Archive for Desember 2011

Badut Simon (anak)

idak seorang pun tahu kalau Pak Simon adalah seorang badut. Bahkan isteri dan anaknya pun tidak tahu. Orang-orang hanya mengira Pak Simon itu tidak punya pekerjaan tetap.
Seperti biasa, pagi ini Pak Simon mengayuh sepedanya menuju kota. Ia berhenti di dekat rumah mungilnya di sudut kota. Di sanalah ia menyembunyikan barang-barangnya. Pak Simon menengok ke kiri dan ke kanan, mencari saat yang tepat untuk masuk ke rumah itu. Tergesa-gesa ia membuka pintu, memasukkan sepedanya lalu menutup pintu dari dalam. Pak Simon lalu melangkah ke depan lemari kayu tua yang cerminnya telah retak. Di depan cermin ia berdiri.
“Akulah Simon! Akulah badut kota! Tetapi aku tidak ingin orang-orang tahu kalau Simon adalah seorang badut,” kata hati Pak Simon sambil tersenyum. Telah lima tahun ia menyimpan rahasia itu.
Seperti biasa, Pak Simon lalu membuka lemari itu. Ia mengambil peralatan make-up dan pakaian badutnya. Pak Simon mulai bersolek hingga ia yakin wajahnya tidak lagi dikenali sebagai Simon. Ia memoles wajahnya dengan make-up, menempel bulatan karet di hidungnya, dan mengenakan rambut palsu serta topi kerucut. Ia juga melilitkan spon di perut dan pinggangnya hingga terlihat gendut. Terakhir ia memakai pakaian badut bermotif bulat-bulat aneka warna, dan sepatu berhak tinggi.
Pak Simon berkaca untuk memastikan penampilannya. Setelah itu ia mengantongi beberapa bola kecil dan peralatan lainnya. Ia pun meraih sepeda roda satunya. Setelah mengunci pintu rumahnya, ia menaiki sepeda roda satu itu menuju keramaian pusat kota.
“Badut! Badut!” terdengar teriakan anak-anak kecil bersorak. Pak Simon tersenyum. Ia memulai atraksinya. Berputar-putar di atas sepeda sambil melempar-lempar beberapa bola dengan kedua tangannya. Orang-orang mulai merubungnya untuk menonton. Pak Simon juga meletakan sebuah mangkuk plastik di hadapan orang-orang itu. Satu demi satu orang-orang melemparkan uang recehan ke dalam mangkuk. Mereka rela memberikan uang mereka. Pertunjukan atraksi Pak Simon memang lucu dan menggemaskan. Penonton merasa terhibur.
Waktu terus berlalu. Pak Simon masih melanjutkan atraksinya. Tetapi tiba-tiba jantungnya berdegup kencang ketika melihat seorang wanita yang menggendong anak kecil. Anak itu tampak sangat kagum memperhatikan gerak-geriknya.
“Aduh! Istriku! Mengapa ia ke sini dengan Upik?” Pak Simon cemas. Ia khawatir istri dan anaknya tahu kalau selama ini ia bekerja sebagai badut. Saat pikirannya sedang kalut, tiba-tiba…
“Copet! Copet!” terdengar teriakan istri Pak Simon. Pak Simon kenal betul suara istrinya itu. Spontan ia melempar bola yang dipegangnya ke arah copet yang membawa lari dompet istrinya. Sayang tidak kena sasaran. Pak Simon meloncat dari sepedanya dan berlari menyibak kerumunan orang yang termangu. Pak Simon kembali melempar bolanya dengan keras. Kali ini tepat mengenai kepala si pencopet. Ia merasa pening lalu tersungkur. Pak Simon berlari mendekatinya. Beberapa orang segera menahan di pencopet. Pak Simon segera mengambil dompet itu, lalu diberikannya pada istrinya.
“Terima kasih!” kata Bu Simon sambil tersenyum. Pak Simon hanya tersenyum, tak berani bicara. Namun, gigi taring Pak Simon yang ompong terlihat. Bu Simon agak terkejut tetapi Pak Simon tidak mempedulikannya. Setelah menyalami Bu Simon dan Upik , ia segera menjauh untuk kembali beratraksi.
“Giginya ompong, persis Ayah ya, Upik,” ujar Bu Simon pada anaknya. Ia lalu mengajak Upik pulang.
Selesai pertunjukan, Pak Simon meraih mangkuk berisi uang. Ia lalu mengayuh sepeda roda satunya menuju rumah mungilnya. Seperti biasa ia segera membasuh muka, membersihkan make-up dan ganti baju. Ia kembali mengenakan pakaian seperti saat ia berangkat tadi. Setelah menghitung uang perolehannya, Pak Simon segera mengeluarkan sepedanya, mengunci pintu dan mengayuh sepeda untuk pulang.
“Akulah Simon! Akulah badut kota!” kata Pak Simon dalam hati. Setiba di rumah, Bu Simon dan Upik menyambutnya.
“Pak! Tadi aku kecopetan di kota. Saat itu aku sedang mampir nonton badut dengan Upik. Badut itulah yang membantu meringkus pencopet itu,” Pak Simon tersenyum mendengar cerita istrinya.
“Kau kenal dengan badut itu, Bu?” tanya Pak Simon.
“Tidak! Yang kuingat, gigi badut itu ompong seperti Ayah.”
“Iya. Badutnya ompong seperti Ayah,” kata Upik. Pak Simon tertawa.
“Akulah badut itu, Bu. Akulah badut itu, Nak! Akulah Simon! Akulah badut kota!” kata Pak Simon. Tetapi hanya di dalam hati. Entah sampai kapan Pak Simon sanggup menyimpan rahasia itu…
Tag :

Tetangga Yang Aneh

“Kamu tahu, rumah kosong di sebelah kita sudah ada penghuninya?” tanya Dino pada adiknya, Arni.
“Iya, tapi aku belum melihat mereka. Apa di rumah itu ada anak sebaya kita ya, Kak? Biar bisa jadi teman kita bermain,” kata Arni sambil mengunyah kacang.
“Untuk itu kita harus memancingnya.”
“Maksud Kakak?”
“Kita bermain saja di halaman samping nanti sore. Pasti dia akan melihat atau mendengar permainan kita. Siapa tahu ia tertarik dan mau berkenalan.”
“Benar juga!” Arni segera memikirkan permainan untuk sore nanti. Akhirnya keduanya sepakat untuk bermain bulu tangkis.
Untunglah sore hari angin bertiup tidak terlalu kencang agar suara mereka sampai ke rumah sebelah. Sebentar mereka tertawa, lalu bermain lagi.
Sementara itu sepasang mata milik seorang gadis kecil memandang ke arah mereka dari kamarnya di lantai atas. Ia menyingkap sedikit tirai jendela yang menghadap ke samping. Tangannya bergetar.
“Orang di sebelah rumah tidak keluar juga,” kata Arni perlahan.
“Hm, besok kita main lagi di sini,” ujar Dino.
Mereka pun kembali ke rumah. Saat sedang nonton televisi, Ibu datang menghampiri mereka dengan muka kusut.
“Siapa yang tadi memecahkan pot bunga Ibu di samping rumah?” tanya Ibu sambil mematikan teve.
Dino dan Arni saling berpandangan bingung.
“Kalian berdua tadi bermain di halaman samping, kan? Nah, mengaku saja, siapa yang memecahkan pot bunga Ibu?”
“Bukan kami, Bu. Kami memang bermain di samping rumah. Tapi tidak sampai memecahkan pot bunga Ibu,” Dino menjelaskan.
“Kalau begitu siapa yang melakukannya? Yang bermain di samping rumah ini kan cuma kalian.”
“Mungkin ada kucing yang menjatuhkannya,” kata Arni.
Ibu terdiam sesat. “Ya, mungkin juga sih…Hmm, kalau begitu kalian bantu Ibu membersihkan kotoran pot pecah itu,” pinta Ibu kemudian.
Dino dan Arni segera ke halaman samping. Ketika sedang menyapu, Dino menemukan dua batu yang cukup besar dekat pecahan pot. Tentu dua batu itu yang memecahkan pot Ibu. Apalagi kalau dilemparkan dengan tenaga yang kuat. Pikir Dino.
Dino segera mengatakan kecurigaannya kepada Arni. Selanjutnya, mereka membuat rencana untuk keesokan harinya.
Seperti yang direncanakan, sore berikutnya mereka kembali bermain di samping rumah. Tapi sengaja kali ini mereka lebih ribut dari kemarin. Di saat sedang bermain, Ibu muncul sambil berteriak,” Hati-hati jangan memecahkan pot bunga Ibu lagi. Kalau sampai pecah lagi, kalian tidak boleh bermain lagi di situ!”
“Baik, Bu. Kami janji!” sahut keduanya serempak sambil terus bermain.
Ketika matahari makin terbenam, mereka menyudahi permainan. Mereka masuk ke rumah sebentar. Tapi kemudian mengendap diam-diam, memperhatikan tembok pembatas halaman samping.
Tidak berapa lama kemudian tampak seorang anak lelaki muncul dari balik tembok pagar. Ia lantas berdiri di tembok pagar. Anak itu melempar batu ke jajaran pot bunga Ibu. Tidak kena! Rupanya ia sudah menyiapkan beberapa batu. Namun saat akan melempar kedua kalinya, Dino dan Arni buru-buru keluar dari persembunyiannya.
“Hey! Apa yang kau lakukan!” teriak keduanya.
Anak lelaki itu kaget. Ia berdiri limbung. Dan terjatuh ke halaman rumah Dino dan Arni. Meski kesakitan anak itu berusaha menaiki pagar tembok. Tapi Dino buru-buru menyergapnya. Ibu juga muncul dari dalam rumah karena mendengar suara ribut.
“Bu, ini orang yang telah memecahkan pot Ibu kemarin. Ayo mengaku!”
“Maafkan saya, Bu. Saya ini cuma pembantu. Saya hanya melakukan perintah Mbak Mita,” kata anak lelaki itu memelas.
“Mengapa Mbak Mita menyuruhmu melakukan itu?” tanya Arni kesal.
“Mbak Mita tidak suka melihat kalian bermain bulu tangkis!”
“Kalau tidak suka, dia kan bisa bilang langsung pada kami,” sahut Dino.
“Mmm… Mbak Mita tidak bisa kemari. Dia itu… lumpuh….”
Ibu, Dino dan Arni terkejut.
“Sebenarnya dulu Mbak Mita sangat suka bulu tangkis. Dia malah berharap bisa menggantikan Susi Susanti. Tapi sebulan lalu ia mengalami kecelakaan lalu lintas, dan harus kehilangan kakinya. Mbak Mita sedih karena tidak bisa lagi mengejar cita-citanya. Dan ia membenci bulu tangkis,” papar anak lelaki itu dengan muka sedih.
Ibu, Dino dan Arni terenyuh.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Kamu kembali saja. Nanti malam kami akan berkunjung menemui Mbak Mita. Kami akan minta maaf karena telah mengganggu ketenangannya,” kata Ibu kemudian.
“Maafkan aku juga. Namaku Dino, dan ini adikku, Arni,” kata Dino sambil bersalaman.
“Namaku Acep. Terima kasih. Kalian ternyata baik sekali.” Ia kemudian pulang. Hups, tentu saja lewat pintu pagar rumah.
Ketika Dino dan Arni akan kembali ke rumah, mata mereka sempat memadang ke arah jendela di loteng rumah sebelah. Tirainya kelihatan sedikit tersingkap. Dino dan Arni melemparkan senyum. Mereka berharap Mbak Mita mau menerima uluran persahabatan mereka yang tulus.
Tag :

Kenapa Mesti Oom Jali

Ben menaruh lagi gagang telepon. Perasaan gugupnya belum hilang. Ini luar biasa. Tak terbayang ia bisa bikin keputusan seperti ini: Menelpon polisi. Ia meraih kembali buku telepon yang tadi digunakannya untuk mencari nomor kantor polisi. Pintu boks ia buka, lalu mendekati kasir wartel. Ia taruh buku telepon di tempat semula.
"Berapa, Mbak?" tanyanya pada kasir wartel.
Mbak itu menyerahkan secarik kertas. Ben langsung membayar sesuai angkat yang tertera di kertas itu.
Tadi sepulang sekolah Ben menumpang mobil Oom Jali lagi. Sering terjadi kebetulan-kebetulan seperti itu. Pada saat berpanas-panas di halte depan sekolah yang ramai, kebetulan Oom Jali lewat.
Oom Jali adalah tetangga depan rumah Ben. Orangnya masih muda. Belum menikah. Baik hatinya. Semua warga gang pasti bilang begitu. Dia orang muda yang sukses. Rumahnya paling bagus di gang itu. Ben sering main ke sana. Mobilnya bagus-bagus. Garasinya yang cukup besar dapat menampung tiga mobil. Kadang dalam sebulan ada saja satu dari mobil-mobi itu yang ditukar dengan yang lain. Kata Oom Jali, kerjanya bisnis mobil. Jika ada yang terjual, dibeli lagi satu.
Sudah pasti Oom Jali banyak uang. Ben sering ditraktir. Kadang sore-sore ia diajak jalan-jalan ke pantai atau ke mana saja. Dan ia pasti dibelikan sesuatu. Pernah juga Ben diajak ke rental VCD. Disuruh memilih sendiri film anak-anak kesukaannya. Kadang VCD itu diputar di rumah Oom Jali. Mereka nonton bersama.
Tadi di depan sekolah, mobil yang berhenti di depan Ben adalah kijang warna biru. Begitu kacanya yang gelap diturunkan, dari belakang setir terlihat Oom Jali memberi isyarat supaya Ben naik. Ben belum pernah melihat mobil ini sebelumnya di rumah Oom Jali.
"Mobil baru ya, Oom?" tanya Ben saat mobil mulai berjalan.
Oom Jali membenarkan. Katanya baru saja diambil dari bengkel. "Tercium, kan, bau catnya?"
Menurut Oom Ben, setiap mobil yang baru dibeli harus diservis. Agar bisa dijual lagi dengan harga yang lebih mahal.
"Wah, kalau begitu kantong Oom lagi tebal, nih," goda Ben.
Oom Jali tertawa. "Ah, kamu ini. Oke, deh. Nanti sore Oom traktir. Jangan ke mana-mana, ya! Nah, kamu turun di pertigaan Gang Kopi saja, ya. Oom masih mau ke bengkel," kata Oom Jali lagi.
"Ada yang diservis lagi, Oom?" tanya Ben.
"Iya. Jok belakang ini. Bekas terbakar rokok kata pemilik yang dulu. Semua harus dibuat bagus, agar mudah dijual," terang Oom Jali.
Ben melongok ke jok belakang. Benar. Ada bekas terbakar selebar telapak tangan. Bena kembali menoleh ke depan. Mobil terus melaju. Sebentar lagi mereka tiba di Gang Kopi. Tapi…Eh!
Tiba-tiba ingatan Ben terketuk. Ia tengok lagi ke belakang. Oya! Jok belakang mobil itu, kok persis jok belakang mobil Fadel dulu? Ben kini menebar pandang ke seluruh kabin. Ya! Interiornya berwarna coklat muda. Nah! Pada dashboard di depannya, tatapan Ben terhenti. Di situ ada pula bekas tempelan striker.
Iya! Pada liburan lalu, Ben dan Fadel menempelkan striker monster game di dashboard. Stiker yang mereka dapat dari dalam kemasan makanan ringan.
Setelah turun di pertigaan Gang Kopi, Ben bingung bukan main. "Tapi, mobil itu bernomor polisi Jakarta. Ah, pasti sudah diganti! Ini mobil Pakde yang dicuri empat minggu lalu!" Ben berteriak dalam hati. Tangannya mengepal.
Tapi Oom Jali? Apakah mungkin? Rasanya semua warga di gang tempat tinggalnya akan bilang Ben gila kalau menuduh Oom Jali pencuri mobil. Oom Jali sudah dua tahun tinggal di sana. Semua mengenalnya sebagai orang baik-baik.
Ada dua menit Ben mematung di trotoar. Tapi Ben tidak bisa membantah hatinya. Ia merasa benar-benar baru saja duduk lagi di jok mobil Fadel. Seperti liburan lalu. Dan kemudian… Ben tak bisa menahan kakinya melangkah menuju wartel terdekat. Untuk menelepon polisi.
Jika Ben tidak keliru, berarti mobil Pakde bisa kembali. Jika keliru, ya, kan, bisa meminta maaf pada Oom Jali nanti. Dan, toh di telepon ia bisa sembunyikan identitas. Bisa bikin nama dan alamat palsu.
Empat jam setelah sampai di rumah, ben lebih banyak beraa di ruang tamu. lewat kaca jendela ia leluasa mengawasi rumah Oo Jali di seberang gang. Pukul empat lewat Oom Jali pulang. Kijang biru itu berhenti di depan pagar. Oom Jali turun untuk membukakan pintu dan garasi.
Ben jadi deg-degan. Apakah polisi akan datang?
Belum lagi Oom Jali kembali ke dalam mobil, dua mobil kijang lain berhenti di depan rumahnya. Melihat ada enam lelaki turun bergegas dari kedua mobil itu, dada Ben makin berdegup. Meskipun mereka tak berpakaian polisi, dari rambut dan penampilan mereka Ben bisa menebak bahwa mereka adalah polisi.
Sesore ini gang lagi sepi. Sepertinya selain Ben tak seorang pun warga tahu apa yang sedang terjadi di depan sana. Ia kemudian merapatkan gorden jendela. Ia jadi ingin melihat Oom Jali dibawa pergi.
Ben tentu tidak tahu apakah Oom Jali dibawa polisi. Sampai hari gelap, ia memang tidak disamperi Oom Jali. Padahal kalau ia janji tidak pernah lupa.
Sepuluh hari sejak itu, rumah Oom Jali bagai tak nerpenghuni. Dan sorenya Fadel interlokal dari lampung. Ia dengan gembira mengabarkan tentang mobil mereka yang sudah ketemu. Ketemu di Jakarta. Sekarang Pakde ke Jakarta melihatnya. Ternyata ketika ditinggal Pak Ujang, sopir Pakde, di depan sebuah toko, mobil itu dicuri gerombolan pencuri dari Jakarta. Kata Pakde, ada selusin lebih mobil curian yang disita polisi bersama mobilnya. Penjahatnya lebih hebat dari polisi. Bertahun-tahun mereka tak pernah tertangkap.
"Terus mobilmu itu sekarang gimana?" tanya Ben.
"Belum bisa dibawa pulang. Dan kata Ayah catnya sudah diganti oleh pencuri dengan warna biru," jawab Fadel.
"Oya?"
"Iya. Mau dijual kali. Dan platnya diganti sama nomor polisi Jakarta," tambah Fadel.
"Dan jok belakang yang kebakar rokok Pak Ujang yang ketiduran sambil merokok wakti di pantai itu diganti baru juga, kan?" pancing Ben.
"Di telepon polisi memang bilang begitu pada Ayah. Kok tahu, Ben?" tanya Fadel.
"Interlokalmua terlambat, Del. Pakde sudah sampai duluan di sini," bohong Ben,
"Ayah sudah tiba? Iya, deh. Sudah, ya. Aku cuma ngabarin itu saja," kata Fadel mengakhiri.
Ben merasa lega. Takkan ia ceritakan pada siapa pun tentang semua ini. Dan ketika kemudian banyak warga yang membicarakan Oom Jali, Ben tak ikut menimpali. Tapi ia sesali, kenapa orang itu mesti adalah kenalan baiknya. Kenapa mesti yang bernama Oom Jali.
Tag :

Melacak Jejak ( Anak)

Nigar kaget melihat kaver majalah Boo terbarunya robek. Terakhir kali ia melihat Igun yang membacanya. Segera ia menemui adiknya itu.
“Igun, kenapa kamu robek majalah baru ini?” Nigar setengah berteriak.
“Tidak sengaja. Tapi isinya masih bisa dibaca kan, Kak!” kilah Igun takut.
“Pokoknya kamu harus ganti. Kalau tidak, mobil-mobilan ambulan kamu itu akan kubuang ke sungai,” ancam Nigar sewot. “Cepat, sekarang juga!”
Nigar ke luar kamar Igun dan menunggu di ruang tengah. Dilihatnya kemudian Igun ke luar kamar sambil membawa mobil-mobilan kesayangannya. Nigar tidak mau melihat ke arah Igun, ketika adiknya menelepon seorang temannya. Bahkan Nigar pura-pura tidak mendengar ketika adiknya pamit pergi.
Satu jam Nigar menunggu, Igun belum juga pulang. Dua jam berlalu. Bahkan sampai magrib tiba Igun tidak juga kembali. Ibu yang biasanya melihat Igun di depan teve langsung cemas.
“Coba cari adikmu, Gar!” ujar Ibu kuatir.
Nigar mematuhi permintaan Ibu. Diam-diam Nigar ikut cemas. Dicarinya Igun di setiap rumah teman yang diketahuinya. Tapi setelah berkeliling mengitari komplek, tak satupun teman Igun yang mengaku bermain dengan Igun. Nigar semakin cemas saja. Namun ia sedikit lega saat di perempatan jalan berpapasan dengan Oben, temannya yang terkenal sebagai detektif kampung. Segera saja ia menceritakan masalahnya pada Oben.
Oben tertegun beberapa saat. “Wah, kalau begitu kita harus melacak jejak adikmu dari rumahmu. Yuk, kita ke rumahmu dulu!” ajak Oben kemudian.
Nigar menuruti permintaan Oben. Hanya Ibu yang kebingungan karena Nigar bukan membawa pulang Igun, malah mengajak Oben.
“Sabar, Bu. Nanti Nigar jelaskan,” ujar Nigar hati-hati.
Oben meminta Nigar mengulangi lagi apa yang dilihatnya sebelum adiknya keluar rumah.
“Pokoknya dia membawa mainan ambulannya, menelpon temannya, dan pergi,” begitu kata Nigar.
“Hmmm, jadi sempat memakai telepon dulu… Kalau begitu aku harus tahu… Apa di rumah ini ada yang memakai telepon setelah Igun?” tanya Oben.
Nigar menggeleng. Ibu juga tidak merasa memakainya. Ayah belum pulang dari kantor jadi tidak mungkin memakai telepon itu.
“Syukurlah kalau memang demikian. Itu jadi mempermudah. Bu, saya pinjam teleponnya sebentar,” Oben minta ijin. Ia lalu memijat tombol bertuliskan huruf ‘R’ di telepon. Sesaat kemudian terdengar sahutan dari seberang.
“Selamat malam! Maaf, apakah ini rumah Aca?” tanya Oben langsung.
“Bukan. Salah sambung,” sahut suara di seberang.
“Tunggu dulu, Om, jangan ditutup. Saya saudara Igun. Kalau boleh tahu, apakah Igun sedang bermain di sana?”
“Igun? Oooo… teman sekelas Farhan itu…ya? Ada. Memangnya kenapa?”
“Ibunya mencari-cari sejak sore. Kalau begitu, tolong jangan beri tahu Igun kami menelpon. Kami akan ke sana menjemputnya. Di mana alamat rumah Farhan, Om?”
“Jalan Percetakan duabelas.”
“Terima kasih, Om. Selamat malam.” Oben meletakkan gagang telepon. “Nah, sekarang kita tinggal menjemputnya. Mudah, kan?”
Nigar menggeleng. “Belum tentu Igun mau pulang denganku,” kilahnya.
“Ya, itu sudah tugasmu sebagai kakaknya.”
“Ayolah, temani aku menjemput Igun.”
“Bukan apa-apa, Gar. Aku belum makan malam nih. Aku lapar.”
“Itu soal gampang. Nanti kutraktir makan nasi goreng Mang Aep kalau berhasil membujuk Igun pulang.” Nigar tahu, Oben paling suka nasi goreng.
“Oke deh kalau begitu!” sahut Oben.
Mereka segera bersepeda ke Jalan Percetakan dua belas.
“Ngomong-ngomong, bagaimana tadi kamu tahu kalau Igun ada di rumah Farhan?” tanya Nigar ingin tahu.
“Mudah saja. Kamu yang bilang, Igun menelpon seseorang sebelum pergi. Jadi kupikir ia pasti pergi ke temannya itu.”
Nigar manggut-manggut. “Lantas darimana kamu tahu nomor teleponnya?”
“Juga mudah. Selama pesawat teleponmu itu belum dipakai siapapun, nomor telepon yang terakhir dihubungi akan otomatis terekam. Kita dapat menghubungi nomor itu dengan menekan tombol redial, artinya menghubungi ulang,” papar Oben.
Akhirnya mereka tiba di rumah Farhan. Dan Igun benar ada disitu. Tapi seperti yang diduga Nigar, adiknya ngotot tidak mau pulang.
“Kak Nigar jahat sih. Mobil ambulan Igun mau dibuang ke sungai. Igun kan tidak sengaja merobek sampul majalah Bobo-nya,” Igun mengadu kepada Oben.
“Maksud Kakak biar kamu bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan,” sanggah Nigar.
“Pokoknya Igun tidak mau pulang.”
“Kakak janji tidak akan meminta Igun menggantikan majalah itu. Juga tidak akan membuang ambulan Igun,” sahut Nigar, kuatir Igun tidak mau pulang. Kalau Ayah sampai tahu, bisa-bisa ia tidak boleh main selama sebulan penuh.
Igun tersenyum. “Saksinya Kak Oben tuh,” tunjuk Igun. Tak lama kemudian mereka pamit pulang kepada orang tua Farhan.
Nigar mengkayuh sepedanya sambil membonceng Igun. Sementara Oben dengan sepedanya berbaris di belakangnya sambil berbicara dengan Igun.
“Igun, kamu sering-sering kabur dari rumah ya kalau dimarahi Nigar,” teriak Oben.
“Memangnya kenapa, Kak?” Igun heran.
“Biar aku bisa sering gratis makan nasi goreng Mang Aep. Cuma kalau kabur, beritahu aku dulu kemana perginya….”
“Hahahahaha…..itu sih bukan kabur namanya!” timpal Nigar.
“Hahahahaha…..nasi goreng! Nasi goreng!” teriak Oben lantang.
Tag :