Sabtu tiba. Semenjak naik ke kelas empat SD, hari sabtu bagi gadis kecil itu adalah hari yang sangat ditunggu. Begitulah, pagi-pagi sekali dia sudah bangun. Berdoa dengan caranya sendiri. Memohon dengan teramat sangat kepada pemilik bumi.
Empat tahun lalu, ketika gadis kecil itu diantar ibunya ke sekolah untuk pertama kalinya, di sebuah SD negeri, betapa gadis itu terkagum-kagum dengan sebuah tiang tinggi yang di puncaknya berkibar kain dengan dua warna. Kekagumannya semakin menjadi ketika untuk pertama kalinya gadis kecil itu berbaris bersama teman-teman sekolahnya pada hari senin, melihat langkah tegap tiga orang kakak kelasnya menuju tiang tinggi di halaman sekolah. Langkah yang begitu tegap. Yang di tengah membawa kain yang terlipat rapi. Langkah yang begitu tegap. Mengiringi degup di jantungnya yang semakin kencang saat detik-detik pengibaran akan dilangsungkan. Ketiga kakak kelasnya itu tepat di depan tiang tinggi. Mengikatkan kain di tali yang menjulur di tiang tinggi. Jantung gadis kecil itu berderap semakin kencang.
“Kepada Bendera Merah Putih, Hormaaaaaaat grak!”

Tiba-tiba kakak kelasnya yang lain, yang berdiri seorang diri di tengah lapangan berteriak lantang. Sangat lantang. Inilah teriakan pertama yang didengarnya namun tidak menimbulkan ketakutan. Berbeda ketika di rumah tiba-tiba mendengar abangnya berteriak saat mengetahui celengannya dibobol orang lain. Berbeda saat di rumah tiba-tiba saja gadis itu mendengar ibunya berteriak saat mengetahui ada anggota keluarga yang sehabis makan tidak langsung mencuci piring. Berbeda ketika mendengar orang-orang di sekitar rumahnya tiba-tiba saja berteriak tengah malam, membangunkan seluruh warga, karena ada tetangga yang kemalingan. Teriakan yang sarat ketakutan.

Tapi kali ini, ketika tiga orang sudah siap dengan posisinya masing-masing, teriakan yang tiba-tiba saja terdengar membuat jantung gadis kecil itu seolah berhenti. Sama sekali tak ada rasa takut, melainkan membangkitkan keberaniannya. Ya, hati kecilnya sangat berani untuk mengatakan dengan lantang, “Aku adalah bagian dari negara ini.”

Sesegara mungkin setelah mendengar teriakan dari lelaki gagah di tengah lapangan, gadis kecil itu, juga seluruh orang yang berdiri di lapangan, mengangkat tangan kanannya, meletakkannya dengan posisi miring di depan kening yang dilindungi topi berwarna merah dan putih. Tak ada kesan keragu-raguan, meski ini adalah kali pertama, gadis itu ikut menyanyikan lagu yang juga dinyanyikan seluruh orang yang berdiri di lapangan. Lagu ini sudah dihapalnya beberapa minggu sebelum dia masuk sekolah. Ibunya langsung yang mengajarkannya.

“Endonesa tanah ailku tanah tumpah dalahku. Di sanalah aku beldili jadi pandu ibuku. Endonesa kebangsaanku, bangsa dan tanah ailku. Malilah kita belselu Endonesa belsatu…”

Lagu itu mengiringi kain dua warna yang pelan-pelan merambat menuju puncak tiang tinggi di lapangan sekolah. Kibarannya lagi-lagi membuat gadis kecil itu terkagum-kagum. Betapa gagah. Betapa perkasa.

Senin pertama. Upacara bendera pertama. Kibaran kain dua warna yang disaksikannya pertama dengan gagah perkasa.

Semenjak peristiwa itu, si gadis kecil selalu menanti-nanti hari senin tiba. Dia selalu tidak sabar menyaksikan kakak-kakak kelasnya, orang-orang yang dipilih Bapak Ibu guru, untuk mengajarkan kepada seluruh warga di sekolah itu mencintai negara. Ketika bendera pelan-pelan merambat menuju puncak tiang, maka dengan lantang gadis itu mengeluarkan merdu suaranya, menyanyikan lagu kebangsaan dengan bangganya.

Hari-hari lewat. Setahun sudah gadis kecil itu bersekolah. Ketika duduk di kelas dua, agak gugup sebenarnya, tapi dia memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya kepada ibu guru.

“Bu gulu, saya mau jadi petugas upacala bendela.”

Sang guru tersenyum, lalu dengan ramah dia menjawab.

“Wati, sekarang kamu masih kelas dua. Nanti ya. Tunggu suatu hari kamu duduk di kelas empat, lima atau enam. Makanya kamu belajar yang rajin. Biar bisa naik kelas, dan bisa jadi petugas upacara bendera.”

Itulah kalimat yang sanggup melipatgandakan motivasi belajar gadis itu berlipat-lipat. Ya, dia harus rajin belajar. Dia harus mampu menjawab tugas-tugas sekolah dengan baik. Dia harus mengerjakan PR dengan tepat. Dia harus membaca buku apa saja. Dia harus menjadi anak yang cerdas. Dia harus bisa naik kelas. Biar bisa duduk di kelas empat. Dan bisa menjadi petugas upacara bendera. Jadi apa saja terserah. Pengibar bendera, komandan upacara, membaca teks UUD, pembawa naskah pancasila, apa saja. Yang penting jadi petugas upacara bendera.

Waktu yang ditunggu tiba. Indah Wati akhirnya duduk di kelas empat SD. Indah Wati, begitulah kira-kira gadis kecil itu diberi nama oleh orang tuanya. Nama yang harus digunakan dimana saja diseluruh penjuru negara ini. Sebenarnya gadis itu punya nama yang lain. Tapi cuma sanak kerabat saja yang tau. Oleh orang tuanya, sejak kecil dia sudah dilarang orang tuanya memperkenalkan diri ke orang-orang dengan nama pemberian keluarga.

“Kenapa?” tanyanya suatu hari.

“Kamu harus pake nama Indah Wati kemana-mana, sebab kamu juga orang Indonesia.”

“Memangnya kalau aku pake nama Lie Yun Ni, seperti nenek suka memanggilku, itu artinya aku bukan orang Indonesia?”

“Pokoknya kamu tidak boleh pake nama itu di luar!” Orang tuanya marah. Gadis itu cuma bisa menundukkan kepala. Bahkan sampai kelas empat SD pun, gadis itu masih tidak mengerti, kenapa dia harus memperkenalkan diri sebagai Indah Wati, bukan Lie Yun Ni seperti neneknya memanggil.

Tapi kali ini gadis itu tidak mempersoalkan perkara nama. Siapapun namanya, dia cuma berharap, semenjak duduk di kelas empat, Bu guru memanggil namanya di hari sabtu untuk menjadi salah seorang petugas upacara bendera senin lusa. Seperti sabtu ini, gadis kecil itu sudah bangun pagi-pagi sekali, berdoa dengan caranya sendiri, sama seperti cara keluarganya berdoa, memohon dengan teramat sangat kepada segenap Dewa Dewi yang ada di bumi dan langit, agar hari ini dia dipanggil menjadi salah satu petugas upacara bendera. Agar bisa lebih gagah. Lebih khidmat. Menghormati kain dua warna sebagai cara termudah untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari Indonesia Raya.

Sudah tiga bulan dia duduk di kelas empat. Berarti sudah dua belas senin dilewati. Apa yang diharapkan tak juga terkabul. Ini adalah senin ketiga belas. Angka yang dianggap membawa kesialan oleh banyak orang. Tapi dia tetap berdoa. Hingga detik yang ditunggu itu tiba. Menjelang pulang sekolah. Bu guru memanggil satu per satu nama petugas bendera. Satu per satu. Hingga selesai. Tak ada nama Indah Wati. Apakan lagi nama Lie Yun Ni. Kesekian kalinya kaca di mata gadis itu pecah. Tak ada yang tau. Tak ada yang tau. Kecuali sapu tangan yang selalu dibawanya dan menjadi basah setiap hari sabtu menjelang pulang sekolah.

Menanyakan kembali kepada bu guru seperti apa yang pernah dilakukannya dua tahun lalu, rasanya menjadi hal yang tidak mungkin. Sebab semakin hari gadis kecil itu semakin menyadari bahwa dirinya berbeda. Dia menyadari bahwa kulitnya jauh lebih putih dan matanya jauh lebih sipit dibanding teman-teman sekolahnya.

“Kenapa aku dimasukkan ke sekolah negeri? Bukan sekolah swasta seperti anaknya Paman Wong. Di sanakan banyak saudara-saudara kita.” Begitu kira-kira pertanyaan yang dilontarkan kepada ibunya saat dia tau bahwa akan dimasukkan ke sekolah negeri.

“Sekolah negeri paling dekat dengan rumah kita. Lagi pula biar orang-orang mengakui bahwa kita juga orang Indonesia.” Ibunya menjawab singkat. Dan tidak ada penjelasan setelahnya. Wati kecil juga tak menanyakannya. Kecuali cuma menurut.

Kelas empat lewat. Begitu juga kelas lima dan enam. Indah wati lulus SD dengan nilai yang sangat memuaskan. Dia tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas. Tapi sampai lulus SD, kecerdasan yang dimilikinya tak membuat dia berbangga. Enam tahun di SD, tak sekalipun mejadi petugas upacara. Oleh orang tuanya Wati kembali disekolahkan di SMP negeri. Masih dengan alasan yang sama. Tiga tahun lewat. Kecerdasan gadis kecil yang beranjak remaja itu semakin kentara. Tapi tetap saja dia tidak berbangga. Saat SMA, dengan alasan yang sama, kembali disekolahkan di SMA negeri.

“Supaya orang-orang mengakui kita sebagai orang Indonesia.” Kalimat ibunya tersebut selalu diingatnya.

Ebtanas berakhir, tiba pengumuman kelulusan. Wati kembali lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Wati menangis. Di rumah, dia menulis catatan harian:

Aku tidak pernah terpilih menjadi petugas upacara. Maka, jadilah aku seterusnya sampai ke bangku SMA tidak pernah menjadi petugas upacara bendera. Coba di hitung, satu bulan ada empat Senin, dikurangi libur-libur, ditambah hari-hari nasional lainnya (17 Agustus, 20 Mei, dll), maka dalam satu tahun kira-kira ada 44 kali upacara bendera Senin. Dikali 12 tahun masa sekolahku dari SD sampai SMA, ada 528 kali upacara bendera Senin. Dan dari 528 kali itu, tidak pernah sekali pun aku menjadi petugas upacara, paling dekat menjadi petugas kesehatan yang berdiri di belakang barisan, bertugas menolong orang-orang yang pingsan (yang itu pun kulakukan karena dapat berdiri dengan santai terlindung pohon-pohon di belakang).

Di waktu yang lain, ketika Wati sudah duduk di semester awal sebuah Perguruan Tinggi, kembali dia menuliskan kalimat di buku hariannya.

Di kemudian hari dalam kunjungan singkat ke beberapa rumah teman ibuku, kisah-kisah tidak tuntas diceritakan kepadaku. Tentang si A Liong temannya, yang pernah dimasukkan ke dalam tahanan tanpa pengadilan ketika hingar-bingar 1965. Bagaimana dia kehilangan kuku-kukunya dan menemukan pandangan kosong sebagai pelarian penderitaan yang mungkin sampai kini tidak dipahaminya. Tentang sekolah kakekku yang harus ditutup karena bahasa Mandarin yang diajarkan dan digunakan dalam proses belajar mengajarnya. Tentang buku-buku kakek dan nenekku yang menjadi bubur setelah sekian tahun disembunyikan dalam kotak terkubur di bawah lumbung padi. Tentang ketakutan bapak dan ibu yang menjalar kepadaku kala aku masih teramat kecil untuk memahami kenapa sebuah bingkai yang berisi sapuan kuas tulisan Cina berisi filsafat hidup harus disembunyikan dengan teramat rapi di bawah kolong tempat tidur tertutup kardus-kardus. Tentang kisah pelarian bapakku dari tanah dan riam yang teramat akrab sedari masa kecilnya di Bengkayang*) sana.Kemudian tentang bendera setengah tiang yang harus kami kibarkan setiap 30 September sebagai tanda berkabung atas matinya para jenderal itu. Sebuah paradok lain yang mulai kupahami.

Begitulah, gadis kecil bernama Indah Wati telah menjadi seorang remaja yang cerdas. Kecerdasan yang tumbuh sebab hasrat pengakuan keIndonesiaan lewat upacara sakral pengibaran bendera. Namun kulit putih dan mata sipitnya membuat dia harus pasrah tetap berada di barisan seperti siswa-siswa yang lain. Kecerdasan yang sama sekali tidak sia-sia. Kecerdasan yang pada akhirnya membuat dia terpilih menjadi salah satu remaja yang berhak mengikuti program pertukaran antar negara. Waktu itu Jerman adalah negara tujuan. Di paspor keberangkatan tertulis nama Indah Lie. Pada kesempatan yang lain, kembali mewakili Indonesia gadis cerdas dengan kulit putih dan mata sipit ini berangkat ke Inggris. Sewaktu kuliah, dia tergabung dengan NGO lingkungan. Berjalan kebeberapa negara, memperjuangkan Indonesia di mata dunia. Sungguh, kecerdasan yang tidak sia-sia.

“Nama saya Indah Lie. Saya berasal dari Borneo bagian barat. Dalam kesempatan kali ini saya akan mempresentasikan perihal kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) yang hampir punah di hutan Kalimantan karena masyarakat memburu babi hutan.” Begitu kira-kira dia memperkenalkan dirinya saat akan presentasi di depan Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup kala itu. Sang menteri terkesima, dan tidak punya alasan untuk tidak memberangkatnya ke Jepang mewakili Indonesia dalam sebuah program penyelamatan lingkungan dunia.

***

“Hello, what’s your name?” Seorang Bule Autralia bertanya kepadanya suatu hari.

“Indah Lie.”

“Are you from China?”

“No, I’m from Indonesia.”

***

Setelah sekian lama berpisah, dia bertemu dengan kawan semasa SMP

“Hei Wati, apa kabarmu?”

“Panggil aku Indah Lie.”

“Lho, bukannya namamu Indah Wati?”

“Namaku Lie Yun Ni, tapi kamu bisa panggil aku dengan Indah Lie.”

***

Gadis itu berkulit putih. Bermata sipit dengan rambut lurus terurai menutupi bahu. Ketika berbicara, siapapun yang mendengarnya akan berkesimpulan sama. Bahwa dia seorang gadis cerdas yang begitu antusias. Aku bertemu dengannya dalam sebuah forum peduli gempa Jogja dua tahun lalu. Pada kesempatan yang lain, banyak teman menceritakan dirinya. Menceritakan kecerdasannya. Menceritakan betapa banyaknya jaringan yang dimilikinya. Menceritakan kecantikannya. Menceritakan betapa fasihnya lidahnya melafalkan bahasa Indonesia, tidak seperti saudara-saudara Indonesia kita yang lain yang berketurunan Tionghoa. Banyak cerita kudengar darinya. Tentang keIndonesiaanya.

Kami pun menjadi akrab. Merawat komunikasi dengan komunikasi. Memperbincangkan banyak hal. Hingga suatu hari kuberanikan diri bertanya.

“Kenapa kamu menggunakan nama Indah Lie, bukan Indah Wati.” Perempuan yang tidak lagi kecil itu tersenyum. Matanya semakin sipit. Senyum yang begitu manis. Semanis keberagaman di negara ini. Lalu mulut kecilnya berucap.

“Namaku Lie Yun Ni. Orang tuaku menyuruhku memakai nama Indah Wati supaya orang-orang mengakui kami sebagai orang Indonesia. Tapi tak sekalipun aku diperacaya menjadi petugas upacara bendera. Namaku Lie Yun Ni. Tapi di Paspor tertulis Indah Lie. Nama yang pernah membuat Emil Salim tanpa ragu-ragu mengirimku ke beberapa negara di Eropa dan Asia. Mewakili Indonesia. Kuulangi. Mewakili Indonesia.”

***

17 Agustus 2008

Pagi-pagi sekali. Perempuan itu keluar dari rumahnya. Berdiri sebentar di pekarangan. Lalu berdoa sesuai dengan caranya sendiri dan seperti cara yang dilakukan keluarganya. Beberapa batang Hio dibakar. Memanjatkan doa kepada Dewa Dewi penguasa bumi dan langit. Selesai. Hio ditancapkannya ke tanah. Kemudian dia menatap kain dua warna yang sejak beberapa hari lalu berkibar di puncak tiang kayu depan rumahnya. Perempuan sipit itu mendekat ke arah tiang. Membuka simpul tali, menurunkan kain dua warna yang berkibar sampai setengah. Mengikatkan kembali tali ke tiang. Kepada penguasa langit dan bumi, kembali dia berdoa. Lalu mata sipitnya menikam tajam kibaran kain dua warna. Yang berkibar di tengah tiang. Diluruskannya telapak tangannya. Diangkatnya. Ditempelkan di depan keningnya dengan posisi miring. Dia mulai bernyanyi. Kaca di matanya pecah. Pipinya basah.

“Indonesia Raya merdeka merdeka, tanahku negeriku yang tercinta. Indonesia Raya merdeka merdeka, hiduplah Indonesia Raya.”

Penghormatan selesai. Tegaaaaaaak grak! Perempuan itu menurunkan tangannya. Membiarkan kain dua warna di tengah tiang tetap berkibar. Tak diusapnya pipinya yang basah. Perempuan itu masuk ke rumah. Mengambil buku harian, kemudian mulai menulis.

Tidak pernah kupermasalahkan semuanya itu, karena aku anak negeri ini. Semua itu mengajarkan kepadaku untuk berani bermimpi dan berbuat untuk Indonesia yang lebih baik. Saat ini, entah mengapa teramat ingin aku mengibarkan bendera merah putih itu, menaikannya hingga ke atas dan menurunkannya setengah tiang.

Dan jika ada yang lewat di depan rumahku bertanya kenapa aku menaikkan bendera setengah tiang, maka aku akan menjawab ”Karena aku berkabung untuk orang-orang miskin yang semakin miskin dan mungkin mati di setiap detik kibaran bendera itu, untuk setiap anak-anak yang hilang dalam pemiskinan yang terjadi di negeriku ini. Untuk paman A liong yang kehilangan kuku-kukunya ketika ditahanan meskipun dia berkali-kali sudah mengatakan bahwa dirinya adalah orang Indonesia.”



Pontianak, 14 Agustus 2008



*) Bengkayang adalah salah satu Kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas, yang merupakan salah satu lokasi kerusuhan (etnic cleansing), pengusiran masyarakat Tionghoa besar-besaran pada tahun 1967, terkait dengan peristiwa Pasukan Gereliya Rakyat Serawak (PGRS) – Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments