Arian kembali mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Lalu secepatnya juga kembali tancap gas.
“Auuu…! Mas hati-hati dong nyetirnya!” pinta gadis cantik yang duduk di kursi belakang. Seolah tidak mempedulikan permintaan gadis tadi, Arian masih terus bermain dengan rem da gas.
Arian, hatinya benar-benar tidak tenang. Wajah berkeringat, matanya memerah dan  beberapa kali ia mengeretakkan giginya. Ia seperti menahan amarah yang amat besar. Terlebih tatkala memikirkan gadis yang duduk di belakang, Ia seakan ingin menabrakkan mobilnya atau menjatuhkannya ke dalam jurang biar bisa mati bersama.
“Damn it!” umpat Arian dalam hati. Ia memukul setir mobil dengan keras. “Kenapa? Kenapa harus seperti ini?” Kenapaaaa…!!!” jerit hatinya.
“Mas! Mas ada masalah ya? Kalau mas memang gak bisa nerusin, turunin aku disini saja, gak papa. Tapi mas tau kan, kalau untuk ini tetap ada tarifnya,” gadis itu kembali berucap. Suaranya lembut, penuh pesona meski dalam gelap. Arian memang sengaja tidak menyalakan lampu mobil.
Seakan menyulut api, hati Arian makin membara. Entah kenapa, ia begitu benci tatkala mendengar suara gadis tadi. Amarah dalam hatinya langsung meledak-ledak. Tapi mulutnya tetap tertahan untuk mengucapkan umpatan atau amarah.
-oOo-
Arian memperlambat laju mobilnya dan berhenti di salah satu rumah.
“Ini rumah mas?”
Arian tidak menjawab, ia mematikan mesin dan langsung turun. Meski merasa aneh, gadis itu ikut turun dan mengikuti Arian. Tak sedikitpun ia protes dengan sikap Arian yang dingin. Asal punya uang, itu point terpenting baginya.
Arian membuka pintu, berjalan beberapa langkah dan berhenti tanpa membalikkan badan. Gadis itu mengambil jarak di belakang Arian, ia memperhatikan Arian. Sampai sekarang, ia belum melihat wajah ‘klien’nya itu.
“Jadi ini rumah mas? Bagus!” ucapnya berusaha mencairkan suasana.
“Gimana, mau ‘main’ sekarang atau mandi dulu?” ucapnya lagi. Kali ini penuh rayu.
Arian tidak bergeming. Ia kemudian membalikkan badannya dan menatap gadis itu dengan tatapan dingin.
“Kamu???” Alangkah kagetya gadis itu. Ia seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Ya. Masih ingat aku?” jawab Arian sinis.
“K-k-k-kamu… kamu Arian, Arian Wiguna kan?”
“Iya, ini aku, Sas, Sasky Fahira.”
“Apa? G-g-gak mungkin! Gak mungkin!” ucap Sasky lirih. Matanya tiba-tiba berair, harga dirinya runtuh seketika begitu melihat sosok yang berdiri di depanya. Mendadak seluruh tubuhnya serasa hancur lebur.
-oOo-
Enam tahun lalu, saat masih dibangku SMA, Arian dan Sasky adalah sahabat baik. Mereka hampir bisa disebut pacaran. Tapi kata-kata cinta, tak jua keluar dari mulut mereka. Arian, ia terlalu takut akan penolakan. Sedangkan Sasky, ia terlalu takut akan perasaan yang tak imbang, terlebih karena perbedaan status. Arian anak orang berada sedangkan Sasky berlatar belakang keluarga sangat sederhana, bahkan kadang kekuragan. Sayang, manusia tidak diberi kemampuan membaca pikiran orang lain, sehingga hubungan mereka berdua tak pernah nyata.
-oOo-
“Jadi ini… pekerjaan kamu sekarang, kupu-kupu malam. Merayu laki-laki demi uang? Atau mungkin cuma demi kepuasan?”
Sasky tak menjawab. Sungguh ia merasa malu, pada Arian dan dirinya sendiri.
“Aku pikir kamu peduli, peduli pada harga diri kamu sendiri… peduli padaku. Tapi kenapa? Kenapa kamu harus menyingkirkan kedua-duanya. Kenapa, Sas?”
Sasky masih tak bersuara. Air matanya mulai membasahi pipinya yang mulus.
“Aku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti. Kenapa kamu seperti ini. Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku saat tau semua ini. Setahun belakangan ini, setelah aku kembali dari Amerika, yang aku tuju hanya kamu. Aku terus mencari tanpa lelah dan tanpa putus harapan. Tapi apa yang aku dapat. Apa???” Suara Arian meninggi.
“Aku tidak lagi mendapat Sasky yang dulu. Sasky sahabatku, Sasky sahabat yang aku sayangi. Sahabat yang aku cintai, yang aku cintai sejak dulu, sejak sembilan tahun yang lalu. Ya. Aku cinta kamu, Sas. Apa kamu tau itu???” Air mata Arian tumpah seketika. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa mengungkapkan perasaannya, rasa cintanya, meski dalam situasi yang tidak diinginkan.
BRUKK!!!
Sasky terduduk dengan kedua lututnya, menangis tersedu, air matanya mengalir deras. Akhirnya ia mendengar kata-kata itu, kata-kata yang telah ditunggunya sekian lama, kata-kata cinta dari orang yang juga ia cintai.
Enam tahun belakangan, ia bukan berarti melupakan Arian. Ia terus menyimpan harapan untuk Arian. Ia begitu bahagia ketika ketika tau Arian telah kembali dari Amerika, seperti yang tertulis  pada sebuah majalah Bisnis dan Ekonomi yang memasang Arian sebagai covernya. Sasky turut bahagia dan bangga melihat nama Arian Wiguna masuk dalam daftar 10 pengusaha muda paling sukses. Tapi dengan keadaannya yang sekarang, dia tak mungkin menemui Arian. Meski begitu tak sedikitpun ia berhenti untuk mencintai. Andai Arian tau betapa dia merindukannya. Andai Arian mengerti kenapa ia harus menjadi seperti  ini… menjalani hidup… sebagai kupu-kupu malam.
“Apa kamu tau. Apa kamu tau betapa sakitnya aku saat tau keadaan kamu seperti ini.”
Sasky menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terus menangis. Betapa ingin ia menjelaskan apa yang terjadi.
“Aku benci kamu, Sas. Aku benci Kamu!!! Kamu itu hina. Ya, wanita hina. Sangat hina!!!”
“Cukup!!!” Sasky di sela isak tangisnya.
“Cukup! Aku mohon jangan siksa aku dengan ucapanmu. Kamu tidak tau apa-apa tentang aku. Kamu tidak tau kenapa aku bisa seperti ini…”
Sasky tersendak, tangisnya makin parah. “Kalau boleh memilih, aku juga tidak ingin, tapi… tapi aku terpaksa, karena tidak ada jalan lain.”
“Jalan untuk apa!!! Apa ada pembenaran untuk hal ini.”
“Terserah kamu mau menilai aku apa. Tapi aku tidak seburuk seperti yang kamu kira.”
“hhh?” Arian tersenyum sinis, mengejek. “Apa ada yang lebih buruk dari ini?”
“I’m still virgin!!! Jika itu yang ingin kamu tau.” Suara Sasky meninggi. Ia kemudian bangkit dan segera berlari keluar, meninggalkan Arian.
Arian tidak mengejar. Ia membiarkan Sasky berlalu.
Arian terdiam, berpikir. “Hh… virgin? Dia pasti sedang bercanda, mencari pembenaran.” Sebelah hati Arian menelan mentah-mentah ucapan Sasky. “Apa mungkin?” Sebelah hati lainnya menelisik.
“Akkhhh… sial!” Arian mengeluarkan ponsel, mencari nama dan segera menekan dial. Nada tunggu berbunyi untuk beberapa lamanya. Arian hampir saja murka, sampai akhirnya ada yang mengangkat.
“Maaf, maaf bos! Tadi saya ketiduran. Ada apa bos?” terdengar suara dari seberang.
“Roni, ini tentang Sasky Fahira.”
“Iya, Bos. Bos sudah ketemu orangnya kan?”
“Iya. Aku ingin kamu mencari tau lebih jauh tentang Sasky. Tentang keluarganya,  kehidupannya jauh lebih rinci. Semuanya, tentang Sasky aku ingin laporan lengkapnya.”
“Iya beres, Bos. Eee… sekarang ya, bos?”
Arian menghela nafas tidak senang.
“Iya, iya sekarang. Sekarang juga saya berangkat.” Roni, tau betul arti helaan nafas Bosnya.
-oOo-
“Sasky Fahira…, sebenarnya ia adalah pendatang baru di komunitas itu. Meski begitu, ia cukup terkenal. Bukan karena treatmentnya, melainkan karena cara kerjanya ‘dalam tanda kutip’. Dia itu seorang penipu dan pencuri. Awalnya dia akan merayu para pria hidung belang, dan sebelum ‘bermain’ ia memberi alkohol yang telah dibubuhi obat tidur pada kliennya. Dan setelah kliennya tertidur pulas, ia menguras isi dompet klien tersebut. Ia bersih, tak tersentuh dalam batas kewajaran. Jadi mengenai apa yang dia bilang sama bos, tentang… ‘virgin’nya itu, mungkin ada benarnya.
