idak seorang pun tahu kalau Pak Simon adalah seorang badut. Bahkan isteri dan anaknya pun tidak tahu. Orang-orang hanya mengira Pak Simon itu tidak punya pekerjaan tetap.
Seperti biasa, pagi ini Pak Simon mengayuh sepedanya menuju kota. Ia berhenti di dekat rumah mungilnya di sudut kota. Di sanalah ia menyembunyikan barang-barangnya. Pak Simon menengok ke kiri dan ke kanan, mencari saat yang tepat untuk masuk ke rumah itu. Tergesa-gesa ia membuka pintu, memasukkan sepedanya lalu menutup pintu dari dalam. Pak Simon lalu melangkah ke depan lemari kayu tua yang cerminnya telah retak. Di depan cermin ia berdiri.
“Akulah Simon! Akulah badut kota! Tetapi aku tidak ingin orang-orang tahu kalau Simon adalah seorang badut,” kata hati Pak Simon sambil tersenyum. Telah lima tahun ia menyimpan rahasia itu.
Seperti biasa, Pak Simon lalu membuka lemari itu. Ia mengambil peralatan make-up dan pakaian badutnya. Pak Simon mulai bersolek hingga ia yakin wajahnya tidak lagi dikenali sebagai Simon. Ia memoles wajahnya dengan make-up, menempel bulatan karet di hidungnya, dan mengenakan rambut palsu serta topi kerucut. Ia juga melilitkan spon di perut dan pinggangnya hingga terlihat gendut. Terakhir ia memakai pakaian badut bermotif bulat-bulat aneka warna, dan sepatu berhak tinggi.
Pak Simon berkaca untuk memastikan penampilannya. Setelah itu ia mengantongi beberapa bola kecil dan peralatan lainnya. Ia pun meraih sepeda roda satunya. Setelah mengunci pintu rumahnya, ia menaiki sepeda roda satu itu menuju keramaian pusat kota.
“Badut! Badut!” terdengar teriakan anak-anak kecil bersorak. Pak Simon tersenyum. Ia memulai atraksinya. Berputar-putar di atas sepeda sambil melempar-lempar beberapa bola dengan kedua tangannya. Orang-orang mulai merubungnya untuk menonton. Pak Simon juga meletakan sebuah mangkuk plastik di hadapan orang-orang itu. Satu demi satu orang-orang melemparkan uang recehan ke dalam mangkuk. Mereka rela memberikan uang mereka. Pertunjukan atraksi Pak Simon memang lucu dan menggemaskan. Penonton merasa terhibur.
Waktu terus berlalu. Pak Simon masih melanjutkan atraksinya. Tetapi tiba-tiba jantungnya berdegup kencang ketika melihat seorang wanita yang menggendong anak kecil. Anak itu tampak sangat kagum memperhatikan gerak-geriknya.
“Aduh! Istriku! Mengapa ia ke sini dengan Upik?” Pak Simon cemas. Ia khawatir istri dan anaknya tahu kalau selama ini ia bekerja sebagai badut. Saat pikirannya sedang kalut, tiba-tiba…
“Copet! Copet!” terdengar teriakan istri Pak Simon. Pak Simon kenal betul suara istrinya itu. Spontan ia melempar bola yang dipegangnya ke arah copet yang membawa lari dompet istrinya. Sayang tidak kena sasaran. Pak Simon meloncat dari sepedanya dan berlari menyibak kerumunan orang yang termangu. Pak Simon kembali melempar bolanya dengan keras. Kali ini tepat mengenai kepala si pencopet. Ia merasa pening lalu tersungkur. Pak Simon berlari mendekatinya. Beberapa orang segera menahan di pencopet. Pak Simon segera mengambil dompet itu, lalu diberikannya pada istrinya.
“Terima kasih!” kata Bu Simon sambil tersenyum. Pak Simon hanya tersenyum, tak berani bicara. Namun, gigi taring Pak Simon yang ompong terlihat. Bu Simon agak terkejut tetapi Pak Simon tidak mempedulikannya. Setelah menyalami Bu Simon dan Upik , ia segera menjauh untuk kembali beratraksi.
“Giginya ompong, persis Ayah ya, Upik,” ujar Bu Simon pada anaknya. Ia lalu mengajak Upik pulang.
Selesai pertunjukan, Pak Simon meraih mangkuk berisi uang. Ia lalu mengayuh sepeda roda satunya menuju rumah mungilnya. Seperti biasa ia segera membasuh muka, membersihkan make-up dan ganti baju. Ia kembali mengenakan pakaian seperti saat ia berangkat tadi. Setelah menghitung uang perolehannya, Pak Simon segera mengeluarkan sepedanya, mengunci pintu dan mengayuh sepeda untuk pulang.
“Akulah Simon! Akulah badut kota!” kata Pak Simon dalam hati. Setiba di rumah, Bu Simon dan Upik menyambutnya.
“Pak! Tadi aku kecopetan di kota. Saat itu aku sedang mampir nonton badut dengan Upik. Badut itulah yang membantu meringkus pencopet itu,” Pak Simon tersenyum mendengar cerita istrinya.
“Kau kenal dengan badut itu, Bu?” tanya Pak Simon.
“Tidak! Yang kuingat, gigi badut itu ompong seperti Ayah.”
“Iya. Badutnya ompong seperti Ayah,” kata Upik. Pak Simon tertawa.
“Akulah badut itu, Bu. Akulah badut itu, Nak! Akulah Simon! Akulah badut kota!” kata Pak Simon. Tetapi hanya di dalam hati. Entah sampai kapan Pak Simon sanggup menyimpan rahasia itu…
Bagus kak karyanya. Terus berkarya yaa
BalasHapus