berbicara denganku.

 ”Begini, Le, bapak dengan ibumu punya hajat. Bapak dan ibumu ingin menikahkan kamu, Le.”

Dalam diamku aku tersentak, mana mungkin aku bisa menikah dengan perempuan, sedangkan aku ini waria.

Singkatnya bapak dan ibu ingin ke Jakarta untuk menjemputku, katanya dia akan datang 2 hari lagi. Aku memberitahukan ini kepada Ranid dan Rani, mereka menanggapi ini dengan serius tapi dia memberikan semangat kepadaku untuk keluar dari dunia kami.

Udah, deh, Nek, jangan takut! You masih bisa bangunkan? Akikah doakan, deh, semoga You bisa menjalani hidup normal, dan nanti kalau ketemu akikah bisa, donk, kita gitu-gitu? Jadi pengen, nih!”

Ucapan dan semangat yang diberikan Rani membangkitkan semangatku untuk meninggalkan dunia kami sekarang ini. Aku salut dengan Rani, biar begitu dia punya pengertian yang tinggi.

Malam ini kami menghabiskan sisa malam dengan berdandan secantik mungkin dan minum-minum di restoran langganan kami. Sekali-kali kami menggoda bronis-bronis yang lalu lalang. Aku ingin menghabiskan malam terakhir ini bersama Rani, karena mungkin kami tidak bisa bertemu lagi.

Aku sampai dirumah kira-kira jam dua pagi. Aku tak tau apa-apa karena aku mabuk berat. Ku lalui ruang tamu yang entah kenapa tak terkunci. Di sofa aku melihat bapak dan ibu sedang kebingungan memandangiku. Ku lihat ibu meneteskan air mata.

”Astagfirullahul ‘azhim!” Bapak berteriak histeris.

Aku menceritakan semuanya kepada bapak dan ibu. Ku lihat ibu masih menangis sampai tersedu-sedu. Selendang kuningnya dipakai untuk menghapus air matanya. Saat itu aku tak tahu berbuat apa, mungkin karena pengaruh minuman aku menjadi jujur kepada bapak dan ibu.

Keesokan harinya kami pulang ke kampung. Bapak berjanji padaku untuk mengobati aku ke paranolmal di kampung kami dan setelah aku sembuh aku akan dinikahkan.

Saat hari pernikahanku ku lihat ibuku sangat bahagia. Dia mengundang semua kerabat dan penduduk setempat. Dalam senyumannya tersirat ketakutan bila semua undangan tahu bahwa sebelumnya aku adalah seorang waria. Akupun begitu. Aku takut orang-orang tau, terutama istriku yang cantik. Istriku adalah anak dari kepala desa. Aku dijodohkan dengan dia karena ayahku adalah teman dari kepala desa tersebut dan kata ibuku dari kecil aku telah dijodohkan.

Kami hidup bahagia di desa yang permai. Saat ini aku telah menjadi seorang kepala desa dan aku telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan mirip sekali dengan aku. Aku memberi nama anaku Ali, dan harapanku kelak dia akan menjadi seorang pemberani seperti Ali Bin Abi Tholib.

Saat sore hari yang cerah, aku menyuruh Ali untuk bermain sepak bola bersama aku dan teman-temannya. Entah mengapa Ali tak mau. Aku memaksa Ali untuk bermain bola hingga dia menangis. Ali berlari ke dalam kamarku dan mengunci pintu. Aku merasa sangat bersalah telah membuat bua hatiku menangis. Istriku membujuk ku untuk meminta maaf kepada Ali. Dan dengan agak berat aku bergegas menuju kamarku.

Di kamar ku dengar sayup-sayup ali menyanyi. Kelihatannya dia sangat bahagia, tapi mana mungkin dia bahagia setelah aku marahi. Karena penasaran aku mengintip ali dari lubang kunci. Betapa terkejutnya aku ketika melihat apa yang ku lihat. Ali memakai baju istriku dengan make up yang tebal serta memakai lipstik, dan bergaya bak peragawati di atas ranjang!!!
Tag :

AKU BISA KEMBALI

Hari ini adalah hari dimana aku dapat berpesta untuk hidupku. Aku bebas!!! Bebas dari pekerjaanku yang sering kali aku menghadapi kekesalan customer karena adanya kertelambatan antaran barang atau karena barang kami tak memiliki ready stock padahal itu bukan 100% kesalahan kami!
Coba pikir, barang telat diantar karena terkena bea cukai dan barang tak ready stock karena barang itu jarang ada yang men-supply ,so, gak mungkin dong kami keep stock. Fuh...pusing dech!
Aku pun bebas dari lingkungan kos-ku yang setiap malam aku hanya bisa makan bubur "uekkk" bosan ... dan banyak lagi kebebasan yang lainnya!!!
Yang jelas, hari ini AKU BEBAS !!! Sekarang aku akan menikmati kesempatan yang ada ini untuk berpesta.

Ku habiskan waktu liburku ini di sebuah desa kecil yang bernama Tanjung Batu. Kesempatan ini hanya kuperoleh setahun sekali yaitu ketika Hari Raya Imlek. Karena dihari itu, perusahaan kami memberi libur sebanyak empat hari kepada karyawan wanita hehe...emang gak adil bagi karyawan pria karena mereka hanya libur dua hari saja. Kasihan ya...? Tapi apa mau dibuat, sebagai karyawan yang baik mereka hanya menurut saja.
Ok, kembali ke cerita di mana aku liburan. Di desa yang kecil ini aku berpergian bersama kakak ku ,pacar kakak ku dan sahabat pacar kakak ku. Di sana aku tinggal di rumah pacar kakak ku... Keluarganya pun ramah dan hangat sehingga membuat aku betah untuk bercanda ria dengan mereka semua. Lama sudah tak kurasakan kehangatan keluarga seperti ini. Aku yang merantau menjadi teringat akan keluargaku yang nan jauh disana. Untuk dapat pulang menemui mereka, aku harus dapat mengumpulkan uang sedikitnya 4 juta. Itu pun hanya cukup untuk biaya pulang-pergi saja. Ah... sudahlah suatu hari nanti aku akan dapat berkumpul dengan mereka kembali, so, aku percaya itu.

“Ni mau ikut pergi gak?” tanya kakak ku kepadaku.
“Pergi kemana?” tanyaku balik kepadanya.
“Pergi kepantai...” jawabnya.
“Asyik aku mau...!!! Tapi pakai apa kita perginya dan dengan siapa???”
“Jalan kaki aja...! Ayo buruan udah ditungu tuh.”
“Hah!!! jalan kaki emangnya pantainya dekat ya?”
“Aduh ini anak ya banyak kali tanyanya...nanti kalo aku jawab semua capek dech mereka yang udah tunggu diluar, udahlah yang penting kamu sekarang siap-siap ok!”
“Hm...Ok lah”
Segera aku berganti pakaian lalu aku langsung menemui mereka yang sudah menunggu ku sejak tadi.
“Nah..Peb aku titip adikku yang manis ini ya! Jangan sampai hilang lo!” canda kakakku.
“Ok beres” jawab sahabat pacar kakakku yang namanya Pebry itu.
“Udah siap semuakan ??? ayo berangkat tunggu apalagi!”

Kami pun segera bersiap-siap untuk menuju kepantai. Kakakku berboncengan dengan pacarnya sedangkan aku berboncengan dengan Pebry. Kami hanya pergi berempat oohhh bukan...!!! Ternyata kami pergi berlima karena ada seorang lagi sebagai penunjuk jalan. Dia adalah teman Pebry. Katanya, temannya itu akan menunjukkan pantai yang jarang diketahui orang. Pebry bilang bahwa temannya ini adalah seorang yang berpetualang sehingga ia tahu banyak tempat tersembunyi di tanah kelahirannya ini.

“Ok udah sampai...!!!” Kata temannya pebry yang ternyata bernama Acoy.
“Coy disini ya pantainya?” Tanya Pebri untuk sekedar meyakinkan saja.
“Ya, kalian jalan-jalanlah...disana banyak batu besar yang bisa dipakai untuk duduk santai. Terus nanti kalau kalian mau pulang, mampir dulu ke Cafe Gading. Di sana kalian bisa ambil foto dengan latar belakang yang bagus, ok? Met santai dan liburan yah!” Acoy menjelaskan kepada kami dengan lengkap sambil menunjukkan arah yang harus kami tuju.
“Coy kamu mau langsung pulang ya??” tanya Pebry lagi.
“Iya aku masih mau pergi ke tempat lain. Kalian di sini saja! Ingat jalanya kan?”
“Jalan gampanglah itu.” Kata pacar kakakku.
“Ok lah aku pergi dulu.”
“Makasih ya..” seru aku dan yang lainnya.
“Ok kita sekarang kemana nih???” tanya pacar kakakku.
“Kita kesana aja yang ada batu besarnya itu!” tawar kakakku kepada kami.
“Ok yuk kesana!”seru kami.

Kami berjalan menuju batu besar itu. Sepanjang jalan ke batu itu Pebry menanyaiku banyak hal mengenai pekerjaan ku dan hal-hal yang patut ia ketahui sebagai seorang partner-ku selama aku di tanjung batu ini. Tapi aneh ia seakan-akan sudah tahu tentangku. Karena setiap kali, pertanyaannya yang ia lemparkan kepadaku seakan hanya ingin kepastian dariku saja.

“Wah...segar sekali anginnya” takjubku pada pemandangan yang disajikan oleh Tuhan.
“Ok mau naik gak???” tanya Pebry kepada kami.
“Mau...!” jawab kami semua.
“Ni... duluan sana” kata kakakku.
“Eh...iya”  Kataku setengah terkejut karena melamun.

Pebry telah berada diatas batu itu lalu ia segera mengulurkan tangannya kepadaku untuk membantuku naik. Setelah itu, ia pun membatu Anton, pacar kakakku, naik. Kemudian Anton segera membantu kakakku untuk naik juga. Nah lengkaplah kami sudah berada di atas batu ini. Kami pun bercanda ria selama kami di sana, sambil berbaring memandang langit dan bernyanyi. Tak ada rasa canggung diantara kami dan suasananya pun sangat menyenangkan. Seakan kami telah mengenal lama. Setelah puas kami dengan pemandangan di batu itu, kami pun segera menuju Cafe Gading. Ternyata benar juga, Di cafe ini latar untuk berfoto memang sangatlah indah hingga menarik untuk membuat kenangan melalui foto.
Hari-hari bebas ini kulalui dengan penuh suka ria dan selama di Tanjung Batu aku selalu ditemani oleh Pebry. Hingga pada suatu malam, dimana keesokkannya kami yaitu aku, kakakku dan Anton akan kembali ke kota tempat kami bekerja, yaitu kota Batam, kami menghabiskan sisa waktu liburan dengan pergi ke Vihara yang sedang merayakan tahun baru dengan berbagai acara yang disajikan. Di sana, Pebry bertemu dengan teman-temannya dan ku angap itu biasa saja. Namun ketika ada seorang gadis yang terlihat begitu dekat dengannya, entah mengapa hatiku merasa gundah. Untuk menutupi perasaanku itu, aku pun meninggalkannya dan pergi jalan-jalan seorang diri. Setelah beberapa menit aku pun kembali ketempat dimana aku meninggalkannya, ternyata kudapati dia sedang mencariku. Lagi-lagi aku merasakan hatiku gundah namun ada perasaan senang juga yang menyelimutinya. Aku pun mulai bertanya-tanya mengapa bisa hati ku ini merasakan dua hal yang sama dengan situasi yang berbeda? Hanya saja yang kedua aku merasa ada kesenangan yang menemani gundahnya hati ku, namun tetap saja aku tak mengerti.
“Hayo...dari mana tadi???” tanyanya padaku.
“Hmm...dari jalan-jalan kedepan sebentar,kenapa?” tanyaku balik padanya.
“Itu ada lotang (sejenis perayaan yang mengunakan salah satu dewa yang dianut bagi agama Buddha yang telah bersatu dengan tubuh manusia yang dipilihnya)mau lihat gak?”
“Nanti aja dech aku lagi capek nih , kamu nonton aja nanti aku nyusul ok”
“Hmm...”

Sebelum ia menjawab teman-temannya telah datang dan mengajaknya pergi namun ia tetap membujukku untuk pergi bersamanya. Tapi kutolak lagi, ketika ku lihat ia tak beranjak juga segera kudorong tubuhnya untuk ikut bergabung dengan temannya.
“Nonton dengan enjoy ya...bye...” ia hanya menjawab dengan tersenyum padaku dan berkata.
“Nanti nyusul ya..jangan lupa calling dulu ok!”
“ok”
Aku memang pergi untuk menonton acara lotang namun aku tak mencarinya. Entah mengapa aku seakan telah memutuskan untuk tidak menerima gundah yang ada di hatiku ini. Apakah aku takut hingga aku lari dari perasaan ini??? Fuh...entahlah.
“Katanya tadi mau nyusul di tunggu-tunggu malah gak datang dicari... rupanya malah nonkrong di sini” seseorang menepuk pundakku dan berkata demikian. Akupun terkaget dan segera menoleh ke sumber suara itu.
“Eh... Pebry. Sorry tadi aku udah cari tapi gak ketemu-ketemu. Banyak orang sich so aku nonton disini dech jadinya” belaku.
“Lo, tadikan udah ku bilang kalo mau yusul calling dulu.???”
“Eh..ada ya??Sorry aku gak dengar kalimat yang ini”
“Hah...kalo gak dengar kok ada jawaban ok??”
“Itu ok untuk nanti aku yusul...sorry...”
“Haha...haha...oklah ayo nonton lagi.”
Ketika ku dengar ketawanya kurasakan wajahku memerah menutupi malu karena aku telah berbohong padanya. Acara lotang itu akhirnya selesai . Malam pun telah larut dan kami memutuskan untuk pulang saja. Sebelum pulang ia sempat meminta nomor handphone-ku dan kami pun bertukar nomor handphone. Keesokkannya kami meninggalkan Tanjung Batu yang penuh damai dan kesenangan itu.

Hilanglah sudah kebebasanku. Seakan waktu cepat sekali berlalu ingin rasanya kembali ke waktu itu. Oh, ada rasa yang tertinggal dihatiku padahal kupikir ketika aku tak berjumpa denganya rasa ini juga akan ikut hilang .Oooooo kenapa begini. Ketika kudapatkan kebebasanku aku malah dapat rasa yang membuat aku merasa tak tenang, fuh....aku percaya aku pasti bisa menghilangkannya, karena hatiku belum siap untuk menerima rasa ini kembali.

***
Tag :