Lalu mengenai sebab kenapa dia menjadi seperti sekarang, bisa jadi karena orang tuanya. Ayah Sasky meninggal dan saat ini ibunya sedang dirawat di rumah sakit karena tumor. Butuh segera di operasi sebelum tumor itu menyebar. Dan Sasky harus mengumpulkan sejumlah uang untuk itu. So, menjadi kupu-kupu malam mungkin satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang dalam waktu yang cepat,” Roni mengakhiri laporannya sementara.
Arian menyimak laporan Roni dengan seksama. Di hatinya ada setitik harapan. Paling tidak ia tau kalau Sasky tidak seburuk yang ia pikir.
“Lalu apa kamu tau dimana ibunya sekarang dirawat?”
“Tentu…” Roni kemudian menyebutkan nama salah satu rumah sakit ibukota.
“Kerja bagus, Ron.” Arian menyungging senyum, meski tipis. Ia terdiam beberapa saat, berfikir.
“E… bos! Saya boleh ke ruangan saya sekarang.”
Arian mengiyakan dengan ekpresi mukanya. Roni kemuadian segera beranjak.
“Roni!” panggil Arian. Roni menghentikan langkahnya.
“Apa aku pernah berterima kasih. Untuk semua hal yang telah kamu lakukan?”
“E… itu…” Roni sok berfikir dan mengingat. Padahal dia bisa langsung menjawab pertanyaan itu, ‘TIDAK’.
“Hhh… rupanya memang tidak pernah ya?” Arian terdiam dan melanjutkan. “Terima kasih. Terima kasih, untuk semua bantuan kamu selama ini.”
Roni setengah mendelik mendengarnya. Arian yang ‘bossy’ dan dingin bisa mengucapkan kata terima kasih dengan wajah tulus menyenangkan.
“Iya, pak! Eh, bos! E… saya permisi dulu.” Roni tersenyum lebar kemudian berlalu dari ruangan itu dengan hati girang. Setahun sudah ia bekerja pada Arian, baru kali ini ia mendengar kata terima kasih dari bosnya itu.
-oOo-
Pukul 04.30, Sasky berlari dengan tergesa-tegesa memasuki rumah sakit. Keadaannya kacau, ada lebam bekas tamparan di pipinya. Ya, kali ini rencananya gagal. Ia kepergok saat akan membubuhi obat tidur ke minuman kliennya. Akibatnya kliennya murka dan sempat mendaratkan tamparan. Setelah bergumul hebat, akhirnya Sasky berhasil melarikan diri. Tapi ia masih harus berlari menuju jalan raya utama. Kliennya memang mengajak Sasky ke Villa di puncak. Dia pun harus menunggu angkutan umum yang mulai sepi di malam hari.
Terlambat, waktu operasi ibunya sebenarnya pukul 20.00 malam. Tapi ia baru bisa datang pukul 03.00 pagi. Dalam perjalanan, Sasky terus menghubungi dokter yang akan mengoperasi ibunya agar tidak menunda operasi, karena penyakit ibunya sudah benar-benar akut. Operasi memang tidak bisa dijalankan jika Sasky tidak membayar sejumlah uang sebagai down payment. Tadinya Sasky menyanggupi pembayaran tersebut. Jika rencananya berhasil dengan klien yang terakhir, maka ia bisa mencukupi sejumlah uang muka untuk operasi itu. Tapi kini, ia terlambat datang dan ia tak membawa uang yang cukup.
Sasky telah sampai di ruangan dimana ibunya biasa di rawat. Tapi ia tidak menemukan ibunya disana. Ia mulai panik. Pikirannya mulai kemana-mana. Ia takut kalau-kalau ibunya telah menghembuskan nafas terakhir sebelum ia berhasil mengumpulkan uang untuk operasi. Jika itu terjadi maka ia akan menyesal seumur hidup.
Sasky berlari meninggalkan ruangan dengan cucuran air mata. Ia bermaksud mencari dokter yang hendak mengoperasi ibunya.
Setelah beberapa saat, ia pun menemukan dokter tersebut, dokter Arga.
“Dokter! Apa yang terjadi dengan ibu saya, Dokter. Kenapa dia tidak ada di ruangannya. Saya sudah bilang kalau saya akan membayar uang muka itu, tapi saya butuh waktu. Saya bersumpah akan membayarnya. Dokter bisa pegang kata-kata saya. Ibu saya harus segera di operasi Dokter. Dokter saya…”
“Sasky! Sasky tenang!”
“Bagaimana saya bisa tenang dokter. Ibu saya batal di operasi dan sekarang ibu saya… ibu saya mungkin telah tiada. Dan itu semua karena dokter…!
“Sasky, kamu tenang dulu. Siapa bilang ibu kamu wafat? Ibu kamu sekarang baik-baik saja. Operasinya berjalan lancar.”
“Apa? Operasi? Jadi… ibu… sudah dioperasi. Tapi…”
Dokter Arga mengedipkan kedua matanya meng’iya’kan sembari senyum.
-oOo-
“Ibu kamu sedang tertidur. Pengaruh obat bius pasca operasi”, ujar dokter Arga setelah mengantar Sasky melihat ibunya.
“Terima kasih, dok! Tentang sejumlah uang itu, saya janji akan membayarnya.” Sasky
Dokter Arga tersenyum. “Kamu tidak usah khawatir. Semua pembayaran sudah ditanggung. Jadi kamu tidak tidak usah memikirkannya lagi.”
“S-s-sudah ditanggung? Oleh siapa? Dokter?
Dokter Arga kembali tersenyum. “Bukan saya.”
“Bukan dokter? Lalu siapa?”
“Aku.” Terdengar suara dari belakang Sasky. Sasky segara membalikkan badannya dan,
“Arian!!! K-k-kamu…?” Sasky seakan tidak percaya.
“Iya.” Arian berjalan mendekat.
“Tapi… bagaimana mungkin. Darimana kamu tau, dan… dan bukanya kamu benci, jijik sama aku?”
Arian menyungging senyum, “Apa tidak boleh?”
Dokter Arga pun beranjak dari tempatnya, memberi ruang untuk Sasky dan Arian.
-oOo-
“Jadi, berapa lama waktu yang kamu inginkan?”
“Waktu untuk apa?” Arian tidak mengerti.
“Aku tau diri. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Jadi seberapa lamapun kamu ingin aku menemanimu, aku siap.”
“Jadi? Kamu berfikir aku melakukan semua ini untuk tubuh kamu?”
“Lalu? Memang itu kan yang kamu mau?”
Arian terdiam dan mulai angkat bicara setelah beberapa saat. “Baiklah, jika itu yang kamu inginkan.”
Arian kembali diam  sesaat dan melanjutkan, “Bagaimana kalau selamanya, sampai aku tua, seumur hidup aku.”
“Apa?” Sasky tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Serakah, pikirnya.  Tadinya ia berharap Arian akan menolak tawaranya karena Arian membantunya atas dasar ketulusan dan karena mereka dulu pernah bersahabat, tapi ternyata Arian tidak ada bedanya dengan pria hidung belang lainnya.
Susah payah saski menelan ludahnya. Air matanya jatuh berbulir menuruni pipinya. Ia benar-benar kecewa dengan Arian. Mungkin Arian saat ini memang hanya memandangnya sebagai gadis murahan penjaja badan.
“Ya. Selamanya, disampingku. Menemani aku… sebagai pasangan hidup.” Arian lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah cincin. Lalu terduduk dengan salah satu lututnya.
Sasky seperti tercekat mendengar ucapan Arian barusan. Jika tidak salah ini adalah sebuah lamaran. Mirip dengan adegan dalam opera roman.
“Sebagai istri aku…. Menikahlah denganku! Kamu kamu kan?” pinta Arian.
“Hhhh??? Tapi…” Dari semua ketidak percayaan yang Sasky punya, hal inilah yang paling membuatnya tidak percaya. Ini benar-benar sebuah lamaran. Arian benar-benar melamarnya.
“Kamu tidak sedang meledekku kan?”
“Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?”
Sasky tidak sanggup berkata-kata lagi, diantara rasa bahagia dan tak percaya. Ia lalu menatap dalam mata indah Arian mencari pembenaran, dan ia menemukan ketulusan disana.
Sasky kembali menitikkan air matanya. Ia terlalu haru dan bahagia. Terlebih saat Arian menyematkan cincin itu ke jari manisnya.
Arian beranjak dari duduknya. Menggenggam hangat tangan Sasky lalu menatapnya lekat-lekat.
“Ini artinya kamu setuju kan?” ujar Arian lembut.
Tangis Sasky makin menjadi-jadi. Ia menutup rapat mulutnya dengan cucuran air mata. Ia masih tidak bisa berkata-kata. Ia mengangguk-angguk dan segera memeluk Arian
Arian pun tersenyum bahagia dan ia mengeratkan pelukannya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments