Negeri Angin
Oleh: Yulisa Farma
Telah terbit di Koran Harian Singgalang, 25 Mei 2008
Hari sudah larut malam, namun Maru belum juga tidur. Ia masih teringat dengan film Doraemon yang ditontonnya tadi pagi. Film itu berjudul Negeri Angin. Maru selalu membayangkan kalau dia ada di Negeri Angin. Tapi, kata Mama itu hanya dongeng. Namun, Maru gak pernah percaya dengan kata Mamanya. Maru percaya bahwa Negeri Angin itu ada. Pagi datang bertamu di kaca jendela Maru, waktunya sekolah. Pulang sekolah, Maru masih saja memutar film yang dibelikan Mamanya itu, Doraemon. Maru membayangkan hidup di Negeri Angin, dimana semuanya memakai kekuatan angin. Maru memang tahu kalau itu hanya dongeng, tapi entah kenapa hati kecilnya menolak. Seminggu sedah berlalu, tapi Maru tetap saja memutar film itu. Hal ini membuat Mama marah, karena maru tak mau membuat tugas sekolah.
“Sudah cukup nontonnya, Maru. Sekarang waktunya belajar. Kalau nonton terus, bisa-bisa pelajaranmu tertinggal,” kata Mama.
“Iya, Ma. Sekarang Maru mau matiin TV,” jawab Maru dengan patuh.
Maru masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Ia mulai duduk di kursi meja belajarnya dan mulai mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Maru sedikit kesulitan, karena ada salah satu kata yang tak dimengerti dan yang dibutuhkan Maru adalah kamus Bahasa Indonesia. Kamus itu hanya ada di perpustakaan pribadi Papanya. Papa Maru adalah seorang sastrawan, namun beliau sudah meninggal akibat kecelakaan. Jadi, yang tersisa hanya kenangan dan perpustakaan yang selalu dijaga Maru. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari menuju tempat tersebut. Banyaks ekali buku-buku lama yang masih tersusun rapi, namun sedikit berdebu. Ada ribuan buku di sana, mungkin lebih. Hal ini membuat Maru sedikit kesulitan. Tak cukup 15 menit, akhirnya Maru menemukan kamus Bahasa Indonesia. Sewaktu maru menuju ke luar, sekilas ia melihat sebuah buku yang lumayan tebal. Maru melihat buku itu dekat-dekat dan membaca judulnya. Buku tersebut berjudul “Negeri Angin.” Ia sangat penasaran dengan buku berwarna coklat tua tersebut dan langsung membawanya ke kamar. Maru langsung mengunci kamarnya dan duduk di kursi belajarnya.
“Wah, ternyata Papa juga suka kisah Negeri Angin,” katanya sambil tersenyum.
Maru sangat penasaran dengan isinya. Sewaktu ia membuka buku itu, maru melihat lubang kecil di tengah buku. Baru Maru sadari bahwa buku tersebut telah menyedot tubuhnya perlahan demi perlahan. Bangku yang diduduki maru menjadi kosong. Maru menghilang dan masuk ke dalam buku tersebut. Aneh bin ajaib, tiba-tiba saja Maru berada di Negeri yang sangat asing baginya. Maru berada di padang rumput yang sangat luas. Maru melihat semua hewan-hewan bertebangan. Hewan tersebut tak mempunyai sayap, seperti ikan, beruang, anjing dan masih banyak lagi. Maru kaget dan baru menyadari bahwa dirinya sekarang berada di Negeri Angin. Maru berharap ini hanyalah mimpi, ia mencubit pipinya dan terasa sakit.
“Benarkah ini Negeri Angin?” tanya maru.
“Benar. Ini adalah Negeri Angin,” jawab seseorang yang sudah dari tadi berada di belakang maru.
Maru kaget dan berteriak. Ia melihat seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Namun, anak itu melayang diatas benda seperti piring alien, tapi mirip penyaring santan yang sering digunakan Mamanya di dapur. Selain itu, di tangan anak itu juga terdapat benda seperti baling-baling putar.
“Si… siapa kau?” tanya maru gugup. Anak itu tersenyum dan turun dari benda tersebut.
“Aku Ken. Aku adalah penduduk Negeri Angin. Kau siapa? Sepertinya aku tak pernah melihatmu,” kata Ken balik bertanya.
“Aku Maru, aku tinggal di Bumi. Aku juga tak tahu bagaimana sampai disini. Sewaktu aku membuka sebuah buku, tiba-tiba saja aku disedot oleh buku tersebut,” jelas maru.
“Oh begitu. Berarti kau tersedot dari Negeri lain. Kalau begitu ikut saja denganku. Aku akan membawamu ke rumah,” saran Ken.
Maru langsung menurut, karena ia takut sendirian. Ken menyuruh maru untuk naik ke benda aneh tersebut. Ken menjelaskan bahwa benda yang membawa mereka terbang bernama piring angin. Piring angin inilah yang membawa manusia angin untuk terbang. Benda yang ada di tangan Ken bernama baling-baling, gunanya untuk mengumpulakan angin. Supaya angin berkumpul, baling-baling harus diputar terlebih dahuli, baru piring angin bisa melayang di udara. Setelah Maru menaiki piring angin, benda tersebut terbang dan melayang di udara.
Maru kaget sekaligus senang, karena mimpinya menjadi kenyataan.
Sampailah mereka di rumah Ken. Rumahnya sangat sederhana, tapi sangat indah karena dipenuhi taman-taman dan bungan yang bermekaran. Apalagi keluarga ken sangat ramah kepada Maru. Semua pekerjaan yang ada di rumah Ken, semuanya dilakukan dengan kekuatan angin, seperti pakaian kotor yang hanya dibersihkan dengan angin, paralatan makan yang kotor pun juga begitu. Ken membawa maru berjalan-jalan mengelilingi negeri itu dengan piing angin miliknya. Tak ada motor atau pun mobil. Semua kendaraan yang ada disana terbuat dari piring angin. semua dilakukan dengan angin. Di tengah padang rumput terdapat kincir angin raksasa. Ken juga membawa Maru ke taman yang sangat indah dan dipenuhi bunga yang berwarna-warni. Tak terasa hari sudah menjelang sore, waktunya mereka pulang untuk mengisi perut. Saatnya keluarga Ken berkumpul di meja makan. Maru kangen dengan mamanya, ia ingin pulang. Mamanya pasti kesepian di rumah. Maru sadar bahwa hidup di negri asing tak sepenuhnya menyenangkan.
“Ada apa, Maru? Dari tadi aku melihatmu gelisah,” tanya Ken.
“Anu, aku kangen sama Mamaku. Aku ingin sekali pulang ke rumah,” jawab maru.
“Oh, kalau begitu pulang saja dulu, kapan-kapan kan kita bisa ketemu lagi,” saran Ken.
“Iya, tapi aku tak tahu jalan pulangnya,” ucap maru sedikit sedih.
Sedikit bingung, Ken bertanya kepada orang tuanya. Ternyata buku yang ada di rumah maru ada sepasang, yang satu ada di negeri angin, yang satu lagi ada di Bumi. Dengan itu, negeri angin dan bumi dapat berkomunikasi dengan baik. Maru menanyakan dimana letak buku yang satunya lagi. Ternyata buku tersebut berada di perpustakaan negeri angin. Sebelum mereka berangakat ke perpustakaan, Maru mengucapkan terima kasih kepada keluarga Ken, karena sudah berbaik hati membiarkan Maru tinggal di rumah mereka. Mereka berharap maru mau berkunjung lagi ke negeri angin. Maru diantar oleh Ken dan membantunya untuk mencari buku tersebut. Setelah sampai di perpustakaan, mereka langsung berpencar mencari buku tersebut. Setelah setengah jam mencari, akhirnya apa yang mereka cari diketemukan.
“Hei, Maru! Aku menemukannya,” kata Ken gembira.
“Oh ya?” kata maru senang.
Sebelum maru membuka buku tersebut. Ia mengucapkan salam perpisahan kepada Ken.
“Ken, semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu,” ucap maru sedih.
“Iya, maru. Seringlah main kesini. Aku pasti merindukanmu,” tutur Ken dengan sedih.
“iya, kapa-kapan aku akan kesini lagi. Aku janji, kita akan main bersama lagi,” ucap Maru dengan penuh semangat.
“Bawalah baling-baling angin ini sebagai kenang-kenangan, jagalah selalu,” kata Ken sambil memberikan baling-baling itu kepada maru.
Maru menerimanya dengan senang hati. Ia berjanji akan menjaga baling-baling yang diberikan Ken. Setelah mereka mengucapkan salam perpisahan, perlahan maru membuka buku yang ada di genggamannya itu. Setelah terbuka lebar, maru merasa badannya disedot oleh sesuatu. Hal terakhir yang dilihat maru di negeri angin adalah senyuman Ken dan lambaian tangannya. Maru sangat senang bahwa tahu ia telah berada di rumah. Maru langsung mencari Mamanya yang sedang memasak di dapur. Maru langsung memeluk Mamanya erat sekali. Mamanya sangat kaget, karena tumben-tumbennya maru seperti ini. Namun, ia membalas pelukan anak semata wayangnya itu dengan lembut. Maru baru sadar akan perbedaan waktu di negeri angin dan bumi. Satu jam di Bumi itu sama artinya sehari di negeri angin.
“Aku akan ke sana lagi. Aku janji,” bisik Maru dalam hati sambil menggenggam erat baling-baling yang diberikan ken.
Padang, 17 Maret 2008

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments