“Kamu tahu, rumah kosong di sebelah kita sudah ada penghuninya?” tanya Dino pada adiknya, Arni.
“Iya, tapi aku belum melihat mereka. Apa di rumah itu ada anak sebaya kita ya, Kak? Biar bisa jadi teman kita bermain,” kata Arni sambil mengunyah kacang.
“Untuk itu kita harus memancingnya.”
“Maksud Kakak?”
“Kita bermain saja di halaman samping nanti sore. Pasti dia akan melihat atau mendengar permainan kita. Siapa tahu ia tertarik dan mau berkenalan.”
“Benar juga!” Arni segera memikirkan permainan untuk sore nanti. Akhirnya keduanya sepakat untuk bermain bulu tangkis.
Untunglah sore hari angin bertiup tidak terlalu kencang agar suara mereka sampai ke rumah sebelah. Sebentar mereka tertawa, lalu bermain lagi.
Sementara itu sepasang mata milik seorang gadis kecil memandang ke arah mereka dari kamarnya di lantai atas. Ia menyingkap sedikit tirai jendela yang menghadap ke samping. Tangannya bergetar.
“Orang di sebelah rumah tidak keluar juga,” kata Arni perlahan.
“Hm, besok kita main lagi di sini,” ujar Dino.
Mereka pun kembali ke rumah. Saat sedang nonton televisi, Ibu datang menghampiri mereka dengan muka kusut.
“Siapa yang tadi memecahkan pot bunga Ibu di samping rumah?” tanya Ibu sambil mematikan teve.
Dino dan Arni saling berpandangan bingung.
“Kalian berdua tadi bermain di halaman samping, kan? Nah, mengaku saja, siapa yang memecahkan pot bunga Ibu?”
“Bukan kami, Bu. Kami memang bermain di samping rumah. Tapi tidak sampai memecahkan pot bunga Ibu,” Dino menjelaskan.
“Kalau begitu siapa yang melakukannya? Yang bermain di samping rumah ini kan cuma kalian.”
“Mungkin ada kucing yang menjatuhkannya,” kata Arni.
Ibu terdiam sesat. “Ya, mungkin juga sih…Hmm, kalau begitu kalian bantu Ibu membersihkan kotoran pot pecah itu,” pinta Ibu kemudian.
Dino dan Arni segera ke halaman samping. Ketika sedang menyapu, Dino menemukan dua batu yang cukup besar dekat pecahan pot. Tentu dua batu itu yang memecahkan pot Ibu. Apalagi kalau dilemparkan dengan tenaga yang kuat. Pikir Dino.
Dino segera mengatakan kecurigaannya kepada Arni. Selanjutnya, mereka membuat rencana untuk keesokan harinya.
Seperti yang direncanakan, sore berikutnya mereka kembali bermain di samping rumah. Tapi sengaja kali ini mereka lebih ribut dari kemarin. Di saat sedang bermain, Ibu muncul sambil berteriak,” Hati-hati jangan memecahkan pot bunga Ibu lagi. Kalau sampai pecah lagi, kalian tidak boleh bermain lagi di situ!”
“Baik, Bu. Kami janji!” sahut keduanya serempak sambil terus bermain.
Ketika matahari makin terbenam, mereka menyudahi permainan. Mereka masuk ke rumah sebentar. Tapi kemudian mengendap diam-diam, memperhatikan tembok pembatas halaman samping.
Tidak berapa lama kemudian tampak seorang anak lelaki muncul dari balik tembok pagar. Ia lantas berdiri di tembok pagar. Anak itu melempar batu ke jajaran pot bunga Ibu. Tidak kena! Rupanya ia sudah menyiapkan beberapa batu. Namun saat akan melempar kedua kalinya, Dino dan Arni buru-buru keluar dari persembunyiannya.
“Hey! Apa yang kau lakukan!” teriak keduanya.
Anak lelaki itu kaget. Ia berdiri limbung. Dan terjatuh ke halaman rumah Dino dan Arni. Meski kesakitan anak itu berusaha menaiki pagar tembok. Tapi Dino buru-buru menyergapnya. Ibu juga muncul dari dalam rumah karena mendengar suara ribut.
“Bu, ini orang yang telah memecahkan pot Ibu kemarin. Ayo mengaku!”
“Maafkan saya, Bu. Saya ini cuma pembantu. Saya hanya melakukan perintah Mbak Mita,” kata anak lelaki itu memelas.
“Mengapa Mbak Mita menyuruhmu melakukan itu?” tanya Arni kesal.
“Mbak Mita tidak suka melihat kalian bermain bulu tangkis!”
“Kalau tidak suka, dia kan bisa bilang langsung pada kami,” sahut Dino.
“Mmm… Mbak Mita tidak bisa kemari. Dia itu… lumpuh….”
Ibu, Dino dan Arni terkejut.
“Sebenarnya dulu Mbak Mita sangat suka bulu tangkis. Dia malah berharap bisa menggantikan Susi Susanti. Tapi sebulan lalu ia mengalami kecelakaan lalu lintas, dan harus kehilangan kakinya. Mbak Mita sedih karena tidak bisa lagi mengejar cita-citanya. Dan ia membenci bulu tangkis,” papar anak lelaki itu dengan muka sedih.
Ibu, Dino dan Arni terenyuh.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Kamu kembali saja. Nanti malam kami akan berkunjung menemui Mbak Mita. Kami akan minta maaf karena telah mengganggu ketenangannya,” kata Ibu kemudian.
“Maafkan aku juga. Namaku Dino, dan ini adikku, Arni,” kata Dino sambil bersalaman.
“Namaku Acep. Terima kasih. Kalian ternyata baik sekali.” Ia kemudian pulang. Hups, tentu saja lewat pintu pagar rumah.
Ketika Dino dan Arni akan kembali ke rumah, mata mereka sempat memadang ke arah jendela di loteng rumah sebelah. Tirainya kelihatan sedikit tersingkap. Dino dan Arni melemparkan senyum. Mereka berharap Mbak Mita mau menerima uluran persahabatan mereka yang tulus.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments