Ben menaruh lagi gagang telepon. Perasaan gugupnya belum hilang. Ini luar biasa. Tak terbayang ia bisa bikin keputusan seperti ini: Menelpon polisi. Ia meraih kembali buku telepon yang tadi digunakannya untuk mencari nomor kantor polisi. Pintu boks ia buka, lalu mendekati kasir wartel. Ia taruh buku telepon di tempat semula.
"Berapa, Mbak?" tanyanya pada kasir wartel.
Mbak itu menyerahkan secarik kertas. Ben langsung membayar sesuai angkat yang tertera di kertas itu.
Tadi sepulang sekolah Ben menumpang mobil Oom Jali lagi. Sering terjadi kebetulan-kebetulan seperti itu. Pada saat berpanas-panas di halte depan sekolah yang ramai, kebetulan Oom Jali lewat.
Oom Jali adalah tetangga depan rumah Ben. Orangnya masih muda. Belum menikah. Baik hatinya. Semua warga gang pasti bilang begitu. Dia orang muda yang sukses. Rumahnya paling bagus di gang itu. Ben sering main ke sana. Mobilnya bagus-bagus. Garasinya yang cukup besar dapat menampung tiga mobil. Kadang dalam sebulan ada saja satu dari mobil-mobi itu yang ditukar dengan yang lain. Kata Oom Jali, kerjanya bisnis mobil. Jika ada yang terjual, dibeli lagi satu.
Sudah pasti Oom Jali banyak uang. Ben sering ditraktir. Kadang sore-sore ia diajak jalan-jalan ke pantai atau ke mana saja. Dan ia pasti dibelikan sesuatu. Pernah juga Ben diajak ke rental VCD. Disuruh memilih sendiri film anak-anak kesukaannya. Kadang VCD itu diputar di rumah Oom Jali. Mereka nonton bersama.
Tadi di depan sekolah, mobil yang berhenti di depan Ben adalah kijang warna biru. Begitu kacanya yang gelap diturunkan, dari belakang setir terlihat Oom Jali memberi isyarat supaya Ben naik. Ben belum pernah melihat mobil ini sebelumnya di rumah Oom Jali.
"Mobil baru ya, Oom?" tanya Ben saat mobil mulai berjalan.
Oom Jali membenarkan. Katanya baru saja diambil dari bengkel. "Tercium, kan, bau catnya?"
Menurut Oom Ben, setiap mobil yang baru dibeli harus diservis. Agar bisa dijual lagi dengan harga yang lebih mahal.
"Wah, kalau begitu kantong Oom lagi tebal, nih," goda Ben.
Oom Jali tertawa. "Ah, kamu ini. Oke, deh. Nanti sore Oom traktir. Jangan ke mana-mana, ya! Nah, kamu turun di pertigaan Gang Kopi saja, ya. Oom masih mau ke bengkel," kata Oom Jali lagi.
"Ada yang diservis lagi, Oom?" tanya Ben.
"Iya. Jok belakang ini. Bekas terbakar rokok kata pemilik yang dulu. Semua harus dibuat bagus, agar mudah dijual," terang Oom Jali.
Ben melongok ke jok belakang. Benar. Ada bekas terbakar selebar telapak tangan. Bena kembali menoleh ke depan. Mobil terus melaju. Sebentar lagi mereka tiba di Gang Kopi. Tapi…Eh!
Tiba-tiba ingatan Ben terketuk. Ia tengok lagi ke belakang. Oya! Jok belakang mobil itu, kok persis jok belakang mobil Fadel dulu? Ben kini menebar pandang ke seluruh kabin. Ya! Interiornya berwarna coklat muda. Nah! Pada dashboard di depannya, tatapan Ben terhenti. Di situ ada pula bekas tempelan striker.
Iya! Pada liburan lalu, Ben dan Fadel menempelkan striker monster game di dashboard. Stiker yang mereka dapat dari dalam kemasan makanan ringan.
Setelah turun di pertigaan Gang Kopi, Ben bingung bukan main. "Tapi, mobil itu bernomor polisi Jakarta. Ah, pasti sudah diganti! Ini mobil Pakde yang dicuri empat minggu lalu!" Ben berteriak dalam hati. Tangannya mengepal.
Tapi Oom Jali? Apakah mungkin? Rasanya semua warga di gang tempat tinggalnya akan bilang Ben gila kalau menuduh Oom Jali pencuri mobil. Oom Jali sudah dua tahun tinggal di sana. Semua mengenalnya sebagai orang baik-baik.
Ada dua menit Ben mematung di trotoar. Tapi Ben tidak bisa membantah hatinya. Ia merasa benar-benar baru saja duduk lagi di jok mobil Fadel. Seperti liburan lalu. Dan kemudian… Ben tak bisa menahan kakinya melangkah menuju wartel terdekat. Untuk menelepon polisi.
Jika Ben tidak keliru, berarti mobil Pakde bisa kembali. Jika keliru, ya, kan, bisa meminta maaf pada Oom Jali nanti. Dan, toh di telepon ia bisa sembunyikan identitas. Bisa bikin nama dan alamat palsu.
Empat jam setelah sampai di rumah, ben lebih banyak beraa di ruang tamu. lewat kaca jendela ia leluasa mengawasi rumah Oo Jali di seberang gang. Pukul empat lewat Oom Jali pulang. Kijang biru itu berhenti di depan pagar. Oom Jali turun untuk membukakan pintu dan garasi.
Ben jadi deg-degan. Apakah polisi akan datang?
Belum lagi Oom Jali kembali ke dalam mobil, dua mobil kijang lain berhenti di depan rumahnya. Melihat ada enam lelaki turun bergegas dari kedua mobil itu, dada Ben makin berdegup. Meskipun mereka tak berpakaian polisi, dari rambut dan penampilan mereka Ben bisa menebak bahwa mereka adalah polisi.
Sesore ini gang lagi sepi. Sepertinya selain Ben tak seorang pun warga tahu apa yang sedang terjadi di depan sana. Ia kemudian merapatkan gorden jendela. Ia jadi ingin melihat Oom Jali dibawa pergi.
Ben tentu tidak tahu apakah Oom Jali dibawa polisi. Sampai hari gelap, ia memang tidak disamperi Oom Jali. Padahal kalau ia janji tidak pernah lupa.
Sepuluh hari sejak itu, rumah Oom Jali bagai tak nerpenghuni. Dan sorenya Fadel interlokal dari lampung. Ia dengan gembira mengabarkan tentang mobil mereka yang sudah ketemu. Ketemu di Jakarta. Sekarang Pakde ke Jakarta melihatnya. Ternyata ketika ditinggal Pak Ujang, sopir Pakde, di depan sebuah toko, mobil itu dicuri gerombolan pencuri dari Jakarta. Kata Pakde, ada selusin lebih mobil curian yang disita polisi bersama mobilnya. Penjahatnya lebih hebat dari polisi. Bertahun-tahun mereka tak pernah tertangkap.
"Terus mobilmu itu sekarang gimana?" tanya Ben.
"Belum bisa dibawa pulang. Dan kata Ayah catnya sudah diganti oleh pencuri dengan warna biru," jawab Fadel.
"Oya?"
"Iya. Mau dijual kali. Dan platnya diganti sama nomor polisi Jakarta," tambah Fadel.
"Dan jok belakang yang kebakar rokok Pak Ujang yang ketiduran sambil merokok wakti di pantai itu diganti baru juga, kan?" pancing Ben.
"Di telepon polisi memang bilang begitu pada Ayah. Kok tahu, Ben?" tanya Fadel.
"Interlokalmua terlambat, Del. Pakde sudah sampai duluan di sini," bohong Ben,
"Ayah sudah tiba? Iya, deh. Sudah, ya. Aku cuma ngabarin itu saja," kata Fadel mengakhiri.
Ben merasa lega. Takkan ia ceritakan pada siapa pun tentang semua ini. Dan ketika kemudian banyak warga yang membicarakan Oom Jali, Ben tak ikut menimpali. Tapi ia sesali, kenapa orang itu mesti adalah kenalan baiknya. Kenapa mesti yang bernama Oom Jali.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments