BU Cici menyiapkan jerigen kecil dekat pintu dapur. Persediaan minyak tanah sudah kian menipis. Biasanya si kembar Ferdi dan Andi yang membeli minyak ke warung Pak Tatang sambil berboncengan naik sepeda.

Pukul 12 siang, suara keduanya terdengar dari jauh. Mereka bersenda-gurau meskipun matahari menyengat di luar sana. Keringat membuat wajah keduanya basah. Tapi tak membuat mereka lemas.

Ferdi menyandarkan sepeda di tembok rumah kemudian menyusul Andi masuk ke dalam rumah. Dilihatnya sang ibu mengisi piring dengan nasi. Ferdi ingin cepat-cepat makan, tapi sebelumnya dia harus mengganti seragam sekolahnya.

Si kembar duduk mengelilingi meja makan. Masing-masing di hadapan mereka tersedia sepiring nasi, lauknya tempe goreng dilapisi tepung, dan masih hangat. Sang ibu membelai kepala mereka sebelum Ferdi dan Andi menyantap hidangan sederhana itu.

Ferdi dan Andi memang kelaparan. Apapun lauk yang dimasak ibu mereka selalu terasa nikmat. Memang lauk-pauk yang tersedia hanya telur dan tempe berganti-gantian. Mereka tahu tidak mungkin bisa makan ayam atau ikan. Sesekali saja. Itu jika ibu mereka punya uang lebih dari upah bekerja sebagai buruh cuci.

Ferdi yang lebih tua beberapa menit dari Andi selalu menabung uang jajan dari ibu. Padahal banyak sekali penjual makanan yang mangkal dekat sekolah. Siomay, cireng, es, bakso, dan permen. Seribu rupiah dari ibu disimpannya di bawah koran pelapis sekat lemari pakaiannya. Dalam sebuah Amplop buatan sendiri.

Andi sesekali membelanjakan uang jajannya hingga tabungannya tak sebanyak Ferdi. Dia menyimpan sisa uang jajannya di bawah kasur. Dalam bungkusan plastik. Jumlahnya belum pernah dihitung.

Selesai makan, keduanya membawa piring kosong ke dapur. Ferdi dan Andi membagi tugas. Hari ini Ferdi yang menyabuni piring dan adiknya membilas sabun lalu mengeringkan. Tanpa bicara keduanya tahu harus melakukan yang mana.

Semua piring sudah bersih. Mereka berdua masih punya tugas lain yang harus dilakukan. Ferdi mengambil jerigen kosong lalu menyusul adiknya yang menunggu di dekat pagar di atas sepeda. Andi akan membonceng Ferdi menuju rumah Pak Tatang untuk membeli minyak tanah.

Letak rumah Pak Tatang jaraknya jauh dari rumah mereka. Ditempuh hampir 20 menit bersepeda dengan jalan menanjak dan banyak lubang. Tapi Ferdi dan Andi tetap ke sana walaupun tak pernah diberi uang jajan untuk membeli es lilin atau sirup oleh ibu.

Meski terik terasa semakin menyengat kulit. Mereka sampai juga di warung Pak Tatang yang juga sebagai pangkalan minyak tanah. Keduanya melihat antrian panjang orang-orang membawa jerigen seperti mereka. Pak Tatang dan Bu Tatang sibuk melayani para pembeli. Ferdi berharap mereka tidak kehabisan minyak tanah.

Mereka bergantian mengantri di barisan. Andi lebih dulu mengantri. Dia meletakkan jerigen di tanah. Keringat di wajah disekanya dengan punggung tangan kemudian diusapkan ke baju kausnya yang usang dan sudah tak terlihat lagi tulisannya.

Ferdi menepuk pundak Andi. "Aku mau cari bengkel. Ban belakangnya agak gembos." Ujar Ferdi.

Andi mengangguk. Dia melihat Ferdi pergi menjauh dari warung Pak Tatang. Ban yang dimaksud Ferdi memang perlu ditambah angin. Sepeda terasa lebih berat dan membuat kaki lebih cepat pegal.

Ferdi tahu ada Bengkel motor sekitar 50 meter dari warung Pak Tatang. Sayang, ketika tiba di sana bengkel itu tutup. Dia tetap mencari tempat lain meskipun jaraknya agak jauh.

Dalam perjalanan Ferdi melihat seorang anak perempuan duduk di jalan seraya memegangi lutut yang berdarah. Mungkin jatuh dari sepeda, pikir Ferdi. Di samping anak itu ada sepeda yang rebah ke jalan.

Ferdi segera menghampiri dan menolong anak itu. Dilihatnya darah sudah berhenti tapi pasti lututnya masih sakit. Menurut cerita Anik, nama anak itu, dia tidak melihat lubang di tengah jalan lalu terjatuh karena hilang keseimbangan.

"Aku mau ke bengkel depan sana," ujar Ferdi lalu menunjuk ban belakangnya yang gembos. Dia melanjutkan, "Titip sepedamu dulu di sana. Setelah itu aku antar kamu pulang biar lukamu dibersihkan."

Anik setuju dengan usul Ferdi. Dengan dibantu teman barunya, dia Bangkit kemudian membersihkan roknya yang kotor. Dia berjalan pincang sembari menuntun sepeda sejajar dengan Ferdi. Mereka berjalan pelan-pelan saja.

Angin sepeda Ferdi sudah ditambah. Dia meminta Anik duduk di boncengan dan berpegangan padanya. Sebelum mengayuh pedal dia bertanya, "Rumahmu dimana, Nik?"

Anik menyebutkan alamat rumahnya dan spontan membuat Ferdi heran. "Berarti dekat rumah Pak Tatang? Aku juga mau ke sana menjemput adikku."

"Pak Tatang itu bapakku, Fer." ujar Anik.

Ferdi manggut-manggut. Dia pun mengayuh pedal namun tidak akan mengebut.

Sesampainya di warung Pak Tatang, Ferdi tidak melihat antrian panjang seperti tadi. Ada sebuah tulisan "MINYAK TANAH HABIS!" di atas drum minyak tanah. Jerigen di depan Andi masih kosong. Ferdi lemas. Sering sekali mereka kehabisan minyak tanah. Harganya naik dan susah didapat.

Anik turun dari sepeda lalu menuju ke warung menemui ayahnya yang sedang melayani pembeli.

Ferdi menghela nafas. Mereka lagi-lagi pulang dengan tangan kosong. Diajaknya Andi naik ke sepeda. Dia yang akan membonceng adiknya sampai ke rumah.

"Ferdi! Sini!" panggil Anik dari warung.

Ferdi memandang adiknya lalu turun dan meminta Andi memegang sepeda. Dengan penuh kebingungan dia berjalan ke warung.

"Bawa jeringennya ke sini. Bapak mau ngasih minyak buat kamu." Ujar Anik.

Ferdi tersenyum bahagia. Dia memanggil Andi dan menunjuk jerigen supaya dibawa serta. Ferdi senang bukan main karena mendapatkan minyak tanah dan juga tidak perlu membayar sepeser pun. Itu sebagai balas budi Pak Tatang padanya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments