Kerumunan nampak seakan-akan meledak di depan sebuah panggung megah. Para penonton yang didominasi cewek-cewek ABG berteriak-teriak histeris melihat sosok-sosok yang berjalan keluar dari belakang panggung. Seorang pembawa acara berseru di depan mikrofon kepada kerumunan yang bising seperti gerombolan burung kutilang itu.
“Mari kita sambut artis kita, Romeo Syahputra!” ujarnya mengatasi keriuhan yang luar biasa sambil menunjuk pada seorang cowok ganteng yang berjalan melintasi panggung ke arahnya. Histeria makin menjadi ketika cowok itu menyunggingkan senyum ke arah kawanan burung yang menggila itu dan melambaikan tangan. Sesaat kemudian sang MC kembali mengumumkan kemunculan artis kedua yang mengundang sorak-sorai yang tak kalah riuh hingga terasa menggetarkan panggung. Seorang cewek cantik berpakaian mewah muncul. Dengan  bersemangat ia berlari ke depan dan menyapa penonton dengan lambaian kedua tangan.
Acara terus berjalan dengan pemutaran secuplik film yang baru diproduksi. Gemuruh di depan panggung pun mencapai puncaknya ketika para pemeran film tersebut memperagakan akting mereka secara life. Setelah itu acara berturut-turut diisi dengan penampilan beberapa aktor film yang juga penyanyi menampilkan beberapa adegan dalam film musikal tersebut.  Serombongan penari muncul dengan memperagakan gerakan-gerakan modern dance yang enerjik. Musik yang menggema bercampur dengan keriuhan penonton, membuat suasana semakin meriah.
Dua jam kemudian acara launching film baru itu selesai. Romeo menyandarkan diri pada sandaran sofa yang terletak di belakang panggung sambil menghembuskan napas puas.
Gue capek banget hari ini. Untung acaranya bisa sukses. Gue enggak nyangka penontonnya bisa banyak banget.” Ujarnya pada Sheila yang duduk di sampingnya. Cewek cantik yang menjadi pujaan banyak orang dari Sabang sampai Merauke gara-gara gosip kedekatannya dengan Romeo si artis muda berbakat yang tengah bersinar. Memanfaatkan gosip itu, kini film yang baru diluncurkan ini pun memasang keduanya sebagai bintang utama.
Sheila tersenyum menampakkan sederetan gigi putih yang rapi namun tidak berkata apa-apa. Ia sudah mengganti kostum panggungnya dengan tank top yang dipadu jeans berpinggul rendah. Sebuah ikat pinggang terpasang longgar mengitari pinggulnya yang nyaris terbuka. “Kita cari makan, yuk!” Ajak Romeo beberapa saat kemudian,jelas sudah tidak betah berada di situ. Bersama-sama  mereka berjalan meninggalkan ruangan itu. Udara malam  yang menyambut merekaa di luar gedung terasa sejuk membelai kulit.
“Dingin?” tanya Romeo saat dirasanya tangan Sheila yang digenggamnya terasa dingin.
Gadis itu tertawa. “Nggak terlalu,” jawabnya kendati ia tidak menolak jaket Romeo yang disampirkan ke sekeliling bahunya oleh cowok itu. Romeo bergegas membuka pintu mobilnya yang terparkir di tengah area parkir yang luas. Keduanya lalu pergi ke sebuah restoran dimana mereka menikmati hidangan yang lezat.
Hari sudah larut ketika Romeo mengantar Sheila pulang. Setelah itu ia sendiri meluncur menuju rumahnya. Lampu-lampu yang semarak tampak di mana-mana menemani Romeo yang duduk sendirian di dalam mobil yang meluncur di atas jalan raya yang ramai. Bu Rani,ibu Romeo lah yang membukakan pintu setibanya di rumah.
“Bagaimana pementasan tadi?” Tanyanya saat Romeo melangkah masuk.
“Lancar-lancar saja, Ma,” Jawab Romeo sambil tersenyum kepada ibunya. Ia mengucapkannya tanpa berpikir karena memang begitu kenyataannya. Ia hampir tidak pernah mengalami kesulitan apapun dalam pekerjaannya. Semua orang dari managementnya selalu membantunya menyelesaikan segala sesuatu hingga ia tidak perlu memusingkan apapun. Bu Rani yang masih berdiri di depan pintu menoleh mendengar suara putranya yang bernada ringan walau kelihatan lelah. Diam-diam ia merasa kasihan melihat Romeo yang masih berusia dua puluh dua tahun itu. Ia selalu pulang larut malam untuk mencari uang bagi mereka berdua.
Ponsel di saku Romeo berdering. “Halo!” Ujarnya pada ponsel yang dipegangnya di telinga kiri. Selama beberapa menit ia berbicara sementara pembantu menyajikan makanan di meja.
“Makan malamnya sudah siap, Mas.” Ujar sang pembantu memberitahu ketika dilihatnya Romeo sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
“Eh maaf, Mbak!” Ujar pemuda itu buru-buru seolah baru teringat.
“Gue udah makan tadi. Makanannya dibereskan saja lagi.”
Romeo bermaksud kembali ke ruang tamu ketika sang pembantu berkata, “Kalau gitu tolong beritahu ibu Mas. Dari tadi Ibu belum makan, katanya nunggu Mas Romeo pulang.”
“Apa?” Romeo menggelengkan kepala. Bu Rani masuk ke ruang makan. “Mama, ngapain nunggu Romeo pulang? Mama makan saja duluan. Kalau Mama terus-terusan telat makan nanti sakit,” ujar Romeo memprotes tindakan ibunya yang didengarnya dari pembantu. Bu Rani tersenyum sambil menatap putra semata wayangnya dengan penuh kasih.
“Mama enggak apa-apa, cuma belum lapar saja,” jawabnya dengan nada menenangkan.
“Oh, iya, tadi Ryan telepon, katanya dia mau ke Jakarta.” Romeo memberitahu ibunya tentang telepon yang diterimanya sesaat lalu. Mata Bu Rani bersinar gembira saat mendengar berita tersebut.
Lalu katanya, “Suruh nginap di sini saja. Apa dia sama ibunya?”
Romeo menggeleng. “Enggak. Dia sendirian. Katanya ada yang harus diurus di Jakarta. Urusan kantor, disuruh komandannya.”
Romeo menjelaskan kepada ibunya yang tampak senang. “Kapan dia datang?”
“Besok pagi.” Jawab Romeo.
“Dia berangkat subuh-subuh dari Bandung. Terus dia mau ada urusan di Polda Metro. Kalau sudah selesai mungkin ke sini.”
Ryan adalah seorang teman sekolah Romeo di SD dulu. Dulu Bu Rani dan Romeo tinggal di Bandung. Ketika Romeo dan Ryan sedang menempuh ujian akhir sekolah dasar ayah Ryan meninggal. Kesulitan hidup yang dihadapi sepeninggal suaminya membuat ibu Ryan kemudian memutuskan untuk ikut bersama Romeo dan ibunya pindah ke Jakarta dimana mereka selanjutnya mencoba menyambung hidup dengan bekerja serabutan. Mulai dari menjadi tukang mengeramasi orang di salon hingga berjualan gado-gado dan aneka masakan. Semua itu mereka lakukan selama bertahun-tahun sementara Romeo dan Ryan berjuang menempuh pendidikan di SMP. Setamat SMP Ryan dan ibunya kembali ke Bandung meninggalkan Romeo dan ibunya yang ketika itu sudah berhasil menempati sebuah rumah sederhana dari hasil berjualan gado-gado. Bu Rani sangat berterimakasih kepada ibu Ryan dan sudah menganggapnya kakak sendiri. Ia selalu mengatakan pada Romeo bahwa rumah sederhana yang mereka tempati bersama-sama waktu itu tidak lepas dari hasil jerih payah ibunya Ryan. Bu Rani juga sangat menyayangi Ryan dan menganggapnya sebagai anak sendiri.
Selanjutnya Ryan yang menempuh SMA nya di Bandung kini telah menjadi seorang polisi seperti yang telah dicita-citakannya sejak kecil.  Bu Rani yang berjuang sendirian di Jakarta pun lama kelamaan merasa kewalahan menghadapi kehidupan yang kian hari kian tidak bersahabat.  Ia sudah bingung mencari nafkah untuk membiayai sekolah Romeo. Kerasnya kehidupan kota Jakarta seolah melibas mereka hingga akhirnya mereka harus menjual rumah dan pindah ke sebuah rumah kontrakan yang kondisinya bahkan lebih memprihatinkan.
Keadaan itu perlahan mulai berubah ketika secara tidak diduga Romeo yang iseng mengikuti casting sebuah sinetron atas ajakan temannya terpilih untuk bermain sebagai figuran. Keadaan itu memberikan angin segar bagi mereka yang terancam diusir dari rumah kontrakan karena tidak bisa membayar. Selanjutnya tawaran peran-peran kecil di sinetron maupun sebagai bintang iklan mengalir ke tangan Romeo. Hingga setamat SMA ia dan ibunya sudah dapat menghuni rumah mewah yang mereka tempati sekarang ini.
Keesokan harinya seperti yang dikatakannya di telepon Ryan datang. Malam sudah larut ketika ia datang dan disambut gembira oleh Romeo dan ibunya. Setelah saling bertukar kabar dan bercerita tentang ini dan itu Bu Rani berkata dengan nada membujuk.
Nginap aja di sini! Lumayan daripada harus tidur di hotel, kan? Buang-buang uang saja.”
Mereka semua tertawa dan Ryan pun mengangguk. Bu Rani mengantarnya ke sebuah kamar di samping kamar putranya.
“Anggap aja rumah sendiri, jangan malu-malu minta kalau mau apa-apa!” Ujarnya sebelum meninggalkan Ryan yang sangat berterima kasih.
Pagi harinya Bu Rani kembali datang ke kamar Ryan dengan maksud membereskannya. Tampak Ryan sedang bersiap-siap hendak berangkat.
“Oh, ibu,” Katanya saat melihat Bu Rani dari pintu.
“Pagi, Ryan. Bisa tidur tadi malam?” Tanyanya membalas sapaan Ryan.  Ia melongok ke dalam kamar.
“Nanti kamarnya akan ibu bersihkan, ya!” ujar Bu Rani. Ryan buru-buru mengambil tasnya yang tergeletak di meja rias.
“Sekarang saja, Bu. Saya sudah mau berangkat,” ujarnya.
“Mungkin saya kembali lagi nanti malam,” kata Ryan malu-malu seraya menambahkan bahwa urusannya di Jakarta mungkin akan makan waktu dua atau tiga hari lagi. Bu Rani menjawab dengan senang hati bahwa ia tidak keberatan.
“Kamu sudah seperti anak Ibu sendiri,” kata Bu Rani sambil menatap Ryan dengan senang dan sedikit terharu. Anak kecil yang dulu dibawanya ke Jakarta itu kini nampak gagah dalam seragam polisi. Pandangannya kemudian beralih pada selembar foto yang tergeletak tak jauh dari tempat tas Ryan tadi berada. Melihatnya,tubuh Bu Rani terasa membeku. Matanya membelalak diikuti oleh ribuan kenangan yang membanjir masuk tanpa halangan ke dalam benaknya. Cepat-cepat ia menguasai diri.
“Ryan,kayaknya ada yang ketinggalan,” Ia mengambil foto itu dan berjalan menyusul Ryan yang sudah berjalan keluar kamar. Sambil berjalan tanpa terhindarkan matanya meneliti gambar itu, yang menampakkan seorang lelaki kurus dengan rambut pendek dan kumis tipis. Itu benar-benar wajah yang dikenalnya. Mengapa Ryan bisa memiliki foto ini? Tanyanya dalam hati. Ryan menoleh ketika mendengar suara Bu Rani.
“Ya, Bu?” Tanyanya. Bu Rani segera menyodorkan foto di tangannya kepada Ryan. Ryan lalu menerimanya dengan senang dan memasukkannya ke dalam tas seolah itu benda penting. Lalu ia mengatakan bahwa foto itulah yang membawanya ke Jakarta.
“Saya bodoh sekali. Untung Ibu menemukannya, saya mesti membawanya,”
Lalu ia menambahkan bahwa itu adalah foto seorang buronan yang terlibat macam-macam kejahatan. Polisi di Bandung  sudah lama mencarinya dan diduga kini ia ada di Jakarta.
“Bisa gawat kalau ketinggalan. Saya berangkat dulu,Bu,” ujarnya tanpa memperhatikan perubahan raut muka Bu Rani.
“Eh,iya, hati-hati di jalan,Nak!” Jawab Bu Rani tergagap. Kepalanya dipenuhi sosok di dalam foto itu dan apa yang diceritakan Ryan tadi. Benarkah itu? Napas Bu Rani tidak teratur. Ia cepat-cepat berbalik masuk ke ruang dalam.
Romeo yang sedang dalam perjalanan menuju tempat shooting sinetron mendadak memutar balik mobilnya. Pria muda berusia dua puluh dua tahun itu tiba-tiba merasa kalau ada yang tertinggal di rumah. Dengan amat menyesal ia mengemudikan mobil dengan merayap menembus kemacetan yang terjadi di lajur satunya.
“Ma?” Romeo mengedarkan pandangan ke segala arah mencari ibunya. Ia sudah tiba kembali di rumah. Untung saja ia memegang kunci sendiri, kalau tidak ia tidak akan bisa masuk. Melihat suasana rumahnya yang sepi seperti tidak berpenghuni ia merasa heran. Biasanya ibunya tidak pernah ke mana-mana dan pembantunya juga selalu ada di rumah. Sekarang ke mana mereka? Romeo melangkah menuju kamarnya dan dengan segera menemukan apa yang ketinggalan. Ia memasukkannya ke saku dan berbalik hendak pergi namun rasa penasaran menggodanya untuk mencari ibunya. Matanya tertarik ke pintu gudang yang terbuka. Aneh,batinnya. Biasanya gudang itu selalu terkunci. Ia maju menghampiri ambang pintu dan betapa terkejutnya ia ketika dilihatnya ibunya sedang terisak-isak. Ia tampak memegang sesuatu yang seperti album foto. Romeo sangat terkejut dan heran melihat kelakuan ibunya namun menahan diri untuk bertanya. Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara ia mendekati ibunya dari belakang. Namun pada saat bersamaan Romeo melihat pembantunya masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Khawatir mengagetkan ibunya, Romeo cepat-cepat keluar dari gudang. Ia berjalan kembali ke mobilnya sambil bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan ibunya. Mengapa ia menangis? Dengan pikiran tidak tenang Romeo masuk ke mobil dan mengemudikannya menembus keramaian di jalanan kota Jakarta.
Bu Rani menoleh mendengar sapaan pembantunya. “Ada apa?” tanyanya kepada pembantunya yang baru saja melintas di depannya dengan membawa sapu. Saat itu sore hari. Bu Rani baru saja menerima koran sore dari loper koran langganannya.
“Ada apa Mas Romeo kemarin pagi, Bu?” Sang pembantu balas bertanya. Bu Rani mengerutkan dahi mendengar kata-kata pembantunya. Sang pembantu kemudian bercerita bahwa kalau ia tidak salah ia melihat mobil Romeo terparkir di depan rumah sekitar satu jam setelah ia berangkat bekerja. Pernyataan itu membuat kerutan di kening Bu Rani bertambah dalam. Romeo pulang lagi?
“Kamu salah lihat kali,” Bu Rani menegur pembantunya. Wanita muda yang sudah bekerja padanya sekitar dua tahun itu menggeleng.
“Saya yakin itu Mas Romeo. Saya lihat dia keluar lagi nggak lama setelah itu.”
Mendengar perkataan pembantunya Bu Rani jadi bertanya-tanya. Kalau Romeo pulang mengapa ia diam-diam seperti itu?
“Waktu itu Ibu di mana ya?” tanya Bu Rani sambil mengingat-ingat. Mendadak ia teringat. Pagi hari kemarin persis setelah Ryan dan Romeo pergi ia segera membuka foto-foto lama yang tersimpan di gudang. Ia ingin meyakinkan diri bahwa foto yang ditemukannya di kamar Ryan bukan orang yang dikenalnya. Namun harapannya ternyata nihil. Bagaikan disambar petir ia mendapati bahwa foto buronan itu sama persis dengan sosok suaminya. Tak ada keraguan lagi. Ketika itu Bu Rani tidak sanggup lagi menahan emosinya melihat kedua foto yang bagaikan pinang dibelah dua itu. Kata-kata Ryan kembali terngiang di telinganya. Ia berkata bahwa foto itu adalah foto seorang penjahat yang sudah sejak lama dicari polisi. Mengapa harus dia? Bu Rani kembali teringat bahwa saat itu di sela-sela luapan emosinya ia sempat mengira mendengar suara langkah kaki.
“Mungkin Romeo pulang karena ada yang ketinggalan,” Gumam Bu Rani seperti pada dirinya sendiri. Pembantunya mengangguk-angguk,jelas mengira bahwa kata-kata itu ditujukan pada dirinya. Bu Rani menjadi gelisah. Jika benar Romeo pulang pada saat itu berarti ia juga melihat apa yang terjadi di gudang. Mungkin itu sebabnya ia diam-diam keluar lagi,pikirnya tanpa bisa dicegah. Cepat ia bangkit dari kursinya dan berjalan terburu-buru ke belakang. Pembantunya menoleh dengan sedikit heran melihat langkahnya yang tergesa-gesa. Ia menggelengkan kepala dan kembali menyapu.
Dalam sekejap Bu Rani sudah berada di depan pintu gudang. Tangannya bergerak cepat memutar kunci yang dibawanya pada lubang kunci. Pintu terbuka. Keadaan di ruangan kecil yang penuh tumpukan barang tak terpakai itu masih sama dengan ketika Bu Rani meninggalkannya kemarin pagi. Tumpukan koran bekas,buku-buku dan aneka benda lainnya yang bertumpuk hingga nyaris menyentuh langit-langit nampak tidak terusik. Dengan napas tertahan Bu Rani menuju sebuah lemari tua di sudut ruangan dan membuka salah satu lacinya. Betapa terkejutnya ia mendapati album foto tua yang sebelumnya tersimpan di sana tidak ada lagi. Tangan Bu Rani mengaduk isi laci dengan panik mencari album itu namun tidak ditemukannya. Benda itu tidak lagi berada di sana. Dengan kepanikan yang makin membesar ia mulai menyadari bahwa mungkin dugaannya benar bahwa Romeo memang melihatnya sedang menangis di gudang. Kemudian tanpa sepengetahuan siapapun ia memeriksa album foto yang saat itu dipegang Bu Rani. Romeo pasti melakukannya karena ingin tahu apa yang membuat ibunya sedih. Pasti itu yang terjadi. Dengan perasaan tidak nyaman Bu Rani berjalan keluar dari gudang tanpa tahu apa yang harus dilakukannya.
Dengung percakapan memenuhi ruangan di sebuah rumah yang digunakan untuk shooting sebuah sinetron. Beberapa orang tampak duduk-duduk santai sambil mengobrol. Suasana terlihat santai. Peralatan yang digunakan untuk pengambilan gambar terlihat belum dibereskan. Shooting memang masih akan dilanjutkan setelah break selama setengah jam. Tampak wajah-wajah yang hampir setiap hari muncul di layar kaca bertebaran di beberapa sudut ruangan. Termasuk Romeo dan Sheila. Romeo nampak termenung. Sejak ia mengambil benda yang menjadi biang keladi kesedihan ibunya semalam kenangan seolah tak mau berhenti membanjiri pikirannya. Wajah-wajah yang menghiasi setiap halaman album itu seakan mengorek luka lama di hatinya. Sudah selama bertahun-tahun Romeo tidak menganggap dirinya memiliki ayah. Lelaki yang telah menikahi ibu Romeo itu sudah pergi sejak Romeo berusia lima tahun. Sejak itu ia tidak pernah muncul lagi bagaikan ditelan bumi. Tidak adanya kabar dari ayahnya membuat Romeo pelan-pelan melupakannya. Namun gara-gara kejadian kemarin bayangan sang ayah yang hanya tinggal jejak-jejak samar di tepi otak Romeo kembali membesar,menyalakan kemarahan di hati Romeo. Tanpa disadarinya Sheila yang duduk di hadapannya memperhatikan wajahnya.
“Kamu sakit, Rom?” Tanyanya dengan penuh perhatian sehingga membuat Romeo tersadar dari pikirannya yang kusut. Tanpa sepatah kata pun ia menggeleng sambil tersenyum berterima kasih atas perhatian yang ditunjukkan gadis itu.
Ia menatap gadis yang baru dikenalnya selama beberapa bulan belakangan. Namun kendati demikian Romeo merasa seperti sudah lama mengenalnya. Perhatian yang tulus selalu terpancar dari setiap tindakannya,membuat Romeo merasa nyaman bila berada di dekatnya. Dan kini ketulusan itu terpancar dari mata hitam bening yang sedang memperhatikannya dengan sedikit rasa khawatir.
“Aku enggak apa-apa,” Romeo kembali menegaskan pernyataannya.
Mata hitam bening itu masih menatapnya seakan tidak percaya.
“Dari tadi kamu diam aja,” Ujarnya pelan. “Ada masalah?”
“Cuma masalah kecil.”
Romeo mencoba mengelak. Dihindarinya pandangan Sheila yang seakan menembus tubuhnya dengan enggan. Ia merasa sangat bersalah setiap kali membohongi gadis itu. Ia merasa bersyukur ketika sebuah suara memberitahunya untuk kembali bertugas. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia tidak mau membicarakan masalah yang dihadapinya kepada siapapun, termasuk Sheila.
Bu Rani melangkah memasuki kamar putranya. Sejenak pandangannya mengedari ruangan. Ditariknya laci satu demi satu seakan mencari sesuatu. Akhirnya ketika ia menarik laci lemari pakaian pandangannya segera terarah pada apa yang ia cari. Sebuah album foto tua.  Ternyata memang Romeo yang telah mengambilnya. Untuk apa anak itu mengambilnya? Bu Rani tidak bisa memikirkan alasannya. Diambilnya album itu dan ia bangkit untuk pergi ketika wajah Romeo tiba-tiba muncul di pintu kamar. Wajahnya mengernyit ketika melihat benda di tangan ibunya.
“Buat apa Mama ambil itu?” tanyanya kasar. Ia tidak bermaksud menggunakan nada seperti itu namun kata-katanya keluar dengan sendirinya tanpa bisa dicegah. Langkah Bu Rani terhenti. Untuk sesaat yang terasa sangat panjang ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Lidahnya terasa beku sehingga ia hanya memandang anaknya.
“Kamu sendiri kenapa menyimpan ini di sini?” ia balas bertanya. Romeo mendengus.
“Mama sudah nggak perlu itu lagi. Ngapain kita mikirin hal yang cuma bikin sial?” Suara Romeo meninggi penuh emosi.
“Dia enggak ada lagi buat kita, Ma,jadi ngapain dipikirin? Sejak dulu Romeo memang udah enggak punya ayah dan Romeo nggak apa-apa.”
Bu Rani menatapnya kaget. “Jaga bicara kamu, Rom! Mama ngerti kalau kamu marah sama papa kamu karena sudah meninggalkan kita, tapi dia tetap orang tua kamu yang mesti kamu hormati.”
Suara Bu Rani terdengar nyaris berbisik karena sedih dan terguncang. “Dia memang bukan ayah yang ideal,tapi harusnya kamu bisa menguasai diri. Jangan membentak-bentak seperti itu.”
Romeo melihat air mata yang menggenang di sudut mata ibunya dan mendadak ia merasa menyesal.
“Orang tua Romeo sejak dulu cuma Mama,” Romeo tetap berkeras kendati suaranya menunjukkan hal sebaliknya. “Enggak ada gunanya Mama mikirin yang bikin Mama sedih. Dia enggak ada gunanya buat kita dan kita bisa hidup tanpa dia.” Romeo berkata dengan mantap kepada ibunya yang berdiri tak bergerak di depannya.
Bu Rani tak berniat memperpanjang perdebatan itu. Ia tidak mau membangkitkan kebencian Romeo terhadap ayahnya. Tanpa bicara lagi ia berjalan keluar kamar dengan mata berkaca-kaca. Romeo menoleh kepada ibunya. Setitik penyesalan merayapi benaknya. Seharusnya ia tidak bicara seperti itu pada ibunya.
“Romeo cuma enggak mau Mama sedih,” gumamnya. Langkah Bu Rani sejenak terhenti di ambang pintu namun ia tidak mengatakan apa-apa. Dengan langkah cepat seperti tidak pernah terjadi apa-apa ia menuju gudang untuk mengembalikan album itu ke pangkuan lemari tua di sana.
Malamnya Ryan berkata pada Romeo dan ibunya bahwa mungkin besok ia tidak akan menginap di sana lagi.
“Tugas saya di Jakarta mungkin bisa selesai besok.” Ujarnya menjelaskan pada ibu dan anak yang mendengarkannya dengan penuh perhatian di sela-sela makan malam.  Bu Rani menanggapi dengan menyayangkan waktu kunjungan Ryan yang singkat.
“Kapan-kapan ke sinilah lagi sama ibu kamu.” Sambung Romeo. Ryan lalu mengucapkan terima kasih yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Bu Rani.
“Terima kasih untuk apa? Ini kan rumah kamu juga.” Ujarnya. Ryan tersenyum senang. Ia dan Romeo lalu melanjutkan berbincang tentang berbagai hal. Sesekali mereka tergelak seperti dua anak SMP yang baru selesai mengantarkan dagangan ibu mereka ke warung di pinggir jalan. Bu Rani tersenyum mengingat kenangan lama itu.
Sesosok tubuh berdiri di atas aspal yang masih menyisakan sisa-sisa panas yang berasal dari sengatan sinar matahari tadi siang. Kegelapan sudah menguasai langit di atas kota. Angin yang berdebu dan berbau asap kendaraan tak henti-hentinya bertiup. Sosok itu memandang sebuah rumah mewah yang berdiri di seberang jalan. Jendela-jendela rumah itu masih terang oleh sorot lampu dari dalam rumah. Berdasarkan hasil pengamatannya selama berhari-hari rumah itu memang tempat tinggal Romeo Syahputra yang tinggal bersama ibunya. Tidak sulit mencari keterangan tentang Romeo. Wajahnya hampir setiap hari menghiasi layar televisi. Setiap melihatnya sosok yang berdiri di jalan itu merasa sedih dan menyesal.
“Maafkan Papa, Romeo!” Bisiknya dalam hati.
Desiran angin bagaikan menertawakannya. Dia bergerak dengan ragu. Ingatannya melayang ke masa bertahun-tahun yang lalu. Saat itu Romeo masih kecil dan belum mengerti apa-apa ketika ia meninggalkan putranya itu sendirian bersama ibunya dalam keadaan yang sulit.  Saat itu ia terjebak dalam kesalahan besar yang tidak memberinya pilihan. Pabrik tempat ia bekerja bangkrut dan memberhentikan semua karyawannya. Uang pesangon yang diberikan segera habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan ia nekat meminjam uang pada seorang rentenir walaupun telah banyak yang memperingatkannya agar tidak melakukan hal itu. Utang-utang yang makin mencekik memaksa ayah Romeo yang  kesulitan memperoleh pekerjaan lain untuk menghalalkan segala cara demi mendapat uang. Bersama beberapa temannya ia mulai mencopet dan kadang-kadang memeras dengan bantuan senjata tajam. Semua itu dilakukannya tanpa sepengetahuan istrinya. Ia merahasiakan kegiatannya itu.
Namun suatu hari seorang temannya tertangkap polisi.  Ayah Romeo yang segera menyadari resiko menjadi buronan polisi tidak bisa memikirkan cara lain selain kabur sebagai seorang pengecut dari rumahnya. Sementara itu Romeo dan ibunya yang merasa terancam karena terus-terusan ditagih oleh pihak rentenir memutuskan pindah dari sana. Itu membuat ayah Romeo kehilangan jejak. Sejak itu ia berpetualang dari kota ke kota untuk menghindari kejaran polisi dan rentenir itu. Namun lama kelamaan karena kebutuhan yang mendesak untuk hidup ia tidak bisa lepas dari dunia kejahatan. Bertahun-tahun sudah ia tersesat dalam dunia kelam kriminalitas, bergabung dalam kelompok-kelompok yang akrab dengan kekerasan. Mencuri dan merampok telah menjadi makanan sehari-hari selain perselisihan antarkelompok yang selalu terjadi di balik bayang-bayang kedamaian perkotaan. Namun kelompok-kelompok itu pun tidak selalu solid. Perselisihan yang diwarnai perkelahian hampir selalu terjadi manakala ego masing-masing sudah terbit ke permukaan, menjadikan kesetiakawanan yang sudah diikrarkan bersama menjadi tidak ada artinya di bawah kuasa keserakahan. Khususnya dalam hal pembagian hasil rampokan yang hampir tidak pernah terasa adil.  Perselisihan yang dipicu oleh ketidakpuasan tidak jarang terjadi hingga pada suatu hari ayah Romeo dan seorang temannya memilih kabur dari kelompok mereka. Tanpa sepengetahuan ayah Romeo temannya membawa sebagian besar uang hasil rampokan yang belum sempat dibagikan.  Mereka pun terus dibayangi mantan rekan-rekan sekelompok. Tidak lama kemudian temannya itu terbunuh dan ayah Romeo pun membawa lari sisa uang itu. Selama bertahun-tahun sesudahnya tidak sekali pun ia melihat celah untuk meloloskan diri dari dunia kejahatan. Ke manapun ia pergi bahaya selalu menghadangnya sehingga ia kembali terseret ke dalam kelam. Tak terhitung berapa kelompok yang telah ia masuki dan ditinggalkannya lagi. Dalam hati ia tahu bahwa dirinya sudah tidak aman lagi.  Kini ia hidup sebagai pelarian.Di mana-mana pastilah banyak pihak yang sedang mengejarnya.  Itulah pengalamannya selama hampir tujuh belas tahun yang panjang. Dan kini ia ingin sekali melihat wajah putra semata wayangnya secara langsung. Tidak dapat dipungkiri bahwa perasaan itu selalu menghantuinya sejak bertahun-tahun yang lalu. Sebagai seorang buron kelas kakap ia tidak merasa pantas menampakkan wajahnya di hadapan orang-orang yang telah disakitinya. Namun kendati telah terkubur di bawah timbunan bertahun-tahun jelaga dunia kriminalitas nalurinya sebagai seorang ayah akhirnya menyeretnya kemari,ke rumah yang damai dengan tiga orang penghuninya ini. Kerinduannya kepada Romeo sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia tidak peduli seperti apa sambutan sang anak. Ia memang tidak berharap mendapat sambutan sebuah pelukan hangat penuh rindu tapi apa pedulinya? Ia hanya ingin melihat Romeo. Tak ada yang dapat menghentikannya kali ini termasuk Romeo sendiri.
Dengan sigap ia memanjat pagar halaman. Ia sudah mengantisipasi segala kemungkinan ketahuan dengan cerdik. Sementara itu di kejauhan beberapa pasang mata yang nampak lapar seperti mata binatang buas mengintai menembus pekat malam. Romeo dan ibunya yang sedang berada dirumah tidak mendengar apapun.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Lampu-lampu telah dimatikan sehingga semua orang di luar pasti mengira bahwa semua penghuni rumah sudah tidur. Romeo yang masih berada di ruang keluarga dengan mata terbuka tekejut ketika tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil namanya.
“Romeo.” Suara itu terdengar rendah dan kasar. Bersamaan dengan itu ia melihat sebuah bayangan dalam cahaya lampu mobil yang masuk lewat jendela yang dibuka oleh ayah Romeo. Romeo berseru kaget ketika angin yang berhembus dari jendela menerpanya.
“Maling!” seru Romeo. Pintu kamar ibunya terbuka.
“Ada apa, Rom?” terdengar suara Bu Rani. Namun suara yang menjawabnya sama sekali tak terduga.
“Rani.” Suara itu kedengaran bergetar penuh emosi.
“Siapa itu?”Bu Rani berteriak kaget. Itu bukan suara putranya.
“Ini aku,Rani.” Ayah Romeo berusaha meyakinkan Bu Rani. Keterkejutan yang datang mendahului kesadarannya tentang siapa orang itu telah membuat Bu Rani menjerit. Suatu reaksi yang wajar sebagai ungkapan keterkejutan. Tapi Romeo yang salah mengartikan teriakan ibunya sebagai ungkapan rasa takut langsung berlari menuju pesawat telepon di seberang ruangan. Melihatnya, jantung sang ayah melompat.
“Jangan menelepon!” serunya. Refleks ia memukul Romeo sehingga gagang telepon itu terlepas dari tangannya dan menggantung di tepi meja.
Dengan napas tersengal ia berkata, “Jangan takut, Rom! Ini Papa.”
Romeo terkejut. Ia terhuyung ke belakang karena kejutan yang menerpanya alih-alih karena pukulan itu. Namun sebelum ayah Romeo sempat bicara lagi Bu Rani menjerit lagi. Beberapa sosssok melompat masuk ke dalam ruangan melalui jendela yang terbuka. Secepat kilat salah satu di antara mereka menyergap Bu Rani dan mengikatnya erat-erat. Selembar plester ditempelkan ke bibirnya hingga tidak bisa berteriak.   Dalam sorot lampu jalan yang memasuki ruangan lewat jendela yang terbuka Romeo menyaksikan ibunya meronta-ronta dalam belitan tali yang membelenggunya.  “Apa-apaan ini?” Romeo berteriak. Dengan gerakan tak kentara salah seorang bandit itu mengeluarkan sebuah pistol untuk membungkamnya.  Cepat bagaikan kilat senjata itu menyalak. Ayah Romeo bergerak cepat.  Didorongnya putra semata wayangnya ke pinggir sehingga ketika bunyi letusan terdengar ia berada di depan putranya, melindunginya. Sekejap kemudian ia jatuh telentang dengan berlumuran darah. Romeo berteriak. Belum habis kekagetannya terdengar suara Ryan.
“Polisi. Jatuhkan senjata.”
Tidak sampai sedetik beberapa sosok lagi berlompatan dari jendela yang terbuka dan langsung meringkus para penjahat itu. Bu Rani dibebaskan oleh Ryan yang berada bersama para polisi yang datang. Ia menghampiri tubuh ayah Romeo yang tidak bernyawa.
“Sayang sekali.” Ujarnya. “Jadi, begini akhirnya.”
Sambil berbicara ia menengadah menatap Romeo yang nampak terguncang. Pemuda itu tampak pucat pasi.  Matanya menatap sosok yang terkapar di kakinya dengan berlumuran darah. Itu ayahnya. Itu ayah Romeo yang telah meninggalkannya dan ibunya tujuh belas tahun lalu. Kini laki-laki tak bertanggungjawab ini terbaring di lantai dengan tak bernyawa. Mati tertembak karena melindungi putranya. Romeo merasa kosong,tak tahu apa yang harusnya ia rasakan. Laki-laki ini tidak pantas dihargai,sungguh tidak pantas. Untuk pertama kali dalam hidupnya Romeo merasa seperti jatuh ke sebuah lubang tak berdasar. Dia tahu seharusnya ia puas dan lega setelah dendam yang diam-diam ada dalam hatinya terbalaskan. Tapi Romeo tidak bisa merasakannya. Kepalanya terasa kosong. Ryan menatapnya  dengan dahi berkerut.
“Kamu nggak apa-apa, Rom?”
Kawan-kawannya nampak sedang mengurusi para penjahat yang telah mencoba merampok rumah Romeo. Bu Rani berdiri agak jauh dari mereka. Lampu di ruangan itu telah menyala terang-benderang menampakkan segala sesuatunya dengan jelas. Romeo menggeleng lemah. Ia tidak bisa melakukan apapun. Seluruh energinya bagaikan telah tersedot keluar dari tubuhnya. Ia tidak bisa memikirkan apapun. Ryan berpaling ke arah kawan-kawannya. Para penjahat sudah aman terborgol dan sudah siap diangkut ke kantor polisi. Ia segera menghampiri BuRani yang masih tampak terguncang dan menceritakan segalanya. Diceritakan bahwa polisi telah menyebar mata-mata untuk memantau pergerakan buronan mereka.
“Ia sudah masuk perangkap kami namun kami masih menunggu waktu yang tepat untuk menangkapnya,” ujar pemuda itu. Lalu ia melanjutkan bahwa sudah beberapa hari ia dan kawan-kawannya memantau gerak-gerik san buronan sampai puncaknya pada malam ini mereka berhasil mengetahui bahwa ada kawanan bandit lain yang juga membuntuti orang yang sama.
“Tapi kalau mereka mengincar orang itu mengapa mereka mengikat Ibu?” tanya Bu Rani. Matanya menatap Romeo dan jasad suaminya secara bergantian.
“Mereka juga sepertinya berusaha merampok rumah ini,” jawab Ryan. Ia tersenyum untuk menenangkan hati Bu Rani. “Sekarang semua sudah beres,Bu. Sekarang ini tugas kami. Ibu tenang saja.”
Ia menggabungkan diri dengan beberapa kawannya yang sedang meletakkan jasad ayah Romeo di dalam kantung jenazah. Romeo diam saja. Ia mendengar seluruh pembicaraan Ryan dan ibunya namun tidak bisa mencernanya. Kepalanya pusing. Guncangan yang menimpanya hari ini telah mengguncang seluruh dirinya hingga ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Bu Rani mengawasi para polisi itu menggiring para tahanan melalui pintu depan,lalu ia memandang putranya yang masih berdiri kaku dengan pandangan kosong. Tanpa bicara Bu Rani membimbingnya menuju sofa. Ia mengerti bahwa jauh di lubuk hati anaknya tersimpan rasa rindu akan kehadiran seorang ayah.  Malam ini ketika untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun ayah Romeo muncul kembali perasaan itu sempat menyembul dari timbunan dendam dan kebencian yang nyaris memenuhi kenangan Romeo akan ayahnya. Dan ketika ayahnya menghembuskan napas terakhir karena menyelamatkannya maka perasaan Romeo jadi berantakan, tercabik-cabik antara dendam dan berjuta perasaan lain.
Bu Rani tahu sebaiknya ia tidak mengajak Romeo bicara dulu. Biar ia memulihkan dirinya sendiri dari kenyataan yang tidak menyenangkan ini. Pasti sangat sulit baginya yang telah lama menganggap tidak memiliki ayah menerima kembali ayahnya namun hanya sekejap.  Dalam hati sang ibu yakin putranya dapat segera mengatasi masalah ini.  Mudah-mudahan saja, batinnya sambil mengamati wajah Romeo yang pucat. Sementara itu angin dingin berhembus dari jendela yang terbuka seakan berusaha mengusir ganjalan di hati Romeo.
Romeo menunduk. Mendadak segala dendam dan kebencian pada ayahnya sirna ,berganti dengan kepedihan.  Sebenarnya sudah lama Romeo ingin tahu bagaimana rasanya punya ayah. Dan malam ini ketika sang ayah benar-benar datang ternyata itulah salam terakhirnya. Ia meninggal  dalam usahanya melindungi Romeo,putra semata wayangnya.  Itu membuat Romeo menyesal karena telah membenci ayahnya. Biar bagaimanapun ia tetap ayah Romeo yang kini sudah tiada,membuat Romeo benar-benar sudah tidak memiliki ayah lagi. Penyesalan yang kini bertumpuk di hatinya tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
“Maafkan Romeo, Pa!” Gumam Romeo terbata-bata, membuat Bu Rani yang mendengarnya kaget.  Namun ada hal yang tetap ingin disimpannya untuk diri sendiri. Bu Rani tidak memberitahu Ryan siapa sebenarnya buronan itu. Biarlah hal itu tetap menjadi masa lalu yang hanya diketahui Romeo dan dirinya, setitik noda kelam di belakang hari.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments