Ini adalah karya-karya anak didik saya yang berumur 9
tahun, kelas 3 SD. Selamat membaca ya...

DESA SUKAKALI
Oleh : Alma

Jojon, Jono, dan Joni adalah tiga orang sahabat yang
beda ayah, beda ibu, beda kakek, beda nenek, tapi satu
sekolah sama-sama sekolah di SD Sukakali, satu desa
sama-sama tinggal di desa Sukakali, satu bangsa, dan
satu negara yaitu Indonesia. Mereka bertiga juga
selalu sama-sama ke sekolah dengan berjalan kaki dan
sama-sama nyebur ke kali atau anak sungai yang
memisahkan rumah mereka dan sekolah mereka. Kok
sama-sama nyebur kali sih ? mereka mau ke sekolah atau
mau berenang, hihihi. Ternyata eh ternyata mereka
emang kudu nyebur ke kali kalo mau sampe sekolah
karena eh karena kagak ada jembatan sih, ya
satu-satunya cara nyebur gitu lho emang bisa loncat
dengan jarak panjang 10 meter kayak gini.
“Jono, capek juga ya kalo ke sekolah selalu copot
baju, copot sepatu, trus nyebur ke kali sambil
mengangkat baju, sepatu dan tas sekolah di kepala
kayak gini. Wah kita malah masuk angin nih bukannya
masuk sekolah lagi. Kamu ada ide gak gimana caranya
kita ke sekolah tanpa nyebur kali ?”tanya Joni pada
Jono yang berjalan dibelakangnya.
“Iya ya kalo gini terus kita sering nggak masuk
sekolah karena masuk angin, sering nggak masuk sekolah
entar nggak lulus unas. Wah rugi dong kita.”jawab
Jono.
“Kamu tuh ditanyain ide malah mikir nggak lulus
unas, nggak lulus beneran baru tahu rasa lu. Aku tahu
kenapa kita ini nggak dibuatin jembatan gantung hingga
kita jadi sengsara kalo mau ke sekolah. Ini semua
gara-gara nama desa kita sih ?”sahut Jojon.
“Gara-gara nama desa kita ???”Jono dan Joni kompak
kagetnya dengan nada dasar C hihihihi.
“Iya salah nama desa kita. Kenapa desa ini dinamai
Desa Sukakali sih, jadinya mulai dari pamong desa
sampe warga-warganya sangat menyukai kali. Liat aja
ibumu kalo mau ke pasar inget kali kan, belanja di
pasar apung kayak di Kalimantan tuh. Mbok Minah mau
nyuci baju, nyuci di kali. Bang Endun mau makan inget
kali, mancing ikan dulu di kali buat lauk. Pokoknya
mau apa-apa selalu inget kali kayak kali minded
gitu.”jawab Jojon seenak udelnya.
“Semprul lu! Gue kira lu serius. Dasar lu udah nama
kayak pelawak, ngelawak lagi. Eh tapi tampangnya sih
beda, lebih cakep Jojon pelawak daripada lu.”semprot
Jono.
“Kupret lu!Pake njelek-njelekin gue lagi.”sungut
Jojon.
“Hahahahaha…sudah-sudah kok malah pada tengkar
sih. Kalian nih ama gokilnya tahu. Udah nggak kasi
ide malah olok-olokan.”Jono melerai dua sohibnya
yang aneh bin ajaib idup lagi itu.
“Hari Minggu kan ada rapat di balai desa nih, kita
dateng aja trus ngungkapin perasaan kita yang paling
dalam bahwa kita sebagai penerus bangsa nih sangat
sengsara dengan rutinitas cebur kali ke sekolah tiap
hari. Siapa tau pak lurah mau ngabulin buat jembatan
gantung.”usul Jono sok puitis itu.
“Bener Jono gue setuju ama usul lo. Kita harus satu
tekad, satu hati buat kepentingan semua temen di
sekolah. Gue jadi inget ama pepatah yang bunyinya
‘Rajin-rajinlah ke sekolah biar pinter’ bukannya
‘Basah-basahlah ke sekolah biar seger’.”ujar
Jojon.
Hahahahahaha…..mereka tertawa bersama menuju ke
sekolah, dengan segernya.

The End

JARI GEMUK FARAH
Oleh : Alma

Tiba-tiba Farah berlari sambil menangis.
“Huuu huuuu huuuu…”
“Lho lho Farah kenapa nangis ?”sambut mama di
depan pagar sambil cepat-cepat membuka gembok.
“Fa…hik…farah…hik…nggak
mau…hik…les…hik…piano lagi!”isak Farah.
“Oalah gitu toh…sudah kita masuk dulu ya nak,
nanti kita bicara di dalam.”kata mama sambil memeluk
Farah.
Setelah meneguk air puti segelas, Farah menceritakan
asal muasal kenapa dia nangis tadi. Rupanya, Farah
nggak tahan diejek temen-temen lesnya. “Jarimu kok
gemuk sih. Mana mungkin bisa maen piano.”begitulah
ejekan mereka.
Mama hanya tersenyum. Sambil terus memeluk Farah,
mama berkata,”Jangan hiraukan apa kata
teman-temanmu. Belum tentu lho, mereka lebih jago
dari kamu Farah. Yang penting Farah giat berlatih.
Nanti kita lihat hasilnya. Ok, Farah!”
Sejak saat itu Farah giat berlatih piano. Tiap hari
ia berlatih selama satu jam.
“Ma…makasih ya sarannya. Teman-teman nggak pernah
ngejek aku lagi, karena kata bu guru permainan pianoku
lebih bagus di antara teman-temanku,”kata Farah
dengan senyum mengembang bak bakpao dari dandang.
Mama tersenyum bangga. Itulah hasilnya kalo kita giat
berlatih. Keberhasilan didapat dari perjuangan yang
gigih kan.

The End

TEMANKU SI PENJUAL KUE
Oleh : Alma

Teng...teng. ..teng...
Suara bel sekolah berbunyi nyaring sekali mirip bel
tinju ganti ronde. Aku siap-siap pulang.
Ah...senengnya udah pulang kayak gini. Semua
siswa-siswa SD Menanggal berhamburan keluar kelas
dengan kompaknya, mirip kuda-kuda balap yang melaju
kenceng pas pintu kandang dibuka, hehehehe. Sebelum
pulang aku ke kantin dulu.
"Bu Minah, kemaren aku liat ada anak perempuan
seusiaku jualan kue disini. Apa Bu Minah tahu siapa
anak itu ?"tanyaku sesampainya di kantin.
"Eh non Alma. Anak perempuan kemaren itu ya. Itu anak
saya paling kecil. Hari ini lagi jualan di rumah. Eh
non Alma belom kenal ya, maklum baru 3 hari dia
disini, sebelumnya kan ikut neneknya di desa."jawab Bu
Minah panjang banget.
"Anak Ibu ? Kok Ibu nggak pernah cerita kalo punya
anak cewek ?"tanya Alma heran.
"Ya sejak kecil sudah ikut neneknya. Kalo non Alma mau
kenalan ke rumah Ibu aja sekarang. Pasti ada tuh."
"Baiklah Bu Minah. Saya ke rumah ibu ya ?"Alma
beranjak dari kursi dan siap-siap jalan ke rumah Bu
Minah.
Rumah Bu Minah deket ama sekolah. Masuk gang dan
sampailah sudah...
"Hai, ada kue apa aja nih ?"sapa Alma pada anak
perempuan itu.
"Aduh kaget aku. Macem-macem lah, ada lemper, ada
bikang, ada pukis, ada gorengan. Mau yang mana ?"jawab
anak perempuan itu.
"Ngomong-ngomong kamu yang kemaren jualan di kantin Bu
Minah ya ?"tanya Alma tanpa menjawab mau beli kue apa,
gitu lho.
"Bu Minah itu ibuku. Sejak ayah dan ibuku nggak bisa
lagi kirim uang buat sekolahku, aku kembali kesini dan
membantu jualan kue. Aku nggak ngelanjutin sekolah
lagi, biar mas aku aja karena dia kan kakak
laki-laki.Eh kok aku jadi nangis sih."kata anak
perempuan itu sedih dan tak terasa meneteskan air
mata.
"Kasihan sekali kamu. Namamu siapa dan seharusnya kamu
kelas berapa ?"Alma tiba-tiba merasa iba.
"Aku Nina, seharusnya kelas 3 tapi nggak bisa sekolah
lagi. Dan seharusnya aku masih pengen sekolah
lagi."Nina tiba-tiba terisak.
"Nina kamu jangan sedih aku mau kok jadi temenmu. Aku
Alma, kelas 3 juga.Ehm...aku beli lempernya ya."Alma
mencomot lemper dan memeluk Nina yang masih terisak.
"Nina aku ikut sedih jika kamu nggak sekolah lagi.
Tapi aku ingin membantu kamu sebisaku ya. Ehm...gini
aja gimana kalo mulai besok kamu maen ke rumahku ya.
Kita belajar bareng gitu. Aku jadi guru kamu jadi
murid. Jadi walau kamu nggak sekolah tapi bisa tetep
belajar kan."usul Alma sambil makan lemper dan menatap
Nina dengan mantap.
"Tapi Alma apa aku nggak ngerepotin kamu nih."
"Ya nggak lah. Aku justru seneng punya teman di rumah.
Aku selalu sendirian seabis sekolah. Kamu mau kan jadi
temenku."Alma tersenyum manis sekali. Ya itulah aku,
yang hanya bisa membantu anak yang hidupnya nggak
seberuntung aku dengan kemampuanku sendiri. Kemampuan
anak kecil yang masih SD. Tapi aku percaya ortuku
mengijinkan keputusanku ini. Yang penting Nina senang
dan Bu Minah, pengelola kantin sekolah yang ibunya
Nina juga akan merasa bangga sekali. Aku dan Nina
berpelukan," Terima kasih Alma. Kamu baek sekali ama
aku."

The End

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments